Search
en id

Gunakan fitur ACCESSIBILITY melalui tombol bagian kanan bawah sebagai preferensi untuk kenyamanan Anda.

(Berharap) Bukan Mimpi Siang Bolong Akses Informasi Media yang Setara Bagi Difabel

Views: 16

Solidernews.com – Angka Indeks Kemerdekaan Pers (IKP) Tahun 2023 yang dirilis Dewan Pers menunjukkan penurunan. Hasil survei di 34 provinsi yang melibatkan 408 informan ahli sebagai responden dan 10 anggota Dewan Penyelia Nasional (National Assessment Council/NAC) menghasilkan nilai IKP Nasional hanya 71,57 atau turun 6,30 poin dari IKP 2022. Kemerdekaan pers tahun 2023 masih tetap dalam kategori “Cukup Bebas”.

 

Angka itu diperoleh dari penilaian atas tiga variabel lingkungan dengan 20 indikator. Ketiga variabel itu adalah Lingkungan Fisik Politik, Lingkungan Ekonomi, serta Lingkungan Hukum.

Sementara ada empat dari 20 indikator yang menjadi isu utama kemerdekaan pers nasional pada IKP 2023. Sebab nilainya kurang dari 70,00 dan secara kumulatif menyumbang 26,2 persen nilai total IKP. Artinya, cukup signifikan berkontribusi terhadap penurunan IKP Nasional 2023.

 

Dua dari empat indikator tersebut berkenaan dengan difabel yang menjadi fokus dalam tulisan ini. Pertama, indikator Kesetaraan Akses bagi Kelompok Rentan (untuk variabel Fisik Politik), yaitu Kesetaraan Akses bagi Kelompok Rentan. Kedua, indikator Perlindungan Hukum bagi Penyandang Disabilitas (untuk variabel Hukum).

Dan dua indikator tersebut menjadi persoalan IKP yang sudah menahun dan belum ada upaya pemenuhannya. Dewan Pers menyimpulkan, persoalan itu terjadi karena hingga kini belum ada regulasi yang tegas menjamin pemenuhan hak akses informasi media bagi difabel secara mudah. Media massa baru sebatas mengakui, tetapi belum  memenuhi.

 

Kondisi lingkungan hukum di Indonesia disebut Dewan Pers belum ideal. Khususnya, belum ada peraturan tingkat nasional yang secara khusus mewajibkan media menyiarkan berita yang dapat dicerna difabel, seperti netra dan tuli. Tiadanya regulasi yang mewajibkan media, membuat media berkilah dengan keterbatasan yang mereka miliki dalam hal sumber daya manusia, teknologi, dan biaya.

 

Kondisi tersebut tergambar dari pernyataan sejumlah informan ahli dalam survei IKP 2023. Seperti pernyataan Ketua Bidang Hukum dan Advokasi Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Arliyus Rahman yang juga informan ahli dari Lampung: “Media terkendala sumber daya manusia dan teknologi karena membutuhkan alat tertentu untuk membuat berita khusus”.

 

Dalam konteks biaya, Ketua Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI) dan Informan Ahli Banten Cahyonoadi Raharyo Sukoco, menyatakan: “Pengalih bahasa itu mahal…”

 

Kemudian aktivis Lembaga Studi Pers dan Informasi (LeSPI) dan Informan Ahli Jawa Tengah, Wisnu Tri Hanggoro: “Media, khususnya cetak, terbatas ruangnya. Media harus memilih berita yang menarik dan laku untuk pasar. Akhirnya, media menyisihkan bagian disabilitas.”

Serta Ahli Pers dan Informan Ahli DI Yogyakarta, Susilastuti Dwi Nugraha Jati: “Kelompok disabilitas tidak akrab dengan lingkungan media dan tidak memiliki jaringan komunikasi dengan wartawan”

 

Di sisi lain, ada inisiatif yang dipandang dapat mendorong media untuk memberitakan disabilitas sebagaimana dinyatakan Tim Komunikasi Publik Pemkab Bogor dan Informan Ahli Jawa Barat, Mey Cresentya Rahail: “Misalnya radio ada award KPID untuk kategori program disabilitas,” Program award di radio, sepertinya feasible, karena radio dipandang sebagai media yang (lebih) ramah disabilitas. “…media yang ramah untuk rekan disabilitas itu radio,” kata dia.

 

Sejauh ini, Dewan Pers telah berupaya untuk memperbaiki kondisi indikator perlindungan hukum bagi difabel secara kelembagaan. Pada awal semester pertama 2021, Dewan Pers menerbitkan Peraturan Dewan Pers Nomor: 01/Peraturan-DP/II/2021 tentang Pedoman Pemberitaan Ramah Disabilitas. Isinya adalah mengarahkan semua media semaksimal mungkin menggunakan aplikasi dan infrastruktur teknologi yang tersedia untuk mempermudah akses informasi bagi seluruh difabel.

 

Sebelumnya, pada 2016, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat juga telah menyuarakan imbauan tentang penggunaan bahasa isyarat oleh lembaga penyiaran publik serta pihak-pihak lain yang terkait. Himbauan KPI tersebut sejalan dengan Pasal 39 Ayat 3 UU Penyiaran Nomor 32 tahun 2002 yang menyatakan jaminan akan hak informasi dengan ketersediaan penerjemahan.

Dan lagi-lagi persoalannya, pasal dalam UU tersebut tidak tegas mewajibkan. Artinya, boleh dilakukan atau tidak, sehingga pelaksanaannya bersifat voluntary.

 

Atas persoalan tersebut, Dewan Pers menyampaikan sejumlah rekomendasi. Pertama, Perusahaan Pers meningkatkan kapasitas jurnalis dalam memberdayakan kelompok rentan termasuk penyandang disabilitas dalam pemberitaan yang mengarah pada penghapusan diskriminasi terhadap kelompok rentan, tak terkecuali anak, kelompok masyarakat adat, dan penyandang disabilitas.

Kedua, Perusahaan Pers mengalokasi dana, personil, dan teknologi agar dapat menyiarkan berita yang dapat dicerna oleh penyandang disabilitas, seperti penderita tunarungu dan tunanetra.

Ketiga, DPR RI dan DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota bersama dengan Pemerintah Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota beserta pemangku kepentingan pers nasional secara bersama-sama segera membuat regulasi atau peraturan yang mendorong perusahaan pers agar memberikan ruang pemberitaan dan memberikan fasilitas akses informasi bagi penyandang disabilitas.

Keempat, Organisasi wartawan bekerja sama dengan pemerintah daerah dan lembaga lain melakukan pelatihan-pelatihan bagi wartawan untuk pemberitaan yang beragam, termasuk isu-isu kelompok rentan,

 

Kutipan di atas adalah hasil dari survei IPK 2023. Sementara pelaksanaan survei IPK 2024 baru kick off pada 30 April 2024 lalu. Namun apabila melihat dari indikator yang ada, penulis melihat ada potensi penurunan nilai atau bahkan jalan di tempat, khususnya indikator Perlindungan Hukum bagi Penyandang Disabilitas dan Kesetaraan Akses bagi Kelompok Rentan. Sebab belum ada jaminan pemenuhan atas indikator tersebut melalui regulasi hingga saat ini. Persoalan itu tak hanya muncul dari belum adanya kesetaraan difabel dalam mengakses informasi melalui media dan belum adanya jaminan peraturan lebih tinggi yang bersifat mengikat terkait pemenuhan akses tersebut. Boleh jadi, juga dalam proses survei IPK yang melahirkan rekomendasi itu. Penulis mencoba untuk menyarikannya dalam beberapa catatan.

 

Pertama, ada tidaknya informan ahli dari komunitas difabel atau masyarakat difabel yang dilibatkan dalam survei IPK, khususnya survei IPK 2024 yang tengah berlangsung ini.

Berdasarkan Pasal 5 Ayat (3) UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, bahwa yang dimaksud kelompok rentan adalah orang lanjut usia, anak-anak, fakir miskin, wanita hamil, dan difabel. Setiap orang termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan yang lebih khusus sesuai dengan kebutuhannya.

Dengan dimasukkannya difabel dalam indikator IPK, Dewan Pers mengakui difabel mempunyai hak untuk memperoleh akses informasi yang lebih khusus. Persoalannya, apakah Dewan Pers memasukkan komunitas difabel atau masyarakat difabel sebagai salah satu informan ahli?

 

Sementara apabila mengacu pada survei IPK 2023 di 34 provinsi, bahwa penilaian dilakukan oleh 12 Informan Ahli yang disebut kredibel dan memahami kebebasan pers di provinsi yang bersangkutan dan di Indonesia secara umum selama tahun 2022. Komposisi informan ahli meliputi 4 orang dari unsur Pemerintah/Birokrat (Anggota KI/KPI/KPU daerah, Humas Pemprov/Pemkot, TNI Polri, Kejaksaan, Pengadilan); 4 orang dari unsur civil society (akademisi, wartawan, aktivis, LSM, media watch); 4 orang dari unsur bisnis (pimpinan perusahaan media, perusahaan umum, asosiasi media).

Sebanyak 30 persen Informan Ahli berasal dari Informan Ahli di Kabupaten/Kota yang ditentukan berdasarkan pertimbangan Kabupaten/Kota yang prominent, yaitu terkait dengan informasi data kasus kekerasan terhadap wartawan.

 

Sementara pernyataan sejumlah informan ahli yang ditampilkan Dewan Pers dalam hasil survei, khususnya untuk memberikan penilaian terkait dua indikator difabilitas tadi, penulis tengarai tidak mempunyai keahlian atas kebutuhan difabel dalam mengakses media. Salah satunya tampak dari pernyataan, bahwa radio adalah media yang ramah bagi difabel. Apa alasannya radio disebut media ramah difabel, sementara tuli tidak bisa mengaksesnya?

 

Dalam keseharian, tuli berkomunikasi dengan isyarat tangan. Saat berhadapan dengan lawan komunikasi, tuli tak hanya memperhatikan gerakan isyarat tangan. Namun juga memperhatikan gerak bibir dan mimik muka.

Tak heran, saat juru bahasa isyarat (JBI) Windi Utami sangat ekspresif menerjemahkan lirik lagu “Ojo Dibandingke” yang dilantunkan Farel Prayoga saat upacara HUT Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 2023 lalu, langsung viral. Begitu pun yang pernah dilakukan JBI Pinky Waraouw yang menerjemahkan lagu “Gangnam Style” dalam penutupan Asian Para Games 2018.

 

Selain itu, Direktur Yayasan Talenta Solo, Sapto Nugroho (almarhum) dalam hasil riset Centre for Innovation Policy and Governance (CIPG) dan HIVOS Kantor Regional Asia Tenggara pada 2011 yang diterbitkan dengan judul “Media dan Kelompok Rentan di Indonesia: Kisah dari Yang Terpinggirkan dan Tersisihkan” menyebutkan. Bahwa tuli lebih mudah berkomunikasi dengan sarana visualisasi tulisan dan gambar.

Ia mengritisi penayangan berita berjalan atau running text oleh stasiun televisi. Sebagaimana kita pahami, kehadiran running text untuk menginformasikan tentang berita-berita yang tengah menjadi headline sejumlah media massa pada hari itu. Sebut saja dengan istilah “breaking news”. Bentuknya lebih menyerupai judul berita. Saat membaca, orang akan mengetahui objek yang tengah menjadi berita. Namun untuk memahami isi beritanya, publik dituntun untuk mengikuti siaran berita yang disajikan di stasiun televisi tersebut atau membaca melalui media cetak atau online.

 

Persoalannya, saat running text disajikan tidak bertepatan dengan berita bertema serupa yang tengah disampaikan. Acapkali penyiar mewartakan berita lain yang tak ada sangkut pautnya dengan isi running text. Beberapa stasiun televisi ada juga yang menyajikan running text saat penayangan iklan.

“Kalau dulu masih ada bahasa isyarat. Sekarang diganti tulisan, celakanya tulisan di layar (running text) itu berbeda dengan beritanya. Nah, teman-teman tuna rungu itu sering bingung, ini gambarnya apa, tulisannya apa. Running text. Jadi maksudnya apa? Jadi mereka kesulitan. Kalau tunarungu itu kan visual sekali ya, tulisan dan gambar,” kata Sapto dikutip dalam laporan itu.

 

Di sisi lain, keragaman difabel tak pula sebatas netra dan tuli. Ada juga difabel mental dan difabel fisik lainnya yang membutuhkan fasilitas khusus untuk bisa mengakses informasi dari beragam media massa. Dan kebutuhan fasilitas khusus tersebut bisa didapatkan dengan menggali masukan informan ahli dari kalangan difabel atau komunitas difabel itu sendiri.

 

Kedua, belum ada regulasi yang bersifat mengikat terhadap perusahaan media untuk melengkapi medianya dengan teknologi yang ramah difabel.  Bahkan revisi UU Penyiaran yang saat ini ditunda, juga tidak memuat klausul yang mengharuskan itu. Hanya pada Pasal 2 huruf j disebutkan, bahwa penyelenggaran penyiaran dilakukan berdasarkan asas Aksebilitas.

Berbeda dengan UU Penyiaran sebelumnya yang direvisi, yakni UU Nomor 32 Tahun 2002. Bahwa dalam Pasal 39 Ayat 3 memuat klausul menyatakan jaminan akan hak informasi dengan ketersediaan penerjemahan.

 

Langkah Dewan Pers menerbitkan Peraturan Dewan Pers Nomor: 01/Peraturan-DP/II/2021 tentang Pedoman Pemberitaan Ramah Disabilitas adalah sebuah terobosan mengatasi kegalauan itu. Sejumlah media massa pun telah melaksanakan pedoman itu. Sejumlah stasiun televisi misalnya, telah melibatkan juru bahasa isyarat dalam program siaran mereka. Paling banyak adalah program siaran berita. Bahkan konferensi pers secara langsung di kepolisian juga menghadirkan juru Bahasa isyarat.

 

Hanya saja, belum semua stasiun televisi menerapkan pedoman itu. Pun belum semua program siaran menghadirkan juru bahasa isyarat. Untuk siaran hiburan misalnya, belum tersentuh JBI. Stasiun televisi perlu menghadirkan lebih banyak Windi Utami dan Pinky Warouw agar media televisi itu inklusif bagi difabel. Harapannya, difabel bisa menikmati candaan “Lapor Pak!”, suara mendayu dan lirik lagu yang dibawakan para calon bintang dangdut dalam “Dangdut Academy (D’Academy)”, sebagaimana publik pemirsa lainnya.

 

Begitu pun media massa digital. Beberapa portal telah menyediakan fasilitas yang bisa diakses difabel berdasarkan difabilitasnya. Seperti media berita Solidernews.com. Tinggal klik pada ikon simbol hidup sehat seperti orang yang merentangkan kedua tangan dan kakinya ke kiri dan kanan di pojok kanan bawah, publik tinggal memilih. Ada mode untuk epilepsi, difabel netra, difabel kognitif, juga ADHD (Deficit Hyperactivity Disorder).

Bahkan portal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) juga sudah menyajikannya melalui ppid.menlhk.go.id. Publik tinggal mengklik simbol kursi pada pojok kanan atas. Di sana ada pilihan mode untuk disleksia, buta warna, ADHD, epilepsi, difabel netra, ukuran teks yang bisa dipilih sesuai kebutuhan publik. Begitu pun dengan portal kementerian lainnya, sebut saja seperti Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Sementara untuk media online, Tempo.co misalnya, sejauh ini belum menghadirkan fasilitas tersebut. Meskipun sudah menghadirkan rubrik khusus difabel.

 

Dari praktik baik yang sudah dilakukan sejumlah media massa bisa diindikasikan, bahwa menghadirkan media massa yang inklusif di Indonesia, sebenarnya bukan sesuatu hal yang tak mungkin. Bukan mimpi siang bolong. Mengingat difabel adalah bagian dari publik. Difabel juga mempunyai hak yang setara untuk mendapatkan informasi. Itulah salah satu semangat kebebasan pers di Indonesia. Tidak hanya kemerdekaan untuk media dan jurnalis dalam menampilkan dan menjalankan kegiatan jurnalistiknya. Namun juga kemerdekaan bagi publik untuk mendapatkan informasi yang layak, benar, dan mencerahkan secara setara. Penundaan revisi UU Penyiaran bisa menjadi momentum untuk melengkapi dengan klausul aturan aksesibilitas media bagi difabel. Dan tak lupa menghapus klausul-klausul kontroversial yang mengebiri kebebasan pers. Saatnya kita bersuara bersama.[]

 

Penulis   : Pito Agustin Rudiana

Editor      : Ajiwan Arief

 

Sumber:

  1. Hasil survei Indeks Kemerdekaan Pers (IKP) 2023
  2. Peraturan Dewan Pers Nomor: 01/Peraturan-DP/II/2021 tentang Pedoman Pemberitaan Ramah Disabilitas
  3. UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran
  4. Revisi UU Nomor 32 Tahun 2002
  5. UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
  6. Nugroho, Y., Nugraha, LK., Laksmi, S., Amalia, M., Putri, DA., Amalia, D., 2012. Media dan Kelompok Rentan di Indonesia: Kisah dari Yang Terpinggirkan dan Tersisihkan (Edisi Bahasa Indonesia). Laporan. Bermedia, Memberdayakan Masyarakat: Memahami kebijakan dan tatakelola media di Indonesia melalui kacamata hak warga negara. Riset kerjasama antara Centre for Innovation Policy and Governance and HIVOS Kantor Regional Asia Tenggara, didanai oleh Ford Foundation. Jakarta: CIPG dan HIVOS.

Bagikan artikel ini :

TULIS KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT

BERITA :

Berisi tentang informasi terkini, peristiwa, atau aktivitas pergerakan difabel di seluruh penjuru tanah air