Views: 919
Di banyak negara, pendidikan untuk difabel masih seringkali kurang mendapat perhatian yang memadai. Lantas tidak lupa di Indonesia, para siswa difabel seringkali menghadapi tantangan dalam mengakses fasilitas pendidikan yang layak, seperti aksesibilitas fisik dan kurangnya sumber daya yang disesuaikan dengan kebutuhan mereka. Hal ini dapat mengakibatkan kesenjangan dalam ketersediaan dan kualitas pendidikan bagi mereka. Meskipun ada kemajuan dalam hal kesadaran akan pentingnya inklusi dan aksesibilitas, masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan untuk memastikan bahwa semua individu, termasuk difabel, memiliki kesempatan yang sama untuk mendapatkan pendidikan berkualitas.
Solidernews.com – Pada tahun 2020, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa jumlah difabel di Indonesia mencapai 22,5 juta, sedangkan Survei Ekonomi Nasional (Susenas) mencatat angkanya mencapai 28,05 juta. Ini menyoroti besarnya populasi   difabel di negara ini.
Tak hanya itu, dari total populasi dunia yang mencapai 7 miliar jiwa pada tahun 2021, sekitar 15 persen di antaranya adalah  difabel, dengan mayoritas, yaitu 80 persen, tinggal di negara-negara berkembang. Menurut World Health Organization (WHO), di Indonesia sendiri, proporsi difabel mencapai 10 persen dari total penduduk, setara dengan sekitar 27 juta orang.
Meskipun pemerintah telah menetapkan kebijakan untuk meningkatkan inklusi sosial dan pendidikan bagi   difabel, tantangan tetap ada. Pada tahun ajaran 2020/2021, Indonesia memiliki 2.250 sekolah khusus untuk anak berkebutuhan khusus. Sekolah ini terbagi menjadi berbagai jenis, dengan mayoritasnya adalah Sekolah Luar Biasa (SLB), baik yang berstatus negeri maupun swasta.
Namun, kendati jumlah sekolah khusus meningkat, akses pendidikan masih menjadi persoalan serius bagi   difabel di Indonesia. Menurut data dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesda) tahun 2018, sebanyak 22 persen  difabel di Indonesia adalah dewasa. Dan menurut BPS, hanya 30,7 persen dari mereka yang berhasil menyelesaikan pendidikan menengah, dengan hanya 17,6 persen yang mampu melanjutkan ke perguruan tinggi.
Survei Ekonomi Nasional tahun 2018 menunjukkan bahwa hanya 56 persen anak  difabel yang lulus dari Sekolah Dasar, sementara hampir 3 dari 10 anak dengan difabel tidak pernah mengenyam pendidikan. Data lebih lanjut dari Statistik Pendidikan 2018 juga menggambarkan bahwa tantangan akses pendidikan masih besar, dengan hanya 5,48 persen   difabel usia 5 tahun ke atas yang masih bersekolah.
Meskipun Pemerintah Indonesia telah menunjukkan komitmennya dengan pembentukan Komisi Nasional Disabilitas berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 68 tahun 2020. Namun, tantangan dalam mencapai inklusi pendidikan yang merata bagi  difabel tetap menjadi fokus utama dalam upaya meningkatkan kualitas hidup mereka di Indonesia.
Pendidikan Inklusif Bagi  Difabel, Hitam Putih Pendidikan Inklusi
difabel adalah kelompok yang rentan dan berhak mendapatkan perlindungan serta kesetaraan dari negara. Meskipun undang-undang telah banyak dibuat untuk memastikan pemenuhan hak-hak mereka, implementasi yang tepat masih menjadi tantangan yang harus diatasi.
Salah satu hak yang sangat penting bagi difabel adalah hak untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas dan inklusif. Undang-undang telah menetapkan bahwa setiap individu, termasuk mereka yang memiliki difabel, memiliki hak yang sama untuk akses pendidikan yang layak. Namun, realitasnya masih jauh dari harapan.
Pendidikan menjadi kunci bagi  difabel untuk keluar dari kondisi marginalisasi dan meningkatkan taraf hidup mereka. Namun, kendala ekonomi seringkali menjadi hambatan yang signifikan. Banyak dari mereka berasal dari kalangan ekonomi lemah, sehingga kesempatan untuk mengakses pendidikan berkualitas terkadang terbatas.
Meskipun pemerintah telah mengambil langkah dengan meratifikasi Convention on The Rights of Persons with Disability (CRPD) dan menerbitkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, implementasi kebijakan ini masih harus diperkuat di tingkat daerah. Pendidikan inklusif, yang menyatukan anak difabel dengan anak nondifabel dalam kelas reguler, menjadi salah satu fokus utama.
Namun, pelaksanaan pendidikan inklusif masih terkendala. Meskipun sudah diatur secara eksplisit dalam undang-undang, banyak lembaga pendidikan yang belum memenuhi persyaratan sebagai lembaga “ramah difabel”. Hanya sedikit lembaga pendidikan yang telah menerapkan pendekatan inklusif, dengan hanya 32 ribu dari total jumlah sekolah yang ada.
Sanksi terhadap lembaga pendidikan yang tidak memenuhi standar ramah difabel perlu diterapkan secara konsisten untuk mendorong perubahan yang lebih cepat. Selain itu, dukungan penuh dari semua stakeholder, termasuk pemerintah, lembaga pendidikan, masyarakat, dan keluarga, juga diperlukan untuk menciptakan lingkungan pendidikan yang inklusif dan memberikan kesempatan yang sama bagi semua individu, termasuk  difabel, agar dapat mengakses pendidikan yang bermutu.
Menurut data statistik, tingkat partisipasi pendidikan bagi individu dengan difabel masih menunjukkan kesenjangan yang signifikan dibandingkan dengan individu tanpa difabel. Di tingkat SMA, hanya 54% dari individu dengan difabel yang berpartisipasi, sementara sebanyak 95% individu tanpa difabel mengikuti pendidikan pada tingkat yang sama. Angka ini menurun lebih jauh di tingkat SMP, dengan hanya 37% individu difabel yang berpartisipasi, dibandingkan dengan 85% individu tanpa difabel. Bahkan di tingkat SD, partisipasi pendidikan bagi individu difabel juga jauh lebih rendah, yaitu hanya mencapai 26%, sementara 62% individu tanpa difabel mengikuti pendidikan pada tingkat yang sama.
Hal ini menunjukkan bahwa masih diperlukan upaya lebih lanjut untuk meningkatkan akses dan partisipasi pendidikan bagi  difabel di semua tingkat pendidikan.
Data SUSENAS tahun 2018 menggambarkan bahwa anak difabel menjadi kelompok yang paling rentan dan mengalami sejumlah kesulitan dalam mengakses dan menyelesaikan pendidikan mereka. Persentase Kelulusan anak di Indonesia menurut Tingkat Pendidikan dan Status Difabel Tahun 2018.
Kurangnya fasilitas yang ramah difabel di sekolah menjadi salah satu hambatan utama bagi anak difabel. Misalnya, fasilitas seperti toilet yang tidak dapat diakses dengan mudah atau tanpa adanya aksesibilitas fisik lain bagi mereka. Hal ini tidak hanya menyulitkan secara fisik, tetapi juga berdampak pada kesejahteraan emosional mereka.
Sikap negatif dari siswa nondifabel dapat memengaruhi kesejahteraan emosional anak difabel. Mereka sering merasa sulit untuk membangun hubungan pertemanan karena stigma dan intimidasi yang mereka alami. Idealnya, pendidikan inklusif dapat menjadi sarana untuk mengurangi ketakutan ini dan mendorong interaksi sosial yang positif.
Hambatan tidak hanya berasal dari rekan sekelas, tetapi juga sikap para guru. Beberapa anak difabel sering kali tidak mendapatkan perhatian yang cukup dari guru mereka. Pendidikan inklusif masih menghadapi tantangan dalam meningkatkan pengetahuan dan keterampilan para guru untuk mengelola kelas dengan baik.
Tidak selalu orang tua memberikan respons yang positif terhadap kehadiran anak difabel di kelas yang sama dengan anak mereka. Sikap ini dapat menantang para guru untuk tetap menjaga kualitas pembelajaran.
Semua hambatan ini berdampak serius pada kesejahteraan emosional anak difabel, bahkan dapat membuat mereka kehilangan kepercayaan diri untuk melanjutkan pendidikan. Oleh karena itu, penting bagi sekolah inklusif untuk memberikan lingkungan yang mendukung bagi anak-anak difabel, sehingga mereka dapat merasa diterima dan diperlakukan sama seperti teman-teman mereka.
Banyak aspek yang perlu diperbaiki dan ditingkatkan oleh berbagai pihak, terutama di lingkungan sekolah inklusif, untuk mewujudkan inklusi yang sejati bagi anak-anak difabel.
Center dkk. (1991) menegaskan perlunya aksi afirmatif terhadap siswa difabel, seperti memberikan pelatihan kepada guru dan staf akademik agar dapat mengintegrasikan pendidikan inklusif, mengimplementasikan pengajaran tim untuk memberikan pendampingan yang lebih baik, serta memberikan dukungan sesuai dengan kebutuhan siswa.
Pendampingan yang diberikan kepada siswa difabel penting dalam memastikan pemahaman mereka akan hak-hak hidup yang telah diatur dalam undang-undang. Aksi afirmatif ini juga bertujuan untuk mengatasi hambatan-hambatan yang dialami oleh siswa difabel, seperti hambatan fisik, kondisi mental psikologis, kesulitan dalam berkomunikasi, serta hambatan dalam melaksanakan fungsi sosial dan keterampilan kerja produktif.
Hambatan fisik dalam bermobilisasi sering membuat siswa difabel tidak nyaman di sekolah, mengakibatkan hilangnya motivasi untuk hadir. Hambatan mental psikologis, seperti rasa rendah diri, juga dipengaruhi oleh hambatan fisik. Kesulitan dalam berkomunikasi dengan teman sebaya dan guru juga menjadi kendala, terutama karena kurangnya pengetahuan dan kemampuan guru dalam pendidikan inklusif. Selain itu, penerimaan dari warga sekolah juga memengaruhi kenyamanan siswa difabel di lingkungan sekolah.
Melalui sekolah inklusif, siswa difabel diajak untuk memahami nilai, norma, dan aturan yang berlaku di lingkungan sekolah, sehingga mereka dapat berinteraksi dengan baik. Tantangan ini dapat dijadikan rujukan dalam mengembangkan program afirmatif yang lebih efektif untuk mendukung siswa difabel dalam lingkungan pendidikan inklusif, dengan fokus pada dukungan, motivasi, dan penerimaan dari teman sebaya, guru, dan lingkungan sekolah secara keseluruhan.
Diskriminasi di sekolah inklusif masih dianggap sebagai hal yang biasa, menurut penelitian oleh Triyanto & Permatasari (2017). Perkembangan layanan untuk anak-anak berkebutuhan khusus, baik di dalam maupun luar negeri, menggambarkan pola yang hampir sama: sering diabaikan, diberi kasihan, atau diperlakukan secara tidak setara. Namun, tindakan yang diambil sekolah untuk anak-anak berkebutuhan khusus di luar negeri jauh lebih maju dan lebih menghormati hak mereka (Hermanto, 2011).
Para pendidik di sekolah inklusif mengambil langkah-langkah untuk mengatasi masalah ini, salah satunya dengan berkolaborasi (Wijayanti, 2016). Kolaborasi antara sekolah dan orangtua/wali, seperti yang dilakukan oleh SD Negeri Serang, Pengasih, membantu anak-anak dalam mengembangkan sikap positif terhadap pelajaran dan kehidupan sehari-hari (Retnaningtya & Paramitha, 2015). Namun, kolaborasi ini masih belum sepenuhnya berhasil mengatasi masalah yang dihadapi oleh anak-anak berkebutuhan khusus (Persada & Efendi, 2018).
Selain kolaborasi dengan orangtua/wali, kolaborasi dengan Guru Pembimbing Khusus (GPK) juga diperlukan untuk mendukung pengajaran kepada anak-anak berkebutuhan khusus (Falatansya, 2018). Namun, di SD Negeri Serang Pengasih, belum ada GPK, yang mengakibatkan penanganan terhadap anak-anak berkebutuhan khusus masih kurang efektif.
Sekolah juga melakukan tindakan lain, seperti memberikan nasihat kepada teman sekelas anak-anak berkebutuhan khusus dan melakukan pemantauan (Loreman, 2007). Namun, sistem pendidikan di sekolah belum sepenuhnya mampu membentuk pribadi yang mencerminkan karakter dan budaya bangsa, karena masih terfokus pada pencapaian belajar kognitif (Suyitno, 2012).
Di sisi kebijakan, sikap eksklusi dan penolakan masih merugikan bagi anak-anak yang membutuhkan pendidikan khusus (Rudiyati, 2011). Salah satu penanganan yang dilakukan adalah dengan menambah jam belajar bagi anak-anak difabel, untuk mendukung potensi mereka (Yuliawan, 2017). Namun, sosialisasi terkait pendidikan inklusif belum sepenuhnya membuat anak-anak merasa nyaman di sekolah, karena interaksi yang kurang terlaksana dengan baik (Darma & Rusyidi, 2003).
Dalam implementasinya, kurangnya tenaga ahli seperti Guru Pembimbing Khusus menjadi salah satu kendala dalam menerapkan pendidikan inklusif (Rahmaniar, 2016). Perjuangan untuk mewujudkan sekolah inklusif masih memerlukan upaya bersama dari berbagai pihak, termasuk sekolah, orangtua, dan pemerintah, agar setiap anak dapat mendapatkan pendidikan yang layak dan setara.
Selain kendala dalam hal kurangnya tenaga ahli seperti Guru Pembimbing Khusus, sekolah juga menghadapi tantangan lain dalam menerapkan pendidikan inklusif. Salah satu tantangan tersebut adalah kesulitan dalam melaksanakan asesmen secara mandiri.
Guru-guru di sekolah belum sepenuhnya memiliki kemampuan untuk melaksanakan asesmen secara mandiri. Dengan melakukan asesmen mandiri, salah satunya penambahan jam belajar untuk anak-anak berkebutuhan khusus. Namun, hasil dari penambahan jam belajar tersebut masih dirasa kurang efektif dalam mengembangkan potensi anak-anak berkebutuhan khusus. Hal ini disebabkan oleh kurangnya dukungan optimal dari orangtua/wali, yang tidak dapat melakukan pengulangan materi pembelajaran di rumah karena kesibukan berjualan.
Selain itu, pembelajaran di sekolah juga belum sepenuhnya terpusat pada anak, sesuai dengan prinsip pendidikan inklusif. Pada dimensi implementasi praktik inklusif, perlu dilakukan pengembangan praktik-praktik sekolah yang merefleksikan budaya inklusif dan peraturan-peraturan sekolah yang mendukung hal tersebut. Perjuangan untuk mengatasi tantangan-tantangan ini memerlukan kolaborasi yang kuat antara sekolah, orangtua/wali, dan pemerintah agar pendidikan inklusif dapat terwujud dengan lebih baik di berbagai sekolah.
Seiring dengan upaya mengatasi tantangan implementasi pendidikan inklusif, pembelajaran di sekolah inklusif juga disusun secara responsif terhadap perbedaan tiap-tiap anak. Hal ini bertujuan untuk menegaskan kepada semua anak, baik yang memiliki hambatan maupun tidak, bahwa pendidikan seharusnya adil, tidak diskriminatif, dan relevan dengan kehidupan sehari-hari mereka. Tenaga pendidik dan semua anak di lingkungan sekolah diupayakan untuk menghargai keberagaman tersebut.
Salah satu bentuk responsivitas dalam pembelajaran adalah dengan memberikan sentuhan yang berbeda dalam pelajaran, seperti pembentukan kelompok yang sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan masing-masing anak. Komponen pembelajaran, yang meliputi kurikulum, proses pembelajaran, dan evaluasi, juga diadaptasi agar sesuai dengan prinsip-prinsip inklusif.
SD Negeri Serang, sebagai salah satu contoh sekolah inklusif, menerapkan prinsip-prinsip tersebut dalam praktik pembelajarannya. Mereka menggunakan Kurikulum 13, bahan ajar yang sesuai dengan kebutuhan semua anak, serta mengadopsi metode evaluasi yang melibatkan pengayaan dan remedial.
Konsep utama pengarahan sumber daya dalam praktik sekolah inklusif, sebagaimana dimuat dalam deklarasi Salamanca, menekankan pentingnya mengakomodasi keberagaman anak-anak, termasuk anak-anak berkebutuhan khusus, di lingkungan sekitar tempat tinggal mereka. Partisipasi masyarakat, pengajaran yang terpusat pada diri anak, kurikulum yang fleksibel, serta dukungan sumber daya dan dana yang tepat, menjadi landasan utama dalam mewujudkan pendidikan inklusif yang berkualitas. Semua ini merupakan langkah penting dalam memastikan bahwa setiap anak mendapatkan haknya untuk mendapatkan pendidikan yang layak dan merata.
Dari penelusuran atas realitas pendidikan inklusif bagi  difabel di Indonesia, dapat disimpulkan bahwa meskipun terdapat undang-undang yang menjamin hak-hak mereka, implementasi yang tepat masih menjadi tantangan yang harus diatasi. Pendidikan inklusif menjadi salah satu aspek kunci dalam memastikan kesetaraan bagi  disabilitas, namun masih banyak kendala yang harus dihadapi.
Faktor ekonomi sering menjadi hambatan utama dalam akses pendidikan bagi   difabel. Banyak dari mereka berasal dari latar belakang ekonomi lemah, sehingga sulit untuk mengakses pendidikan berkualitas. Meskipun pemerintah telah meratifikasi berbagai konvensi dan mengeluarkan undang-undang yang mendukung pendidikan inklusif, implementasi di tingkat daerah masih belum memadai.
Kendala dalam pembelajaran inklusif meliputi kurangnya fasilitas yang ramah difabel di sekolah, sikap negatif dari rekan sekelas dan guru, serta kurangnya dukungan dari orang tua. Kurangnya tenaga ahli seperti Guru Pembimbing Khusus juga menjadi kendala dalam menerapkan pendidikan inklusif dengan baik.
Namun, terdapat juga upaya positif dalam mengatasi tantangan ini. Sekolah inklusif melakukan berbagai tindakan, seperti kolaborasi dengan orang tua dan nasihat kepada teman sekelas anak berkebutuhan khusus. Implementasi yang responsif terhadap perbedaan tiap-tiap anak juga menjadi fokus penting dalam pembelajaran di sekolah inklusif.
Dalam menghadapi tantangan ini, kolaborasi yang kuat antara sekolah, orang tua, dan pemerintah menjadi kunci. Diperlukan juga penegakan sanksi terhadap lembaga pendidikan yang tidak memenuhi standar ramah difabel. Selain itu, perlunya dukungan penuh dari semua stakeholder.
Menuju Kesetaraan Pendidikan, Transisi Menuju Pendidikan Inklusif yang Merata bagi Penyandang Difabel di Indonesia
Â
Pendidikan inklusif bagi penyandang difabel adalah cerminan dari komitmen untuk memastikan setiap individu, tanpa memandang latar belakangnya, memiliki kesempatan yang sama dalam mendapatkan pendidikan berkualitas. Meskipun peraturan-peraturan seperti UU Nomor 8 tahun 2016 dan PP Nomor 13 tahun 2020 telah menetapkan hak-hak mereka, tantangan dalam mewujudkan hal ini masih ada.
Data statistik terbaru menunjukkan bahwa sekitar 3,3% dari populasi anak usia 5-19 tahun di Indonesia adalah penyandang difabel. Namun, hanya sekitar 12,26% dari mereka yang saat ini mendapatkan akses ke pendidikan formal. Meskipun angka ini menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun, masih ada jarak yang perlu diatasi untuk mencapai inklusi yang sebenarnya.
Salah satu tantangan utama adalah kurangnya sistem dukungan yang memadai, ketidakakuratan dalam data anak berkebutuhan khusus, dan akses terbatas terhadap layanan identifikasi dan penilaian di seluruh wilayah. Meskipun demikian, perkembangan positif ini memberikan optimisme akan masa depan pendidikan bagi teman-teman difabel di Indonesia.
Sebagai negara berkembang, upaya Indonesia dalam memberikan perhatian terhadap penyandang difabel patut diapresiasi. Namun, masih ada banyak pekerjaan yang perlu dilakukan. Kita berharap agar momentum ini terus bertambah, sehingga setiap anak, termasuk mereka yang berkebutuhan khusus, dapat menikmati hak-hak pendidikan mereka dengan sepenuhnya.
Tantangan dalam menciptakan lingkungan pendidikan yang inklusif dan ramah bagi penyandang difabel menurut penulis tidaklah mudah. Namun, langkah-langkah konkret sesuai dengan apa yang sudah dijelaskan sebelumnya bisa diambil untuk mengatasi hambatan-hambatan tersebut.
- Peningkatan Aksesibilitas Fisik: Penting untuk memastikan bahwa semua fasilitas sekolah dapat diakses dengan mudah oleh penyandang difabel. Ini termasuk toilet yang ramah difabel, akses tangga yang sesuai, dan fasilitas lainnya yang mendukung mobilitas mereka.
- Pengembangan Pelatihan untuk Guru dan Staf Akademik: Guru dan staf sekolah perlu dilengkapi dengan pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk mendukung pendidikan inklusif. Pelatihan tentang cara mengelola kelas dengan beragam kebutuhan siswa sangat penting.
- Pemberian Dukungan Tambahan: Anak-anak difabel sering memerlukan dukungan tambahan dalam pembelajaran mereka. Ini bisa berupa bantuan dari Guru Pembimbing Khusus atau pendamping lain yang dapat membantu mereka dalam proses belajar.
- Kolaborasi dengan Orang Tua/Wali: Kolaborasi yang erat antara sekolah dan orang tua/wali sangat penting. Orang tua perlu dilibatkan dalam proses pendidikan anak mereka dan mendukung langkah-langkah sekolah untuk menciptakan lingkungan inklusif.
- Penerapan Sanksi dan Insentif: Penting untuk menegakkan standar pendidikan inklusif melalui penerapan sanksi terhadap lembaga pendidikan yang tidak memenuhi persyaratan, serta memberikan insentif bagi sekolah yang berhasil menerapkan praktik inklusif dengan baik.
- Pengembangan Kurikulum yang Responsif: Kurikulum perlu disesuaikan untuk memenuhi kebutuhan beragam siswa, termasuk anak-anak difabel. Ini bisa meliputi pengembangan bahan ajar yang sesuai dengan kebutuhan mereka dan metode evaluasi yang inklusif.
Dengan mengambil langkah-langkah ini secara serius dan berkelanjutan, diharapkan pendidikan inklusif bagi penyandang difabel di Indonesia dapat menjadi lebih merata dan memberikan kesempatan yang sama bagi semua individu untuk mendapatkan pendidikan berkualitas.[]
Â
Penulis: Hasan Basri
Editor       : Ajiwan
Sumber
Rudiyanto, S. (2011). Memilih Sekolah yang Tepat bagi Anak Berkebutuhan Khusus. Pertemuan Nasional Asosiasi Kesehatan Jiwa dan Remaja (AKESWARI). Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta.
Evy Ratna Kartika Waty, Dian Sri Andriani
, Shomedran (2022). Pentingnya Aksi Afirmatif bagi Siswa Difabel pada Pendidikan Inklusif.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.