Views: 57
Solidernews.com – Berbicara tentang pendidikan inklusif tentu menjadi dinamika kehidupan yang harus diperhatikan secara jeli. Bukan hanya soal kesiapan undang-undang, fasilitas aksesibilitas, dan tenaga ajar. Melainkan sosialisasi berjenjang secara berkelanjutan harus disadari bersama antar generasi yang berkiprah di bidang pendidikan inklusif.
Pengadaan tenaga profesional, fasilitas belajar, penataan ruang sekolah yang aksesibel, dan akses informasi yang setara menjadi salah satu spirit dalam wacana pendidikan inklusif. Jadi, semua kategori masyarakat dapat mengakses pendidikan dengan nyaman dan terpenuhi hak-haknya. Tapi bagaimana dengan siswa difabel? Apakah mereka sudah mendapatkan akses pendidikan yang layak? Mari kita bahas.
Pendidikan Inklusif harus menjadi kesadaran bersama bukan hanya menjadi formalitas Meninjau dari PANDUAN “Pelaksanaan Pendidikan Inklusiff,” yang diterbitkan oleh Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen PENDIDIKAN Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia menjelaskan bahwa Kebijakan Pendidikan inklusiff mengacu kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. UUD 1945 Pasal 28H ayat (2) menyebutkan bahwa setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.
Maka dari itu, guna memenuhi mandat undang-undang di atas, pemerintah mengeluarkan kebijakan tentang pendidikan inklusif bagi peserta didik berkebutuhan khusus yang diatur dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Bab IV Pasal 5 ayat 2, 3, dan 4 dan Pasal 32 yang menyebutkan bahwa pendidikan khusus merupakan pendidikan untuk peserta didik yang berkelainan (fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial) atau peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan secara inklusif, baik pada tingkat dasar maupun menengah. UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas Pasal 10 menyebutkan bahwa peserta didik berkebutuhan khusus berhak untuk mendapatkan layanan pendidikan yang bermutu di semua jenis, jalur dan jenjang pendidikan.[1]
Bila melihat dari peraturan yang berlaku, maka seharusnya tidak ada lagi diskriminasi bagi siswa difabel dalam dunia pendidikan. Masyarakat, tenaga pendidikan, dan para siswa nondifabel harus memahami hal ini secara komperehensif. Hal itu bisa melalui sosialisasi secara berkala, membangun komunikasi baik dengan orang tua yang memiliki anak difabel, memiliki komunikasi dua arah antara guru dan siswa difabel, dan menghadirkan para pegiat pendidikan inklusiff guna membangun sistem dan prasarana yang diperlukan.
Pendidikan Inklusif masih mengalami tantangan
Agung Tri Wibowo dan Nur Laila Anisa dalam artikel yang diterbitkan oleh publikasiilmiah.ums.ac.id, dengan judul, “PROBLEMATIKA PENDIDIKAN INKLUSIF DI INDONESIA,” menyatakan Pada dasarnya sekolah inklusif merupakan pengembangan sistem pendidikan yang dapat mengakomodasi kebutuhan anak didik dengan latar belakang apapun. Baik difabel atau nondifabel, dari keluarga kurang mampu, dan pengadaan fasilitas itu bisa terlaksana sesuai pada perundangan yang berlaku, tanpa adanya diskriminasi. Diharap dari hal tersebut, dapat terbangun sistem sosial yang saling menghargai, semua menyadari bahwasanya tiap-tiap manusia memiliki keunikan, serta dapat berinteraksi secara baik antar siswa non-difabel maupun siswa difabel.[2]
Masih pada artikel yang sama, kedua penulis tersebut memaparkan bahwasanya, “masalah muncul dengan kebijakan program pendidikan inklusif yang nyatanya belum siap secara utuh menjadi pendidikan inklusif, diantaranya: a. Masih jarangnya sekolah yang mau menerima peserta didik dengan hambatan baik fisik, intelegensi, emosi, dan sosial. b. Beberapa sekolah yang telah memenuhi syarat menjadi sekolah inklusif, masih subjektif dengan mementingkan beberapa aspek pandangan saja tanpa kesiapan menyeluruh. c. Sangat kurangnya guru yang berlatar belakang S1 pendidikan khusus berkaitan dengan layanan pendidikan bagi ABK. d. Kurangnya kesadaran masyarakat dengan adanya anggapan bahwa anak-anak berkebutuhan khusus bisa menular. Ini menjadi salah satu jurang pemisah antara ABK dengan anak non-ABK.”[3]
Dilansir dari artikel yang diterbitkan solidernews.com dengan judul, “Pendidikan Inklusif, Berikan Kemerdekaan Belajar bagi Semua,” Joni Yulianto selaku Direktur Sigab memberikan penjelasan di awal sambutannya tentang kampus UIN Sunan Kalijaga sebagai kampus pertama yang mengimplementasikan pendidikan inklusif di Indonesia sejak 2010 dengan nama Pusat Studi Layanan Disabilitas (PSLD). Ia menjelaskan bahwa dari waktu ke waktu masih ditemukannya pelanggaran yang terjadi di pendidikan dasar hingga tinggi bagi difabel. Selain itu, Reny Indrawati sebagai orang tua yang memiliki anak difabel menyatakan perjuanganya tidaklah mudah. Hal itu cukup berat, sebab beliau harus mendampingi putranya saat bersekolah agar mendapatkan akses informasi dan pengetahuan dengan baik. Ia juga menyatakan bahwa harus rela menjadi guru bayangan bagi anaknya, yang disebabkan sekolah belum menyediakan guru pendamping bagi anak difabel. Itulah mengapa ketika anak difabel mendaftar di sekolah umum (bukan SLB) ada penolakan pihak sekolah karena belum siap dari sisi ketersediaan guru berpengalaman dalam menangani Anak Berkebutuhan Khusus (ABK).[4]
Akomodasi Difabel tidak sesederhana diberi Simpati
Pada sebuah kesempatan, solidernews melakukan wawancara dengan wali murid yang memiliki anak difabel netra dengan kategori Low vision yang disebabkan oleh penyakit glaukoma. Narasumber tersebut akrab dipanggil dengan Nur (45). Ia menyatakan anaknya sulit mengikuti pendidikan di MI (Madrasah Ibtidaiyyah) tempatnya belajar. Penurunan penglihatan yang dialami anaknya cukup memberikan dampak signifikan, dengan susahnya mengikuti pelajaran kelas yang masih menggunakan sistem konvensional. Beberapa kali ia melakukan kompromi dengan pihak sekolah, nyatanya sampai hari ini masih nihil. Si anak hanya berdiam diri di bangkunya, tanpa mampu mengikuti pelajaran sang guru.[5]
“Tidak selang lama, setelah saya melakukan komunikasi ke pihak sekolah perihal kondisi anak saya, ada sebagian guru yang berempati. Namun, kepedulian itu malah memberi uang. Bukan sistem pendidikan yang merangkul anak saya,” tutur Nur di akhir obrolan.
Nur menambahkan bahwasanya anaknya tidak memiliki kendala lain. Hanya sebatas pandangan yang tidak mampu lagi menjangkau papan tulis. Ia merasa gamang dengan respons sekolah tempat anaknya belajar. Antara terus melakukan advokasi dan menjelaskan kebutuhan anak, atau memindahkan anaknya ke sekolah SLB di Yogyakarta. Namun, sampai kini ia masih menunggu tindak lanjut dari laporannya ke pihak sekolah.
Selain itu, Nur juga berharap bahwasanya sekolah tempat anaknya belajar bisa memberikan fasilitas, minimalnya adalah seorang guru yang mau membacakan tulisan di papan tulis. Bila bisa, ia ingin mencarikan guru pendamping untuk anaknya sewaktu belajar di sekolahan. Karena ia juga menyadari, bahwasanya sekolah tempat anaknya belajar masih tergolong baru. Jadi, mungkin mereka belum terlalu konsen dengan isu pendidikan inklusif.[]
Reporter: Wachid Hamdan
Editor : Ajiwan Arief
[1] Panduan Pendidikan Inklusiff, https://kurikulum.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/2022/08/Panduan-Pelaksanaan-Pendidikan-Inklusiff/, diakses pada 20 Mei 2024, Hlm. 3.
[2] Agung Tri. W dan Nur Laila. A, “Problematika Pendidikan di Indonesia,” https://publikasiilmiah.ums.ac.id/handle/11617/11174, Januari 2019, Hlm. 18.
[3] IBID.,
[4] Erfina, “Pendidikan Inklusif, Berikan Kemerdekaan Belajar bagi Semua,” https://solidernews.com/pendidikan-inklusif-berikan-kemerdekaan-belajar-bagi-semua/ diakses pada 19 Mei 2024.
[5] Wawancara dengan Nur (45), di kediamannya tepatnya di daerah Cebongan, pada tanggal 19 Mei 2024.