Views: 3
Solidernews.com – Pendidikan merupakan hal yang sudah menjadi kesatuan dalam hidup setiap individu. Semua itu sebagaimana mandat negara dalam UUD 45 yang menjabarkan tugas bangsa untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Jadi, pendidikan ini menjadi aktivitas yang memang di dukung oleh masyarakat dan bangsa Indonesia secara konstitusional, sebagaimana mandat UUD 45.
Menyadari hal tersebut, tentunya di Indonesia selalu berbenah, memaksimalkan, dan berproses terus terkait mutu dan kualitas pendidikan. Baik di ranah dasar hingga perguruan tinggi. Hal ini tidak terkecuali pendidikan untuk difabel yang posisinya tidak dapat diabaikan begitu saja keberadaannya.
Mulai dari Kebijakan Pendidikan inklusif yang mengacu pada Undang-Undang yang ditetapkan dan berlaku hingga kini di Indonesia, undang-udang tentang kesejahteraan disabilitas, dan lain-lain. UUD 1945 Pasal 28H ayat (2) menyebutkan bahwa setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan. Untuk memenuhi mandat undang-undang tersebut, pemerintah mengeluarkan kebijakan tentang pendidikan inklusif bagi peserta didik berkebutuhan khusus yang diatur dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Bab IV Pasal 5 ayat 2, 3, dan 4 dan Pasal 32 yang menyebutkan bahwa pendidikan khusus merupakan pendidikan untuk peserta didik yang berkelainan (fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial) atau peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan secara inklusif, baik pada tingkat dasar maupun menengah. UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas Pasal 10 menyebutkan bahwa peserta didik berkebutuhan khusus berhak untuk mendapatkan layanan pendidikan yang bermutu di semua jenis, jalur dan jenjang pendidikan.
Dengan beberapa dari peraturan yang ada di atas, kini para difabel dapat bersekolah dan berkuliah dengan lancar. Namun, tentunya kelancaran itu tidak lantas menghadirkan pendidikan yang sempurna. Masih saja banyak kejadian diskriminasi, penyudutan, dan kurang mampunya tenaga ajar membina siswa/mahasiswa yang bersekolah di sekolah inklusif. Apalagi bila difabel tersebut, bersekolah/kuliah di jurusan yang sangat jarang ada difabel yang masuk di situ. Pasti tantangan yang dihadapi tidaklah mudah. Seperti saya yang kuliah di jurusan yang tidak terlalu menarik minat difabel, yaitu di jurusan Sejarah dan Kebudayaan islam.
Gedung yang masih jauh dari standar aksesibilitas bagi difabel
Awal tahun 2020 saya resmi menjadi mahasiswa di salah satu kampus Islam di yogyakarta. Hal ini tentu menjadi tonggak kebahagiaan bagi saya. Meski difabel, nyatanya saya tetap bisa melanjutkan studi di S1 jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam. Namun kebahagiaan itu tidak bertahan lama, saat mengetahui betapa fasilitas untuk difabel di gedung saya itu sangat kurang layak.
Pertama, akses kamarmandi yang susah dijangkau oleh difabel netra seperti saya. Sebab ada beberapa lantai yang akses menuju kamar mandi itu memiliki pola ruangan yang padat berbagai barang, yang kadang barang-barang itu selalu berubah posisi. Mulai kursi, meja, kardus paket, dan sejenisnya, menjadi hal awal kurang kondusifnya gedung saya bagi difabel netra. Tentu hal itu sepele bagi mahasiswa nondifabel. Tapi bagi difabel netra hal itu sangat membahayakan. Risiko tersandung, tertimpa, dan menabrak barang-barang itu sangat riskan menyebabkan cedera.
Kedua, posisi tangga yang untuk menuju tangga pertama lantai satu, desain jalannya dibuat serong karena tertutup oleh meja dan kursi. Jujur, menikmati kuliah di jurusan yang disenangi, memang membawa rasa bahagia tersendiri. Meski jurusan itu jarang ada difabel netra lain. Namun, ya seperti ini. Kondisi dan pemetaan ruangan masih berbasis estetika, nyaman untuk mahasiswa nondifabel, dan cenderung menyulitkan mahasiswa difabel seperti saya.
Ketiga, tiadanya guiding block di tiap lantai menuju kelas. Ya, bila mengharap adanya fasilitas guiding block menuju tiap kelas dirasa terlalu berlebih dan memakan banyak biaya, di gedung saya, bahkan dari lobi, ke tangga, dari tangga menuju slasar kelas, dan akses menuju kamar mandi itu tidak ada sama sekali guiding block. Padahal itu sangat membantu mahasiswa difabel netra seperti saya. Adanya sarana tersebut, difabel netra jadi lebih mudah bermobilisasi di gedung fakultas, tidak harus merepoti teman, dan tentunya ia merasa aman karena ia berjalan dengan bimbingan guiding block, yang minim dari menabrak barang atau pintu.
Padahal kampus saya mengadopsi sistem inklusi. Namun, penerapannya dirasa belum maksimal. Hal itu bisa dibuktikan dengan beberapa hal di atas. Karena ada kekurangan fasilitas aksesibilitas di gedung saya, pernah suatu kali saya kebingungan mencari tangga, bingung mencari toilet, mushola, dan endingnya saya sering meminta bantuan mahasiswa yang kebetulan berpapasan dengan saya.
Tenaga ajar yang kurang mengakomodasi mahasiswa difabel
Memang bila di runut dari angkatan kakak tingkat, apakah tidak ada difabel netra lain? Jawabannya tentu ada. Namun, itu adalah angkatan empat tahun di atas saya. Tentunya ia sudah lulus. Bahkan semenjak kating tersebut lulus, baru ada saya lagi sebagai difabel netra di angkatan 2020. Jadi, seangkatan hanya saya yang memiliki kebutuhan khusus, sebagai difabel netra. Sebab minimnya dosen berinteraksi dengan mahasiswa difabel di kelas yang diampu, tentunya ini memengaruhi daya kreatif dosen dalam menyediakan pengajaran yang aksesibel bagi dfabel. Selain itu, dosen cenderung kurang komunikatif dengan difabel. Bahkan sampai ada yang kurang merespon negosiasi saya terkait penugasan mata kuliah.
Waktu itu, ada salah satu mata kuliah Ulumul Quran di semester awal. Sedangkan di kelas saya berusaha aktif dengan segala upaya yang bisa saya lakukan. Mulai memahami materi di luar jam kelas, karena presentasi penuh dengan ayat, ilustrasi visual, dan pemaparan yang tidak menggunakan komunikasi verbal. Melainkan masih menggunakan komunikasi simpel yang didukung oleh gambar-gambar. Ending dari kesulitan saya adalah pengerjaan UAS itu menggunakan media website, yang mana website yang digunakan dosen saya itu tidak aksesibel sama sekali. Saat saya minta penugasan lain, beliau tidak bisa mengkonfirmasi, dan ia menjawab untuk dikerjakan sebisanya. Akhirnya di mata kuliah ini saya mendapatkan nilai yang kurang memuaskan dan menjadi nilai paling rendah dari jajaran nilai lainnya.
Saya berharap semoga dengan kehadiran saya di jurusan ini, dapat memberikan gambaran kepada dosen terkait memenuhi hak difabel. Meski memang ada layanan terkait difabel, nyatanya untu kualitas dan strategi ajar dosen belum memenuhi standar inklusif. Advokasi, kontribusi, dan diskusi terus saya lakukan untuk memberi gambaran dosen bagaimana mengajar difabel netra. Meski ada yang menerima, ada juga yang tidak menghiraukan, setidaknya saya sudah berjuang, mencoba, dan membangun jiwa inklusif di diri saya yang berkuliah di jurusan yang sepi difabel.[]
Penulis: Wachid Hamdan
Editor : Ajiwan