Views: 10
Solidernews.com – Menjadi mahasiswa merupakan sebuah tanggung jawab yang menyimpan begitu banyak kompleksitas dalam setiap prosesnya. Mulai disiplin, tanggung jawab, berpikiran terbuka, harus memformulasikan daya pikir, dituntut untuk melek informasi, jeli dalam mencari informasi, dekat dengan buku kuliah, berbicara secara baik di depan masyarakat kampus, dan sekaligus menerapkan konteks Tri Dharma Perguruan Tinggi—Pendidikan, pengabdian, dan penelitian. Salah satunya adalah KKN (Kuliah Kerja Nyata) sebuah pengabdian yang memberdayakan masyarakat desa di seluruh Indonesia.
Dilansir dari dikti.kemdikbud.go.id, Kuliah Kerja Nyata (KKN) merupakan kegiatan kurikuler perguruan tinggi yang memadukan dharma pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat sekaligus dalam satu kegiatan. KKN ini diperuntukan kepada para mahasiswa agar mereka dapat mengaktualisasi diri di tengah-tengah masyarakat. Sekaligus menjadi program integral dari kampus guna memberikan kesempatan dan pengalaman belajar secara nyata dan sesuai realitas yang ada di masyarakat. Hal tersebut ditujukan agar mahasiswa dapat menerapkan ilmu pengetahuan yang didapat di kampus, mengembangkan soft skill & Hard skill, meningkatkan cinta tanah air, membentuk pribadi yang matang, membangun rasa percaya diri di tengah masyarakat, serta turut mengabdikan diri guna membangun dan memberdayakan masyarakat di lokasi KKN.[1]
Pada bulan Juli 2024 beberapa PTN di Indonesia tengah melaksanakan KKN bagi para mahasiswanya. Ribuan mahasiswa di sebar ke penjuru desa-desa yang membutuhkan pengembangan dari para cendekiawan. Mulai UGM, UNY, UIN SUKA, dan sebagainya turut menyebar mahasiswanya.[2]
Saran, sharing ilmu, pemberdayaan, pembangunan SDM, dan sejenisnya merupakan hal-hal yang dibutuhkan oleh masyarakat yang tinggal di desa. Maka dari itu, Program KKN ini menjadi wacana pendidikan yang begitu progresif dampaknya bagi kemandirian, kecakapan, dan pengembangan diri seorang mahasiswa, tidak terkecuali mahasiswa difabel. Namun, tentunya dibutuhkan sterategi, mental, bekal ilmu, dan koordinasi yang baik bagi para mahasiswa yang KKN-nya dilaksanakan di luar kota/provinsi. Di sinilah pentingnya persiapan, sterategi, kedewasaan, dan komunikasi yang akan menjadi kunci kelancaran mahasiswa difabel saat KKN.
Menghindari Diskriminasi, yang berkedok Perlindungan
Sudah menjadi tugas institusi pendidikan yang membranding dirinya sebagai institusi yang mengkampanyekan pendidikan inklusif, untuk memberikan perlindungan, keamanan, dan pemantauan terhadap mahasiswa difabel yang akan melakukan KKN. Namun, tidak lantas karena anggapan perlindungan, justru kebijakan-kebijakan yang dilontarkan malah cenderung mendiskriminasi dan membatasi hak pilih lokasi KKN mahasiswa difabel.
Penulis sempat mendapatkan cerita, bahwasannya masih ada beberapa oknum pegawai layanan difabel di salah satu perguruan tinggi Jogja, yang cenderung melarang dan membatasi ruang gerak mahasiswa difabel dalam menentukan lokasi KKN saat ingin memilih di luar provinsi. Ada beberapa argumen yang disampaikan mengenai pembatasan/pengekangan pada difabel tersebut saat memilih lokasi KKN. Mulai soal agar layanan difabel itu bisa memonitoring secara intens bila lokasinya di sekitar Yogyakarta, alasan keselamatan dari segi aksesibilitas lingkungan, dipilihkan lokasi yang memang sudah akrab dengan difabel, dan sejenisnya.
Hal itu senada dengan pengalaman penulis sendiri sewaktu akan memilih lokasi KKN di 2023. Ada beberapa oknum pegawai/anggota relawan layanan difabel di tempat penulis berkuliah yang tidak menganjurkan bila penulis memilih lokasi KKN di luar provinsi. Alasanya karena lokasi yang penulis pilih itu jauh dari kampus, susah untuk memonitoring secara langsung, belum pernah ada mahasiswa difabel yang KKN di lokasi pilihan penulis, dan kota yang penulis pilih diasumsikan tidak ramah difabel. Jadi, lebih diarahkan untuk memilih sekitar yogyakarta saja.
Memang niat para pegawai tersebut baik, agar mahasiswa difabel tidak kesulitan, mudah adaptasi, dan berada di lingkungan masyarakat yang aware terhadap keberadaan difabel. Namun, menurut penulis kebenaran yang dipahami oleh oknum pegawai di atas, justru malah memberikan diskriminasi secara tidak langsung. Membatasi hak pilih, tidak menyediakan ruang untuk berpendapat mengapa memilih di luar kota, dan cenderung berpikir menggunakan hak otoritas sebagai pelayanan difabel yang diasumsikan paham akan kondisi difabel, sering menjadi penguat pendapat mereka. Padahal tidak selalu begitu. Karena setiap difabel itu memiliki karakter masing-masing.
Selain itu, mengenai peroses KKN yang dilakukan mahasiswa difabel itu tentu berbeda-beda antara satu dengan lainnya. Kita tidak bisa menggeneralisir mengenai pengalaman kurang enak dari satu mahasiswa difabel sewaktu KKN, juga pasti akan terjadi di tahun berikutnya atau pasti terjadi kepada difabel yang akan KKN. Justru karena beberapa cara pikir di atas, malah cenderung akan membuat mahasiswa difabel tidak berkembang dan kurang bisa maksimal memberikan dampak ke masyarakat lokasi KKN.
Silahkan jalankan tugas dan fungsi layanan difabel itu secara baik, bijaksana, dan selalu gunakan keterbukaan inklusif. Jangan karena bersembunyi di balik alasan perlindungan dan pendampingan, justru yang terjadi malah diskriminasi secara tidak langsung. Cukup dampingi mahasiswa difabel, komunikasikan keperluan, pahami keadaan si difabel, dan berikan ruang komunikasi untuk difabel berekspresi. Lalu, bangun strategi bersama mahasiswa difabel yang bersangkutan guna kelancaran KKN di kota pilihannya.
Momentum Edukasi Masyarakat nondifabel
Konsekuensi nyata yang dihadapi mahasiswa difabel yang KKN di luar provinsi adalah bertemu masyarakat pedesaan yang tidak paham, asing, dan awam akan keberadaan masyarakat difabel. Otomatis pada keadaan ini, kita sebagai mahasiswa difabel tidak dapat berharap mengenai ketersediaan fasilitas publik yang memenuhi standar aksesibilitas, masyarakat yang otomatis paham kondisi difabel, dan kontur daerah yang ramah difabel.
Justru pada momen inilah pengabdian masyarakat secara nyata bisa dilakukan mahasiswa difabel, untuk mengedukasi masyarakat tentang kedifabelan. Mulai kesetaraan hak, hak sekolah, hak berkerja, dan hak kesetaraan setatus sosial di tengah-tengah masyarakat. Selain mengerjakan program-program kerja dari kelompok KKN.
Kesempatan ini juga bisa menjadi misi menyebarkan dan memperluas jaringan sosial inklusif yang dibentuk oleh para mahasiswa difabel yang secara langsung terjun ke masyarakat. Di mulai dengan pembuktian bisa bersosial dengan baik, mampu memberikan kontribusi lewat program KKN, melayani kebutuhan masyarakat, dan sebagainya. Poin inilah yang menjadi kesempatan mahasiswa difabel untuk mengedukasi masyarakat pedesaan—meluruskan pemikiran tentang difabel— memberikan pemahaman berinteraksi pada difabel— menghapus stigma miring pedesaan atas difabel, dan lain-lain.
Kolaborasi Menjadi Kunci
Sebagai mahasiswa difabel yang ingin atau tengah KKN di luar kota/provinsi, tentu akan di hadapkan pada tantangan yang silih berganti. Meminta keringanan, mengerjakan apa yang bisa dilakukan, dan sejenisnya tentu adalah hal wajar. Tetapi menjadi peribadi yang harus selalu dimaklumi, itu harus dihindari dan jangan dibiasakan. Sebab KKN ini merupakan ajang untuk aktualisasi diri yang berguna untuk masa depan mendatang.
Lantas apa solusinya agar mahasiswa difabel bisa maksimal dalam berperan selama prosesi KKN berlangsung? Hal mendasar yang bisa dilakukan adalah “Kolaborasi” pada partner yang kita percaya. Kolaborasi atau kerjasama ini, tentunya akan menguntungkan mahasiswa difabel dalam memaksimalkan kontribusi di masyarakat. Menjalankan program, menjabat kepanitiaan, menjadi penghubung masyarakat (Humas), tenaga ajar di masyarakat, dan sebagainya menjadi hal yang bisa dilakukan mahasiswa difabel dengan maksimal saat kolaborasiditerapkan.
Pada momen ini, kita sebagai difabel harus mau menunjukkan skill yang dimiliki. Jangan malu dan minder. Sebab skill dan kemampuan ini sangat berarti guna kelancaran KKN. Informasikan hal-hal yang kita bisa, tunjukkan buktinya, bangun pribadi yang pemberani, dan jangan terus-terus meminta pemakluman yang hanya karena dasar “Minder, takut, kurang percaya diri, over thinking, dan sebagainnya” menjadi alasan untuk dimaklumi untuk tidak ikut kegiatan, menyumbangkan tenaga, dan lain-lain.
“Saya waktu itu dipasrahi amanah untuk ikut ngajar TPQ, mas. Hal itu didasari pada penjelasan saya yang berkuliah di bidang keguruan Islam, dan ditambah pengalaman-pengalaman lainnya. Waktu itu, saya juga menegaskan di tempat ngajar ini, saya minta satu orang untuk membantu dan berkerjasama untuk menghandel proker pendidikan di bidang mengajar TPQ tersebut. Agar bisa maksimal dan mendapat hasil yang memuaskan sekaligus melengkapi hal yang tidak bisa saya lakukan yang disebabkan kondisi kedifabelan saya. Karena menurut saya kolaborasi ini penting adanya saat difabel sedang KKN,” tutur Iki seorang difabel netra.[3]
Mengapa kolaborasi itu menjadi kunci kelancaran difabel yang KKN di luar kota/provinsi? Karena hal itu menjadikan kekuatan yang saling membangun. Sebab bila mahasiswa difabel memiliki kendala dalam satu sisi, kawan KKN lain bisa melengkapi kekurangan tersebut. Begitu pun sebaliknya. Dr. Widyandana, MHPE., Ph.D., Sp.M(K) menjelaskan bahwasannya difabel itu juga berhak untuk mendapatkan potensi dan kontribusi maksimal dalam bidang apa pun. Salah satu caranya adalah dengan kolaborasi yang bisa membantu difabel untuk mendongkrak kemampuan dan kontribusi secara maksimal. Karena dalam kolaborasi ini tentunya akan terjalin komunikasi, saling menghargai, menghormati, dan bersama-sama bersinergi untuk menyelesaikan masalah.[4]
Jadi, meskipun mahasiswa difabel memiliki kebutuhan khusus, hal itu tidak membatasi mereka untuk berkiprah di masyarakat mana pun. Berikan kepercayaan, kesempatan, dan pendampingan. Bukan malah melarang dengan alasan-alasan yang kurang bisa di terima. Karena dengan segala strategi, komunikasi, dan edukasi, mahasiswa difabel tetap bisa KKN di mana pun kota yang mereka inginkan, meski itu di luar provinsi sekalipun.[]
Penulis: Wachid Hamdan Nur Jamal
Editor : Ajiwan
[1] KEMDIKBUD RISTEK, “Panduan Kuliah Kerja Nyata (KKN) Kebangsaan 2024” https://dikti.kemdikbud.go.id/book/panduan-kuliah-kerja-nyata-kkn-kebangsaan-2024/ diakses pada 11 Juli 2024.
[2] LPPM UIN Sunan Kalijaga, “pengumuman pelaksanaan kuliah kerja nyata (kkn) uin sunan kalijaga yogyakarta semester antara tahun 2023-2024 angkatan 114” https://lppm.uin-suka.ac.id/id/pengumuman/detail/4279/pengumuman-pelaksanaan-kuliah-kerja-nyata-kkn-uin-sunan-kalijaga-yogyakarta-semester-antara-tahun-akademik-ta-20232024-angkatan-114, diakses pada 11 Juli 2024.
[3] Cerita Iki, difabel netra yang KKN di KulonProgo, pada saat ngopi dengan penulis di Karangmalang, pada Agustus 2023.
[4] Widyandana, “Peran Kolaborasi Interprofessional Education(IPE) dalam Pendampingan Komunitas TunaNetra,” materi diskusi di acara AHS UGM dan Dria Manunggal Indonesia di acara Kopi Inklusi dan Health turisem, pada 29 Juni 2024.