Search
en id

Gunakan fitur ACCESSIBILITY melalui tombol bagian kanan bawah sebagai preferensi untuk kenyamanan Anda.

Tantangan Difabel Muda Untuk Berkontribusi di indonesia Emas 2045

Views: 33

Solidernews.com – Indonesia terkini tengah dihantam berbagai masalah yang bikin pemerintah berada di posisi tak nyaman. Mulai wacana IKN yang mendapatkan serangan, Sengketa PILPRES, masalah korupsi timah, dan kericuhan di dunia pendidikan terus menghantui meja para pejabat negara yang baik di sana. Belum lagi kampanye Indonesia Emas 2045, kini menjadi isu yang penuh paradoks.

 

Berbicara masalah difabel barang tentu isu ini seperti problematika yang tiada pernah usai menuai tantangan. Memang pemerintah sudah memberikan jaminan kesetaraan hak, melalui Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 yang membahas terkait penyandang disabilitas. Hal tersebut meliputi pemenuhan kesamaan kesempatan terhadap masyarakat difabel dalam segala aspek penyelenggaraan negara dan masyarakat, Penghormatan, serta pelindungan. Selain itu  pemenuhan hak masyarakat difabel dalam segi  penyediaan aksesibilitas dan akomodasi dapat dipenuhi secara Layak. Karena adanya pengaturan pelaksanaan dan pemenuhan hak bagi difabel, bertujuan untuk mewujudkan taraf kehidupan masyarakat difabel yang lebih berkualitas, adil, sejahtera lahir dan batin, serta bermartabat.[1]

 

Sedangkan bila merujuk dari data Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2022, jumlah  masyarakat difabel di Indonesia mencapai 28,9 juta jiwa, atau sekitar 14,3% dari total populasi.[2] Tentu dengan hal tersebut, masyarakat difabel menjadi lapisan masyarakat Indonesia yang tidak dapat diabaikan begitu saja posisinya.

 

Selain itu bila memahami konsep Indonesia Emas yang sesuai dicanangkan pemerintahan Jokowi, Indonesia Emas merupakan visi misi masa depan bangsa. Hal tersebut tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045, atau dikenal dengan sebutan cita-cita mewujudkan Indonesia Emas. Di mana dalam cita-cita tersebut, indonesia ingin dibawa ke arah negara yang maju tepat di usianya yang ke-100 tahun di 2045.[3]

 

Untuk menggapai visi misi Indonesia Emas, Jokowi menegaskan ada tiga hal pokok guna meraih Indonesia Emas di 2045, yaitu: a) stabilitas bangsa dan negara yang harus dicapai, b) keberlanjutan dan kesinambungan dalam memimpin. Jadi, pemerintahan itu dijalankan seperti estafet antara pemimpin lama menuju pemimpin baru. Bukan memulai dari nol di tiap pemerintahan baru, dan c) sumber daya manusia (SDM), yang menjadi kekuatan besar bangsa Indonesia.[4]

 

Masalah dan Tantangan Difabel Datang Silih Berganti

Ironinya hingga kini, para difabel masih saja menghadapi tantangan untuk meningkatkan potensi diri. Mulai dari pendidikan inklusi yang belum sempurna diserap seluruh pendidikan di Indonesia, masih adanya stigma buruk bagi difabel, kurang meratanya akses pengembangan diri bagi difabel, sulitnya lapangan kerja, dan lain-lain.  Bahkan diskriminasi dan kekerasan masih terjadi pada difabel di era modern kini, seperti pada kasus seorang remaja 13 tahun yang diperkosa pria dewasa hingga mengalami trauma, sebagaimana yang diwartakan pada berita dengan judul, “Pemilik Warung di Jakpus Perkosa Tetangga Disabilitas, Korban Trauma” yang memberitakan kasus tidak bermoral tersebut.[5]

Didan Akbar. Z, dkk dalam penelitiannya dengan judul “Tantangan dan Peluang Penyandang Disabilitas Fisik di Kota Bandung dalam Memperoleh Pekerjaan di Masa Covid-19,” menjelaskan Problem ketenagakerjaan di Indonesia saat ini adalah tingginya tingkat pengangguran yang setiap tahun terus meningkat. Selain itu, pencari kerja yang kurang memenuhi standar kesehatan fisik masih mengalami kesulitan dalam mencari pekerjaan.  Bagi pencari kerja dari kaum rentan yaitu difabel juga masih mengalami problem yang lebih serius dalam mengakses kesempatan kerja hingga hari ini.[6] Ia menambahkan bahwa hal tersebut disebabkan oleh stigma dan stereotype negatif yang berkembang di masyarakat mengenai difabel, peraturan kerja yang tidak mengakomodasi para difabel, dan rasa minder serta tidak percaya diri para difabel yang disebabkan oleh kurangnya kepercayaan masyarakat serta diskriminasi yang sering mereka alami.

 

Badan Pusat Statistik (BPS) dalam data terbarunya mengenai Gen Z pada 2023 menyatakan sebanyak 10 Juta generasi Z adalah pengangguran. Hal tersebut disebabkan ketersediaan lapangan kerja yang minim, pergerakan ekonomi Indonesia yang lambat, dan lain-lain. Dilansir dari merdeka.com dalam artikel berjudul, “Data BPS Catat 10 Juta Gen Z Jadi Pengangguran, Ternyata Ini Akar Masalahnya,” Ronny P Sasmita seorang pengamat ekonomi dari Indonesia Strategic and Economic Action Institution menjelaskan beberapa faktor terjadinya pengangguran yang masif di Gen Z. Ia menjelaskan bahwa pertumbuhan ekonomi lambat, minimnya lapangan kerja, mentalitas Gen Z yang lemah, pemerintah belum terlalu optimal mendorong akselerasi investasi di sektor-sektor yang sesuai dengan karakter gen Z, dan pendidikan begitu mahal, menjadi beberapa faktor yang menyebabkan pengangguran di generasi ini begitu tinggi.[7]

 

Tentu dengan beberapa fakta di atas, para kawula muda difabel juga merasakan dampak nyata pastinya. Susahnya lapangan kerja, minimnya skill yang dimiliki, susahnya mencari wadah aktualisasi diri, masalah mental health, dan sejenisnya menjadi persoalan dasar difabel muda kekinian. Belum lagi persoalan betapa masifnya informasi di era modern kini. Bagi difabel muda yang tidak pandai memaksimalkan dan menggunakan akses internet tentunya hal ini sangat berdampak besar pada peluang karier kerjanya.

 

Tiada Langkah Tenang dan Mudah Untuk Menggapai Pendidikan Berkualitas Bagi Difabel

Aspek pendukung paling penting pada peningkatan mutu di Indonesia, dapat ditinjau dengan seberapa besar seluruh aspek masyarakat bisa mengenyam pendidikan. Baru-baru ini malah terjadi perbincangan panas yang membuat para mahasiswa di pendidikan tinggi merasa ditekan habis-habisan, yang mana masalah tersebut adalah kenaikan UKT yang berkali-kali lipat. Dalam polemik tersebut, Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kemendikbudristek, Tjitjik Sri Tjahjandarie merespons bahwa pendidikan tinggi itu tidak wajib, karena itu adalah pilihan.

“Pendidikan tinggi adalah tertiary education, jadi bukan wajib belajar. Artinya, tidak seluruhnya lulusan SLTA/SMK itu wajib masuk perguruan tinggi. Itu sifatnya adalah pilihan,” ujar Tjitjik.

 

Bila melansir dari beberapa sumber, yang dimaksud dengan tertiary education di pendidikan tinggi adalah posisi akses ke pendidikan tinggi bersifat tersier. Jadi tidak menjadi hal yang harus dan wajib untuk dimasuki para generasi muda. Merujuk penjelasan dari situs Bank Dunia, tertiary education adalah pendidikan formal pasca sekolah menengah, yakni pendidikan setelah SMA. Nah, yang dimaksud dengan tertiary education adalah jenjang pendidikan di universitas negeri dan swasta, perguruan tinggi, lembaga pelatihan teknis, dan sekolah kejuruan.[8]

 

Selain itu, masih dijelaskan pada artikel yang sama, posisi pendidikan tersier ini justru sangat membawa dampak positif bagi sebuah negara. Karena yang dibangun di pendidikan tinggi adalah kualitas skill profesional dan pengembangan tingkat lanjut pada kemampuan individu. Pendidikan tersier bermanfaat tidak hanya bagi individu, tetapi juga masyarakat secara keseluruhan. Lulusan pendidikan tersier lebih sadar lingkungan, memiliki kebiasaan yang lebih sehat, dan memiliki tingkat partisipasi warga yang lebih tinggi. Juga, peningkatan pendapatan pajak dari pendapatan yang lebih tinggi, dan anak-anak yang lebih sehat, semuanya membangun negara yang lebih kuat. Singkatnya, lembaga pendidikan tersier mempersiapkan individu tidak hanya dengan memberi mereka keterampilan kerja yang memadai dan relevan, tetapi juga dengan mempersiapkan mereka untuk menjadi anggota aktif komunitas dan masyarakat mereka.[9]

 

Sedangkan bila melihat fakta akses pendidikan tinggi yang sekarang tengah buming masalah UKT (Uang Kuliah Tunggal) yang naik, tentunya ini malah menjadi kabar tidak enak bagi difabel muda. Selain itu, tidak jarang para difabel yang berkuliah itu harus berjuang mati-matian mempersiapkan diri untuk berkuliah. Seperti difabel netra yang harus menguasai komputer bicara, cara advokasi hak di institusi pendidikan, dan sebagainya. Selain itu, hingga kini konteks pendidikan inklusif masih terus diperjuangkan. Karena nyatanya, pendidikan inklusif masih belum tergapai secara maksimal di seluruh pendidikan tinggi maupun jenjang sebelumnya.

Sudah mengalami diskriminasi, hak belum terpenuhi, fasilitas publik pendidikan belum semua sadar inklusi, dan sejenisnya menjadi dilematik yang terus menghajar difabel yang mengenyam pendidikan.[10] Belum lagi kurikulum yang terus berganti-ganti, juga setia menghajar penerapan pendidikan inklusif. Dengan fakta para difabel itu mayoritas berada pada taraf ekonomi bawah, bila dihadapkan dengan biaya pendidikan yang tiada sanggup lagi dibayar, difabel muda harus apa?

 

Difabel Muda Harus Tetap Optimis

Meski beberapa permasalahan di atas memang sekarang nyata terjadi, para difabel muda harus tetap optimis untuk berkiprah di Indonesia Emas 2045. Semua itu sudah dijamin dalam UU. No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, UU. No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Bab IV Pasal 5 ayat 2, 3, dan 4 dan Pasal 32 yang Menjamin Hak Belajar Bagi Siswa Berkebutuhan Khusus, dan PP. No. 52 Tahun 2019 tentang Kesejahteraan Sosial Bagi Penyandang Disabilitas Sudah Menjadi Beberapa Aturan yang Membela Hak Difabel.

 

Namun, jelas bahwasanya peningkatan skill baik yang bersifat hard skill mau pun soft skill harus terus dikaji oleh para difabel muda. Masalah pendidikan juga ada jalan lewat beasiswa, yang akan mudah di gapai bila kompetensi soft skill dan hard skill dapat membangun tingkat Intelegent Quality dan Emosional Quality secara terus menerus. Semua hal itu merupakan upaya agar difabel muda selalu memiliki bekal dan kemampuan yang dibutuhkan sesuai zaman. Sehingga dengan hal tersebut, partisipasi difabel muda pada kancah Indonesia Emas 2045 bukan menjadi hal mustahil.

Meski Indonesia tengah digempur masalah pendidikan, sosial, ekonomi, dan politik, kita sebagai difabel tidak boleh lengah. Jangan berikan waktu pada diri hanya untuk merutuki nasib. Bangkit! Bangun jiwa pejuang, hadapi masalah, cari solusi, dan komunikasikan dengan orang yang kalian yakini dapat membimbing kualitas personal agar terus meningkat. Jangan takut, karena hasil tidak pernah mengkhianati perjuangan berdarah kita![]

 

Penulis: Wachid Hamdan

Editor   : Ajiwan Arief

[1] BPK RI, UU. No. 8 Tahun 2016 tentang penyandang disabilitas, https://peraturan.bpk.go.id/Details/37251/uu-no-8-tahun-2016/, diakses pada 27 Mei 2024.

[2] Data Disabilitas 2022, https://sensus.bps.go.id/topik/dataset/sp2022/19/, diakses pada 28 Mei 2024.

[3] Administrator, “Mewujudkan Indonesia Emas di 2045,” https://indonesia.go.id/kategori/editorial/7269/mewujudkan-indonesia-emas-di-2045?lang=1, diakses pada 28 Mei 2024.

[4] Ibid.,

[5] Ammar Rezqianto, “Pemilik Warung di Jakpus Perkosa Tetangga Disabilitas, Korban Trauma,” https://news.detik.com/berita/d-7360037/pemilik-warung-di-jakpus-perkosa-tetangga-disabilitas-korban-trauma/, diakses pada 29 Mei 2024.

[6] Didan Akbar. Z, dkk, “Tantangan dan Peluang Penyandang Disabilitas Fisik di Kota Bandung dalam Memperoleh Pekerjaan di Masa Covid-19,” Jurnal Sosial Humaniora (JSH) 2022, Volume 15, Hlm. 19.

 

[7] Idris Rusadi, “Data BPS Catat 10 Juta Gen Z Jadi Pengangguran, Ternyata Ini Akar Masalahnya,” https://www.merdeka.com/uang/data-bps-catat-10-juta-gen-z-jadi-pengangguran-ternyata-ini-akar-masalahnya-137997-mvk.html?screen=11/, diakses pada 29 Mei 2024.

[8] Kristyn Schrader, “tertiary education,” https://www.worldbank.org/en/topic/tertiaryeducation, diakses pada 29 Mei 2024.

[9] Ibid.,

[10] Agung Tri. W dan Nur Laila. A, “Problematika Pendidikan Inklusi di Indonesia,” https://publikasiilmiah.ums.ac.id/handle/11617/11174, Januari 2019, Hlm. 18.

Bagikan artikel ini :

TULIS KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT

BERITA :

Berisi tentang informasi terkini, peristiwa, atau aktivitas pergerakan difabel di seluruh penjuru tanah air