Views: 9
Solidernews.com – Sebelum lebaran, sebagai seseorang yang aktif di komunitas berbasis difabel psikososial, saya menyambangi Umi, penyintas skizofrenia yang tinggal tidak jauh dari rumah saya. Kedatangan saya untuk bersilaturahmi, sebab selama ini sebagai pendamping, kami biasa berkomunikasi lewat telepon. Beberapa waktu terakhir Umi harus secara intens melakukan pemeriksaan berkala sebab beberapa gejala penyakit yang menimpanya. Salah satunya adalah gejala stroke ringan.
Selain itu, saya ingin memastikan bahwa ia dapat mengakses JKN-KIS (Jaminan Kesehatan Nasional) berupa (Kartu Indonesia Sehat) dalam pengobatan yang dilakukannya. Juga terkait bagaimana ia berkomunikasi dengan dokter ahli yang menanganinya sebab selama ini ia juga pasien psikiatri. Umi rupanya paham hal itu dan komunikasi serta pemeriksaan yang dilakukan tidak ada kendala.
Namun ada kendala secara internal keluarga sebab suami Umi yang seorang bipolar jika mengalami relaps biasanya tidak dapat mengatur emosi serta sering melakukan kekerasan fisik, baik kepada Umi dan anaknya yang berumur 7 tahun. Di saat itulah Umi butuh pendampingan secara intens baik oleh keluarga besar dan kawan komunitas. Apalagi si anak pernah didiagnosa memiliki ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder) dan dalam waktu hampir satu tahun mendapatkan beberapa terapi fasilitas dari pemerintah kota.
Belum lagi kondisi rumah tinggal yang memprihatinkan, luasnya tidak lebih dari 30 meter persegi dan tidak ada sekat permanen antara kamar tidur dan ruang menemui tamu. Umi tinggal di tanah milik pemerintah yang sewaktu-waktu akan digusur. Sebuah kekhawatiran yang selalu menghantuinya selain kecemasan jika suaminya mengalami relaps (kekambuhan) dan melakukan kekerasan.
Dari salah seorang keluarganya didapat keterangan jika mereka sudah lama mendampingi Umi bahkan sejak lulus sekolah dan mengalami sakit skizofrenia. Keluarga sudah paham jika Umi sambat alias mengeluh tentang kehidupannya pasti berkaitan dengan kondisi ekonomi.
Campur tangan komunitas sebenarnya sudah dilakukan dalam upaya pemberdayaan ekonomi keluarga ini dengan memprioritaskan bantuan dari dinas terkait misalnya saja kala ada program Atensi oleh Kemensos juga bantuan dari beberapa lembaga misalnya Baznas.
Umi yang memiliki kecakapan di bidang kuliner dengan membuat kue-kue dan menerima pesanan tak pantang surut untuk bangkit dan berdaya. Namun dengan kondisi saat ini yang tengah mengalami berbagai penyakit, salah satunya stroke ringan, turut membantu perekonomian keluarga menurutnya adalah hal yang tidak mudah dilakukan. Sebab terkadang ia mengalami kesulitan mobilitas.
Lantas bagaimana dengan suasana momentum lebaran kemarin? Lewat percakapan WhatsApp, Umi mengatakan kepada saya jika ia tidak ikut berkumpul di acara keluarga besar sebab masih memiliki kendala badan yang sakit dan terbatas dalam mobilitas. Namun ia mengaku beberapa sanak-saudara menjumpainya di rumahnya yang kecil.
“Terus pas lebaran hari pertama, malam harinya teman-teman saya datang bawa makanan sama bingkisan lebaran bu,” sambung Umi mengabarkan dengan rasa kegembiraan.
Tak beda dengan Umi, penyintas skizofrenia. Saya pun menanyakan kabar kepada Opi, survivor bipolar yang hidup berdua saja dengan sang ibu yang guru PNS. Sehari-hari kegiatan Opi adalah membuat kue dan menitipkannya di lapak-lapak penjual. Omsetnya lumayan banyak apalagi menjelang lebaran ia juga menerima pemesanan kue-kue lebaran sehingga memperkerjakan beberapa karyawan.
“Pokoknya kalau lagi di rumah aku harus melakukan aktivitas dengan membuat kue-kue serta menjualnya. Itukah pekerjaanku. Supaya aku tidak banyak melamun dan tidak berpikiran negatif,” terang Opi. Beberapa tahun lalu sang ayah wafat. Hal tersebut membuat kesedihan mendalam. Apalagi saat lebaran lalu. Opi mengaku jika lebaran sepi semenjak ayahnya meninggal. Beruntung sanak-saudara berkumpul di rumahnya sehingga ia tidak kesepian.
Ia tidak merasa canggung untuk berinteraksi karena memang statusnya sebagai seorang bipolar ia tutupi rapat-rapat sebab tidak ingin mendapatkan stigma buruk. Hanya keluarga dan teman yang dekat saja yang tahu dan paham keadaannya. Menurutnya, dengan rutin kontrol lalu meminum obat maka ia pulih dan bisa berkarya sehingga tidak ada yang perlu dikhawatirkan sebab ia merasa sama dengan orang lain. Sampai saat ini ia masih enggan membuka diri, bercerita tentang kondisi dirinya yang sebenarnya. “saya lebih nyaman dengan seperti ini,”katanya kepada saya.
Dengan dukungan sang ibu dan keluarga dekatnya serta komunitas, Opi merasa berharga dan berguna di masyarakat. Maka dari itu ia seringkali menyambangi teman-teman komunitasnya ke rumah masing-masing untuk bersilaturahmi.
Dalam situs resmi Kemenkes, penelitiannya yang dilakukan Mestdagh (2013) mengatakan masih banyak pasien yang mengalami perlakuan diskriminasi meskipun mereka sudah dalam perawatan kesehatan mental berbasis komunitas. Hal ini ditunjang juga dengan penelitian yang dilakukan Muhlisin (2015) yang mengatakan pasien yang kembali ke masyarakat setelah dinyatakan sembuh tidak mendapatkan dukungan dari rekan-rekan, keluarga dan lingkungan masyarakat, karena mereka beranggapan takut penyakitnya kambuh lagi. Pratiwi dan Nurlaily (2010) menambahkan keluarga yang mempunyai anggota keluarga yang mengalami penyakit mental, mereka tidak dilibatkan dalam masalah keluarga, mereka dikurung dan dirantai saat kambuh atau mengamuk.
Terlepas apakah penelitian di atas dilakukan di kota maupun desa. Atau masih lokus di pulau Jawa atau luar Jawa, memang tidak mudah untuk menyamakan kondisi antara difabel psikososial yang hidup di perkotaan maupun pedesaan. Di perkotaan yang ramah fasilitas kesehatannya jelas itu suatu bentuk dukungan kesehatan yang bagus. Meski terkait perspektif masyarakatnya harus terus-menerus diperbaiki untuk mengubah stigma.
Namun berkaca dari cerita Umi dan Opi bagaiman struggle-nya mereka di tengah kondisi kesehatan mental yang dialaminya, tentu ada peran-peran banyak pihak di sana.
Pengetahuan masyarakat bagaimana menghadapi difabel psikososial juga menjadi kunci bagaimana harmonisasi terjadi.
Ada beberapa tips yang bisa dilakukan untuk masyarakat awam jika ingin berelasi secara sehat kepada difabel psikososial. Mengutip situs klikdokter.com beberapa tips yang berguna dan bisa kita hindari saat berelasi atau berkomunikasi dengan seorang bipolar. Seperti ucapan-ucapan berikut ini.
- “Reaksi Anda Terlalu Berlebihan.”
Seseorang dengan bipolar biasa menunjukkan gejala berupa reaksi berlebih. Saat Anda hanya menganggapnya berlebihan, hal ini bisa membuatnya mengabaikan gejala tersebut.
Komentar tersebut juga dapat membuat orang dengan bipolar merasa tidak dihargai perasaannya, malu, dan tidak diberi empati.
Lebih baik, tunjukkan sikap empati dan hindari menunjukkan kekesalan karena reaksi yang muncul.
- “Apa Pun yang Tidak Membunuhmu akan Membuatmu Kuat”
What doesn’t kill you makes you stronger – mungkin hal ini sudah tak asing di telinga. Tapi, hal ini belum tentu berlaku pada orang dengan gangguan bipolar.
Beberapa orang dengan bipolar memang bisa melewati pengalaman yang sulit dan mengambil pelajaran, sehingga mereka menjadi pribadi yang lebih kuat.
Namun, bipolar juga bisa memicu seseorang untuk bunuh diri. Studi dalam jurnal Medicina menunjukkan, sebanyak 20-60 persen orang dengan bipolar pernah mencoba bunuh diri paling tidak sekali dalam hidupnya.
Ketika berinteraksi dengan orang bipolar, hindari mengucapkan kata-kata yang tidak seharusnya. Bisa saja ia mengalami situasi yang sulit dan membutuhkan dukungan.
- “Orang-Orang Juga Kadang Mengalami Mood Swing”
Mood swing merupakan perubahan suasana hati yang cepat dan intens. Ini merupakan kondisi yang cukup normal dan bisa terjadi karena stres maupun masalah kesehatan fisik.
Namun, mood swing pada gangguan bipolar bisa terus berulang dan parah. Tidak seharusnya mood swing yang dialami oleh orang dengan bipolar disamakan dengan orang yang sehat secara mental.
Ikhsan Bella Persada, M.Psi., Psikolog, menjelaskan perubahan suasana hati pada penderita bipolar dan individu yang tidak memiliki bipolar sangatlah berbeda.
Bipolar terjadi karena adanya ketidakseimbangan hormon di otak. Adanya pemikiran bahwa mood swing sama dengan bipolar justru bisa membuat penderita mengalami trust issues (hilang kepercayaan).
“Akhirnya mereka mengembangkan trust issue, karena merasa masih ada stigma dari orang di sekitarnya bahwa gangguan mood yang dialami bukan hal yang perlu menjadi perhatian,” ujarnya.
- “Terkadang Orang-Orang Juga Sedikit Bipolar”
Perubahan suasana hati tidaklah sama dengan bipolar. Oleh karena itu, tidak seharusnya mengatakan kalau bipolar terjadi pada semua orang yang mengalami perubahan mood.
Hal tersebut bisa membuat penderita bipolar mengabaikan gejala yang dialaminya dan apa yang dirasakan.
- “Anda Gila”
Kata-kata negatif seperti “aneh”, “gila”, dan lainnya tidak seharusnya diucapkan. Karena, hal ini bisa membahayakan kondisi penderita gangguan mental, termasuk bipolar.
Kata-kata tersebut juga akan menyakiti perasaan penderita. Jadi, lebih berhati-hati akan apa yang hendak diucapkan.
- “Kamu Seperti Seorang Maniac”
Maniac adalah istilah yang menggambarkan seseorang yang suka melakukan kekerasan dan gila. Istilah ini sering dikaitkan dengan suatu hal negatif atau menyesatkan.
Saat orang dengan bipolar mengalami fase mania, bukan berarti ia selalu melakukan hal berbahaya. Bipolar juga berbeda dengan gangguan kepribadian antisosial atau psikopat.
Pemilihan bahasa saat mendefinisikan suatu kelainan harus berhati-hati. Karena, bisa saja bahasa yang digunakan tidak sesuai dengan penyakit yang diderita orang tersebut.
- “Saya Ingin Jadi Maniac Agar Bisa Menyelesaikan Banyak Hal”
Kalimat tersebut hanya akan membuat Anda terkesan meremehkan kondisi yang dialami penderita bipolar. Selain itu, hal ini juga menunjukkan Anda kurang memahami efek buruk maniac.
Saat fase mania, penderita bipolar bisa saja memiliki banyak energi yang membuatnya sangat produktif dan bisa menyelesaikan banyak hal. Namun, fase ini juga bisa menyebabkan kondisi sulit tidur dan perilaku impulsif.
- “Kamu Terlihat Baik-baik Saja”
Orang dengan bipolar bisa saja terlihat baik-baik saja. Karena, mungkin saat bertemu dengannya, ia sedang dalam siklus yang baik atau sedang menyembunyikan perasaannya.
Menurut Ikhsan, mengucapkan kalimat “terlihat baik-baik saja” justru membuat Anda terkesan tidak berempati dengan kondisi yang dialaminya. Kondisi ini bisa menimbulkan keinginan pada orang dengan bipolar untuk menarik diri dari lingkungan.
- “Kamu Hanya Alami Premenstrual Syndrome”
Perubahan hormon menjelang menstruasi memang bisa memengaruhi suasana hati. Namun, anggapan bahwa bipolar sama dengan gejala PMS juga salah.
Bipolar bisa dialami siapa pun, tidak terbatas pada wanita saja. Kalimat tersebut bisa menyinggung penderita.
Bila teman atau keluarga Anda mengalami bipolar, berikan dukungan dan rekomendasikan terapi terbaik. Hal ini dapat membuatnya merasa lebih bahagia dan semangat untuk mengatasi gangguan yang dialami.[]
Reporter: Astuti
Editor : Ajiwan
Sumber :
ttps://www.klikdokter.c