Views: 1
Solidernews.com – Meskipun hak-hak disabilitas sudah diakui secara resmi dan legal dalam UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, difabel masih berupaya mengawal pendampingan dan layanan hukum. Lebih-lebih pada anak-anak difabel yang masih rentan menjadi korban pelanggaran hukum dan masih minim mendapatkan bantuan hukum. Salah satunya perempuan Tuli korban kekerasan seksual yang sampai sekarang terpaksa harus menjadi ibu tunggal bagi anak dan pelaku pemerkosaan tak kunjung ditangkap. Kejadian tersebut terjadi di Medan. Selama pengalaman dalam proses advokasi, penulis seringkali menemukan adanya upaya menutup kasus kejadian karena adanya ancaman, stigma, permintaan, dan tekanan baik dari orangtua korban maupun pelaku. Bahkan kadangkali, penulis menemukan adanya upaya mediasi damai antara korban dan pelaku agar tidak melanjutkan kasus tersebut.
Dalam UUD 1945 merupakan sumber hukum tertinggi di Indonesia dan menjamin perlindungan terhadap difabel dimana mereka mendapatkan persamaan di hadapan hukum, perlindungan hukum, dan pembebasan dari diskriminasi. Hal ini sebagaimana telah diamanatklan dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 berbunyi,
“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”
Akan tetapi, pada praktik hukum hingga kini rupanya masih belum menjumpai anak-anak difabel mendapat pengakuan dan akses yang layak di bidang hukum. Mereka masih mengalami tindakan diskriminasi dan pelanggaran hukum secara berulang-ulang, bahkan mereka diancam agar tidak melapor kasus ke polisi atau menutup mulut. Ketakutan dan trauma berat ini berdampak pada proses pendampingan hukum menjadi terhambat dan proses tersebut memakan waktu yang lebih lama. Maka, hal ini memerlukan rasa kepercayaan dan integritas semua pihak yang terlibat, baik pemerintah, aparat penegak hukum pengacara, orangtua, dan korban agar dapat mendukung proses hukum yang berjalan lancar.
Maka bertepatan pada Hari Anak Internasional yang jatuh tanggal 23 Juli, penulis berkesempatan untuk wawancara dengan kedua pengacara yang bekerja di LBH (Lembaga Badan Hukum) di Surakarta. Kami membahas tentang pengalaman pendampingan hukum bersama anak-anak difabel. Mereka telah bekerja di LBH selama hampir lima tahun dan telah melayani pendampingan hukum difabel di wilayah Jawa Tengah dan DIY. Mereka mengakui bahwa perempuan miskin difabel berusia dibawah 18 tahun menjadi klien terbanyak mendapatkan layanan hukum. Sebagian besar merupakan kasus kekerasan, bullying, dan pemerkosaaan. Mereka melayani hukum bersifat probono (tidak mendapatkan bayaran tetapi tetap melayani hukum secara profesional) karena sebagian besar korban yang didampingi berasal dari kelompok miskin.
D (nama samaran), seorang pengacara mengakui bahwa adanya upaya penutupan kasus dengan disertai uang damai (konon bisa jutaan lebih dalam satu tas) dan berbagai ancaman lainnya yang pernah beliau hadapi selama proses tersebut. D juga melarang wartawan untuk meliput kasusnya karena beliau menginginkan proses hukum yang harus dilakukan secara tertutup agar dapat menyelesaikan kasus dengan baik dan tidak perlu melebar ke mana-mana. Mereka mengakui bahwa selalu menjunjung integratis dan etika hukum yang profesional dalam membela korban.
Dalam pendampingan korban, beliau selalu melakukan pendekatan humanis bersama korban agar korban dapat merasa aman dalam berbagi kesaksian. Akan tetapi, apabila korban merasa belum siap maka beliau tidak akan memaksa padanya dan memberikan waktu untuknya. Mereka juga bekerjasama dengan para psikolog dalam memulihkan trauma para korban maupun orangtua korban juga mendapatkan layanan pendampingan hukum dimana mereka memberikan dukungan bagi korban.
Ketika ditanya kesulitan dan tantangan dalam proses pendampingan hukum, mereka mengakui bahwa ketidak pahaman dan kurangnya perspektif difabel dari aparat penegak hukum jadi salah satu penghambat. Dalam hal ini, polisi seringkali menjadi hambatan disebabkan oleh proses cenderung lama dan lambat dan kurang berkomitmen dalam bekerjasama menyelesaikan kasus hukum baik proses pelaporan maupun penangkapan para pelaku. Maka, mereka harus bekerja keras dalam menyelesaikan proses hukum tersebut yang diperkirakan akan memakan waktu paling cepat adalah satu tahun hingga paling lambat yaitu tujuh tahun. Selain ini, mereka menganggap bahwa undang-undang sebenarnya sudah lebih baik tetapi masih perlu harus ditingkatkan agar lebih baik dan dapat mencapai keadilan.
Selain itu, Y (nama samaran) menegaskan bahwa undang-undang tidak pernah salah tetapi manusia lah yang salah karena dia lah membuat undang-undang tetapi dia melanggar undang-undang yang dibuat sendiri.
Mereka berharap agar lebih ditingkatkan proses hukum dan pengawalan hukum lebih baik daripada sebelumnya, khususnya dalam mendampingi para korban yang merupakan anak-anak difabel yang miskin dan rentan, termasuk perempuan difabel. Kejujuran dalam hukum itu sangat penting agar dapat menjaga integritas dan profesional dalam menangani layanan hukum. Mereka berharap agar para polisi dapat berkomitmen dalam bekerjasama menyelesaikan suatu kasus dengan tuntas, benar, dan cepat. Anak-anak difabel berhak mendapatkan layanan hukum sebagaimana orang dewasa difabel juga mendapatkannya.[]
Reporter: Raka N M
Editor : Ajiwan Arief
Referensi
Mahkamah Konstitusi. 2024. Ringkasan Permohonan Perkara. Mahkamah Konstitusi: Jakarta
Media SAPDA. 2024. Mengenal Dasar Hukum Perlindungan Perempuan & Anak Disabilitas dari Kekerasan. SAPDA: Yogyakarta. https://sapdajogja.org/2024/02/mengenal-dasar-hukum-perlindungan-perempuan-anak-disabilitas-dari-kekerasan/