Search
en id

Gunakan fitur ACCESSIBILITY melalui tombol bagian kanan bawah sebagai preferensi untuk kenyamanan Anda.

Ilustrasi bertuliskan “The Autism Spectrum”

Mengenal Autisme; Dari Mulai Pertanyaan yang Meliputi Hingga Kesalahpahaman Masyarakat yang Sering Terjadi

Solidernews.com – Banyak Masyarakat Indonesia yang memiliki persepsi yang kurang tepat pada individu dengan kondisi Autims. Tanggapan-tanggapan seperti “ouh autisme, anak-anak yang biasanya di SLB itu ya?” atau “ouh autisme ya, berarti kamu bodoh dong?” atau “kok bisa autisme keterima kerja kayak gitu? Harusnya kan autisme gak bisa kerja mereka” atau “ouh kamu autis, berarti kamu orang gila dong?” atau “autisme kok bisa ngomong, autisme yang aku tau cuman bisa membeo doang tuh di SLB, kamu gak kayak mereka ah” atau “autisme mah terjadi pada saat masih kecil. Kok bisa biasanya kamu baru terdiagnosis sekarang, kamu di tahun tahun sebelumnya kemana aja? Ah dasar orangtuamu gak bener nih” dan tanggapan tanggapan lainnya yang keliru soal autisme.

 

Efek dari tanggapan-tanggapan ini selain menyebarkan mispersepsi yang kurang tepat soal autisme juga sangat menyakiti individu autisme lainnya. Khususnya individu autisme dengan Tingkat intelegensi yang rata-rata atau bahkan diatas rata-rata atau yang sering disebut Asperger, yaitu autisme tanpa masalah intelektual yang merupakan jenis autisme yang dialami oleh penulis maupun beberapa teman yang penulis kenal.  Atas dasar keresahan tersebut, maka penulis akan memperkenalkan kepada pembaca mengenai autisme.

 

Definisi Kondisi Spektrum Autisme

Kondisi Spektrum Autisme merupakan kondisi perbedaan syaraf yang mempengaruhi perkembangan mental, kemampuan individu dalam  berinteraksi, berkomunikasi, belajar dan berperilaku (Hodges dkk, 2020).

 

Alasan penamaan autisme sebagai Kondisi Spektrum Autisme

Berdasarkan buku DSM 5 TR, Autisme dinamakan Kondisi Spektrum Autisme karena secara tigkat keparahan, autisme dibagi menjadi 3 spektrum yang berbeda. Pertama yaitu Autisme Level 1, autisme pada level ini dianggap sebagai kondisi yang paling ringan sehingga  pada buku tersebut dituliskan bahwa autisme pada level ini “membutuhkan dukungan/requiring support”. Kedua yaitu autisme level 2,  pada level ini dianggap sebagai autisme yang memiliki level sedang sehingga tertulis “membutuhkan dukungan subtansial/requiring substantial support. Terakhir yaitu autisme level 3 yang dianggap kondisi yang parah sehingga tertulis dalam buku tersebut sebagai kondisi yang “sangat membutuhkan dukungan subtansial/requiring very substantial support”.

 

Gejala-gejala Autisme

Berdasarkan buku DSM 5 TR, ada 4 kriteria minimum individu bisa dikatakan autisme. Pertama, adanya kesulitan secara persisten berkomunikasi sosial dan berinteraksi sosial. Kedua, adanya perilaku, minat atau aktivitas dengan cakupan yang terbatas yang dilakukan secara berulang-ulang. Ketiga, 2 gejala tersebut harus terjadi pada tahap awal perkembangan kehidupan manusia (karena seiring bertambahnya usia individu dengan autisme, gejala  bisa lebih sulit terlihat karena ada beberapa individu yang bisa belajar untuk menyamarkan gejala autismenya atau yang disebut masking). Keempat, gejala-gejala tersebut menyebabkan kesulitan secara signifikan di aspek-aspek kehidupan seperti hubungan sosial, pekerjaan, dan hal-hal lainnya.

 

Untuk gejala kesulitan persisten berkomunikasi sosial dan berinteraksi sosial tanda-tandanya yaitu sering gagalnya menginisiasi atau merespon komunikasi dengan cara yang wajar, sulitnya membaca Bahasa tubuh nonverbal orang lain dan menggunakan bahaa tubuh nonverbal ke orang lain (gesture, ekspresi, Bahasa isyarat) dan kesulitan untuk memulai, mempertahankan dan memahami hubungan sosial yang ada di sekitarnya.

 

Sedangkan untuk gejala perilaku, minat atau aktivitas dengan cakupan yang terbatas yang dilakukan secara berulang-ulang memiliki tanda-tanda antara lain seperti mengurutkan mainan, memutar-mutar benda, mengulang 1 kata yang sama secara berulang-ulang, suka melakukan hal yang sama secara rutin, merasa sangat terganggu pada saat rutinitasnya diganggu, dan sangat sensitif atau kurang sensitif terhadap stimulus tertentu (contoh: ada yang kurang sensitif terhadap suara, ada yang sangat sensitif terhadap suara) (minimal ada 2 diantara tanda-tanda yang sudah disebutkan untuk gejala ini).

 

Pertanyaan yang sering ditanyakan orang kepada penulis sebagai individu autisme

Pada paragraph diatas, penulis menjelaskan mengenai definisi autisme, alasan autisme dinamakan kondisi spektrum autisme, dan gejala-gejala autisme. Namun pada paragraph berikutnya penulis akan mencoba menjawab pertanyaan terkait autisme yang sering ditanyakan baik itu secara langsung kepada penulis maupun secara tidak langsung yaitu melalui sosial media yang penulis miliki. Berikut adalah daftar pertanyaannya.

 

Apakah semua individu dengan autisme memiliki kondisi yang sama?

Kriteria-kriteria yang disebutkan di atas adalah kriteria minimum yang dijelaskan dalam buku DSM 5 TR agar individu bisa dikatakan memiliki kondisi spektrum autisme. Namun hal yang perlu disadari adalah autisme merupakan kondisi yang memiliki beragam spektrum yang berbeda dan kondisi yang diakibatkan karena adanya kondisi syaraf yang berbeda. Perbedaan kondisi syaraf tersebut dapat menimbulkan efek samping berupa adanya kondisi penyerta/komorbid selain autisme. Komorbid yang biasanya menyertai kondisi autisme yaitu ADHD, gangguan belajar, gangguan intelektual, dan gangguan tidur (Khachadourian V dkk, 2023). Namun tidak menutup kemungkinan bahwa efek dari perbedaan syaraf yang terjadi pada individu autisme menyebabkan kondisi medis maupun kondisi psikis lain diluar komorbid yang biasanya beriringan dengan kondisi autisme. Contohnya, ada individu autisme yang alergi glutten, namun ada juga yang tidak alergi dengan glutten (Croall I dkk, 2020). Ada individu autisme yang memiliki gangguan makan, namun ada juga yang tidak mengalami gangguan makan (barnett dkk, 2020).

 

Apakah autis terjadi karena karma dan dosa masa lalu yang dilakukan orangtua?

Ada jurnal yang pernah mencoba untuk meneliti mengenai anggapan orangtua di Indonesia yang tidak mengasuh anak dengan autisme terhadap orangtua yang mengasuh anak dengan autisme. Metode penelitian yang dilakukan adalah dalam bentuk kualitatif yaitu dengan mewawancarai 9 ibu  dari latar belakang budaya yang beraneka ragam. Dari wawancara yang sudah dilakukan, ditemukan bahwa rata-rata orangtua di Indonesia beranggapan bahwa autisme terlahir karena karma dan dosa masa lalu yang dilakukan orangtua (Yuliana Eva Riany dkk, 2016). Namun apakah anggapan tersebut tepat? Tentu saja anggapan yang seperti ini tidak tepat. Kenyataannya sampai saat ini para ilmuwan belum ada yang bisa memastikan secara tepat  faktor risiko yang membuat autisme dapat terjadi. Namun berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan, faktor genetik maupun faktor lingkungan dapat menjadi faktor yang berperan membuat autisme terjadi (Chaste & Leboyer, 2012).

 

Mengapa sebagian individu autisme baru terdiagnosis di usia dewasa?

Ada banyak alasan mengapa sebagian individu baru terdiagnosis autisme pada usia dewasa, Namun  penulis akan menjelaskan 3 alasan saja. Berdasarkan jurnal yang sudah penulis baca, ada beberapa faktor yang membuat sebagian individu dengan autisme baru terdiagnosis pada usia dewasa. Pertama, adanya individu yang tidak mengalami gejala keterlambatan berbicara pada masa awal perkembangan usianya. Keterlambatan berbicara atau yang bahasa inggrisnya speech delay biasanya dikaitkan dengan salah satu gejala autisme yang paling terlihat, namun tidak terlihatnya gejala ini pada sebagian anak membuat diagnosis autisme menjadi sulit (Zhu Feng-lei dkk, 2023). Kedua yaitu karena ada sebagian individu dengan autisme yang berasal dari keluarga yang kondisi sosial ekonominya kurang mampu. Ketiga, karena gejala autisme lebih tampak pada laki-laki dibandingkan pada perempuan. Hal ini membuat jumlah perempuan yang baru terdiagnosis autisme pada usia dewasa lebih banyak dibandingkan laki-laki (Malwane DKK, 2022).

 

Apakah individu dengan autisme bisa sembuh?

Untuk saat ini belum ada pengobatan yang bisa menyembuhkan autisme (Shenoy dkk, 2017). Hal yang ada adalah individu dengan autisme belajar untuk menyamarkan gejala autisme yang dimiliki agar tidak tampak didepan umum sehingga terlihat sembuh. Sekitar 3 sampai 25% individu yang terlihat sembuh ini tidak lagi memenuhi kriteria sebagai autisme pada saat di cek ulang menggunakan alat tes (Posar & Visconty, 2019). Sayangnya hal ini tidak memiliki dampak baik terhadap individu dengan autisme. Ditemukan bahwa individu yang terlihat sembuh karena menyamarkan gejala autismenya (masking) justru mengalami kondisi mental lain seperti depresi, gangguan kecemasan dan kondisi lainnya (Joshua dkk, 2023).

 

Walaupun hingga saat ini belum ada pengobatan yang bisa menyembuhkan autisme, namun sudah ada cara untuk penanganan agar bisa memaksimalkan potensi individu dengan autisme (Shenoy dkk, 2017). Seiring berkembangnya jumlah penanganan tepat yang bisa dilakukan, secara perlahan jumlah individu autisme yang bisa hidup mandiri sudah meningkat (Posar & Visconti, 2019). Menurut penulis, ini adalah kabar yang baik.

 

Kamu tidak terlihat seperti difabel autisme yang saya ketahui, lantas apa yang membuat autismemu masuk kategori difabel?

Sejak DSM 5 membagi autisme menjadi 3 tingkatan yang berbeda, muncul fenomena bahwa ada individu autisme yang dianggap hanya sedikit autistik, dan ada juga individu autisme yang dianggap sangat autistik (Kapp dkk, 2013). Individu yang sedikit autistik inilah yang paling sering terpapar dengan pertanyaan seperti ini. lantas, mengapa kondisi autisme yang dianggap ringan ini masih bisa dianggap difabel?

 

Walaupun individu dengan autisme Tingkat ringan tidak memiliki masalah dalam IQ layaknya difabel autisme lainnya. Namun ada gejala gejala tertentu pada autisme jenis ini yang masih membutuhkan bantuan dan penanganan yang tepat. Beberapa diantaranya yaitu bagian kesulitan berkomunikasi yang dan bersosialisasi yang mereka alami serta Kecenderungan mereka untuk melakukan gerakan repetitif yang mereka lakukan memperbesar kemungkinan mereka untuk dibully dan disalahpahami oleh Masyarakat sebagai orang yang tidak sopan. Kesalahpahaman kesalahpahaman yang diakibatkan kurangnya pengetahuan Masyarakat soal autisme membuat individu autisme terkucilkan dan akhirnya sulit bagi mereka berpartisipasi penuh di Masyarakat, yang itu membuat kondisi mereka menjadi difabel.

 

Kata kata penutup dari penulis

“Kesimpulannya, tidak ada kondisi autisme yang sama. Alasannya, karena selain memiliki spektrum yang berbeda beda, komorbid yang menyertai per individu dengan autisme bisa juga berbeda beda. Dengan kata lain, mengenali kondisi autisme dan komorbid yang bisa berbeda beda per individu autisme adalah hal yang paling penting agar para individu autisme bisa mencapai potensi maksimalnya sehingga memperbesar  peluang individu dengan autisme bisa hidup mandiri”.

 

Demikian kata kata penutup dari penulis, semoga para pembaca lebih tercerahkan pengetahuannya mengenai autisme, terimakasih.

 

Biodata penulis

Rahmat Fahri Naim merupakan individu autistic dan narkolepsi dewasa di Indonesia. Saat ini tergabung di Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel Indonesia. Ia memiliki minat untuk mendalami isu isu Invisible Difability atau yang dalam Bahasa Indonesianya disebut difabel tak kasat mata. Penulis bisa dihubungi melalui akun r_fahri_n yaitu id instagramnya.[]

 

Penulis: Rahmat Fahri Naim

Editor     : Ajiwan Arief  

Daftar Pustaka

Alvares, G. A., Bebbington, K., Cleary, D., Evans, K., Glasson, E. J., Maybery, M. T., Pillar, S., Uljarević, M., Varcin, K., Wray, J., & Whitehouse, A. J. (2020). The misnomer of ‘high functioning autism’: Intelligence is an imprecise predictor of functional abilities at diagnosis. Autism, 24(1), 221-232. https://doi.org/10.1177/1362361319852831

American Psychiatric Association. (2022). Neurodevelopmental disorders. In Diagnostic and statistical manual of mental disorders (5th ed., text rev.).

Barnett, A., Edwards, K., Harper, R., Evans, E., Alexander, D., Choudhary, M., & Richards, G. (2021). The Association Between Autistic Traits and Disordered Eating is Moderated by Sex/Gender and Independent of Anxiety and Depression. Journal of autism and developmental disorders51(6), 1866–1879. https://doi.org/10.1007/s10803-020-04669-z

Chaste, P., & Leboyer, M. (2012). Autism risk factors: genes, environment, and gene-environment interactions. Dialogues in clinical neuroscience14(3), 281–292. https://doi.org/10.31887/DCNS.2012.14.3/pchaste

Croall, I. D., Hoggard, N., & Hadjivassiliou, M. (2021). Gluten and Autism Spectrum Disorder. Nutrients13(2), 572. https://doi.org/10.3390/nu13020572

Halladay AK, Bishop S, Constantino JN, et al. Sex and gender differences in autism spectrum disorder: Summarizing evidence gaps and identifying emerging areas of priorityMol Autism. 2015;6:36. doi:10.1186/s13229-015-0019-y

Hodges, H., Fealko, C., & Soares, N. (2020). Autism spectrum disorder: definition, epidemiology, causes, and clinical evaluation. Translational pediatrics9(Suppl 1), S55–S65. https://doi.org/10.21037/tp.2019.09.09

Joshua A. Evans, Elizabeth J. Krumrei-Mancuso, and Steven V. Rouse. (2023). What You Are Hiding Could Be Hurting You: Autistic Masking in Relation to Mental Health, Interpersonal Trauma, Authenticity, and Self-Esteem.Autism in Adulthood.ahead of print http://doi.org/10.1089/aut.2022.0115

Kapp SK, Gillespie-Lynch K, Sherman LE, & Hutman T (2013). Deficit, difference, or both? Autism and neurodiversity. Developmental Psychology, 49(1), 59–71. 10.1037/a0028353

Khachadourian, V., Mahjani, B., Sandin, S., Kolevzon, A., Buxbaum, J. D., Reichenberg, A., & Janecka, M. (2023). Comorbidities in autism spectrum disorder and their etiologies. Translational psychiatry13(1), 71. https://doi.org/10.1038/s41398-023-02374-w

Malwane, M. I., Nguyen, E. B., Trejo, S., Jr, Kim, E. Y., & Cucalón-Calderón, J. R. (2022). A Delayed Diagnosis of Autism Spectrum Disorder in the Setting of Complex Attention Deficit Hyperactivity Disorder. Cureus14(6), e25825. https://doi.org/10.7759/cureus.25825

Mirkovic, B., & Gérardin, P. (2019). Asperger’s syndrome: What to consider?. L’Encephale45(2), 169–174. https://doi.org/10.1016/j.encep.2018.11.005

Posar, A., & Visconti, P. (2019). Long-term outcome of autism spectrum disorder. Turk pediatri arsivi54(4), 207–212. https://doi.org/10.14744/TurkPediatriArs.2019.16768

Shenoy, M. D., Indla, V., & Reddy, H. (2017). Comprehensive Management of Autism: Current Evidence. Indian journal of psychological medicine39(6), 727–731. https://doi.org/10.4103/IJPSYM.IJPSYM_272_17

Yulina Eva Riany, Monica Cuskelly & Pamela Meredith (2016) Cultural Beliefs about Autism in Indonesia, International Journal of Disability, Development and Education, 63:6, 623-640, https://doi.org/10.1080/1034912X.2016.1142069

Zhu, Feng-lei & Ji, Yue & Wang, Lu & Zhu, Hui-lin & Xu, Min & Ji, Yan & Zou, Xiaobing. (2023). Delay of diagnosis in autism spectrum disorder and its influencing factors. 10.21203/rs.3.rs-3193389/v1.

 

Bagikan artikel ini :

TULIS KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT

BERITA :

Berisi tentang informasi terkini, peristiwa, atau aktivitas pergerakan difabel di seluruh penjuru tanah air