Views: 19
Solidernews.com – Berbicara masyarakat desa, tentu banyak nilai positif yang ada. Mulai dari gotong royong, ronda, karang taruna, kegiatan masjid, dan lain-lain menjadi nilai yang sulit kita cari di perkotaan. Interaksi masyarakat yang hangat, semua saling sapa, dan budaya jagongan menjadi romantisme tersendiri bila hidup di desa.
Kondisi difabel di desa saat ini secara umum masih jauh dari kata guyup rukun dan sejumlah romantisme layaknya orang yang hidup di desa. Meski konsep desa inklusi sudah diterapkan di beberapa tempat, namun fenomena lain menunjukkan bahwa difabel masih terdiskriminasi di desa. Pasalnya keakraban, gotong royong, dan berkerja sama seolah menjadi hal tabu bagi masyarakat yang di dalamnya ada masyarakat difabel. Persoalan tersebut ada beberapa model. Mulai dari masyarakat yang tidak memberikan kesempatan, difabel yang tidak mau bersosialisasi, dan faktor trauma difabel itu sendiri.
Elni Isnau dalam artikel yang berjudul, “Partisipasi Kelompok Difabel Desa Dalam Perencanaan Pembangunan Desa Oelomin” menyatakan memang pendekatan yang bisa menjangkau masyarakat secara utuh belum dirasakan oleh teman-teman difabel di desa. Masih ada diskriminasi bagi kelompok difabel untuk mendapatkan pelayanan. Maka menurutnya konsep sosial inklusi diharap menjadi jalan untuk partisipasi aktif golongan difabel di desa.[1]
Dion, seorang difabel netra, sekaligus pegiat dan anggota PERTUNI menjelaskan bahwa kurangnya kontribusi seorang difabel yang hidup di dusun itu juga dikarenakan kekangan, larangan, dan stigma dari keluarga sendiri, atau pun masyarakat sekitarnya. Hal tersebut didasarkan pandangan kalau difabel itu tidak bisa apa-apa, kalau ikut acara desa malah merepotkan, dan klaim sepihak lainnya. Sehingga, ruang gerak difabel makin terbatas.[2]
Difabel yang Disuruh Terima Beres
Dalam suatu kesempatan, solidernews melakukan wawancara dengan Mimin (nama samaran), seornag perempuan difabel yang tinggal di desa. Ia memberikan keterangan tentang susahnya ia berkontribusi di tempatnya tinggal. Keadaan itu ia alami karena masyarakat cenderung kurang bisa memberinya kesempatan pada sebuah kegiatan.[3]
“Saat ingin membantu masak, saya malah disuruh terima beres saja, yang penting saya sudah memberikan iuran untuk kegiatan tersebut,” ujarnya menambah penjelasan.
Selain itu, ia juga kadang masih menerima stereotipe yang tidak baik dari beberapa oknum masyarakat tempatnya tinggal. Mulai menjadi bahan candaan atas kondisi fisiknya, disindir tidak mungkin mampu mendidik anak, dan berbagai stigma negatif lainnya yang seolah ia manusia yang tidak bisa apa-apa.
Dikekang Keluarga Sendiri
Pada pengamatan lain, Solidernews menemukan fakta bahwa difabel di drsa itu cenderung terkekang di rumahnya. Atun, seorang difabel fisik pengguna kursi roda beberapa kali saat solidernews mengamati gadis tersebut, cukup sering ada tindak kekerasan dan kata-kata sarkas yang menimpa Atun.
Sering sekali saat penulis pulang dari masjid, dan kebetulan lewat depan rumah Atun, penulis kadang menemukan suara tangisan dari gadis tersebut, karena dibentak salah satu anggota keluarganya. Karena merasa lelah merawat dirinya yang seorang difabel fisik.
Dari pihak keluarga bukannya mencari solusi untuk perkembangan Atun, justru keluarganyalah yang mengurung Atun di rumah. Ia tidak di sekolahkan, tidak diberi keahlian, dan hanya dimanjakan dengan hiburan-hiburan berupa radio dan TV. Sampai tulisan ini dibuat, Atun masih pada kondisi yangg sama.
Saat solidernews melakukan obrolan dengan tetangga Atun, mereka menceritakan betapa kasihan kondisi gadis belia itu. Hanya karena kondisi fisiknya yang berbeda, ia malah dikekang keluarganya. Saat salah satu dari tetangga itu menanyakan mengapa tidak disekolahkan? Dengan enteng salah satu keluarga Atun bilang sekolah buat gadis itu hanya sia-sia belaka.[4]
Difabel yang Trauma Atas Sikap Masyarakat
Ketidak hadiran kontribusi difabel di desa memang difaktori banyak hal. Semua itu tergantung bagaimana si difabel bermasyarakat dan respons masyarakat yang di sekitar mereka ada kehadiran difabel. Selain Mimin, solidernews melakukan wawancara dengan Lili (Difabel fisik yang bertempat tinggal di sala satu desa di Sleman. Saat solidernews mengajukan beberapa pertanyaan terkait kontribusi di masyarakat, respons masyarakat, dan seberapa jauh ia bersosialisasi di desanya, terdapat beberapa fakta.
Lili menjelaskan kalau dirinya minder bermasyarakat di desa. Hal itu disebapkan banyak masyarakat yang menghina dan selalu menggunjingkan dirinya setiap ia melintas di depan kerumunan orang. Mulai dari yang menertawakan cara berjalannya yang pincang sebap pertumbuhan kakinya yang tidak normal, memandang dirinya dengan tatapan sinis, dan berbagai sikap diskriminatif lainnya. Hal-hal itu sangat membuatnya down.[5]
“Sewaktu aku ingin belanja di warung, ada beberapa orang yang menertawakan cara jalanku, mas,” ujarnya menutup cerita.
Jadi, karena sikap masyarakat tersebut, Lili mengaku cukup trauma untuk keluar rumah dan bersosialisasi. Gadis yang tengah menempuh pendidikan di tingkat SMA itu pun merasa gamang dengan proses studi selanjutnya. Ia merasa kalau masyarakat luar itu memang suka mengejek. Jadi ia ragu untuk berkuliah atau berkerja.
Abdul Rohim, difabel netra yang tengah menyelesaikan studi S1 dan Seorang kader PMII menyatakan memang susahnya difabel berkiprah di desa adalah stigma buruk yang masih dipegang erat masyarakat. Seperti difabel itu tidak mampu apa-apa, kasihan kalau diberi tanggung jawab, dan sikap over protective saat difabel mencoba berpartisipasi saat ada agenda desa, makin mempersulit kontribusi difabel di sosial masyarakat desa. Belum lagi ditambah kondisi mental difabel yang sangat rentan dan cenderung tidak setabil makin menambah rumit hal tersebut.[6]
Dari beberapa hasil wawancara di atas, dapat disimpulkan meski zaman sudah makin modern, hal tersebut kurang dibarengi kedewasaan berpikir masyarakat. difabel masih dipandang lemah, tidak punya kompetensi, keahlian, dan sebagainya. Kasus diskriminasi, penghinaan, dan sikap kurang respek kepada difabel menyebapkan sekat tebal antara kedua golongan masyarakat tersebut kian mengeras.
Keadaan di atas merupakan dampak dari kurangnya komunikasi yang baik antara lapisan masyarakat dengan para difabel. Hal lain yang menyebapkan kondisi itu makin keruh, adalah para difabel yang kurang bisa mempertahankan hak, advokasi, dan tindakan pembelaan lain. Sehingga pandangan lemah di masyarakat semakin menebal.[]
Reporter: Wachid
Editor : Ajiwan
[1] Elni Isnau, “Partisipasi Kelompok Difabel Desa Dalam Perencanaan Pembangunan Desa Oelomin,” https://garamin.org/2022/12/11/partisipasi-kelompok-difabel-desa-dalam-perencanaan-pembangunan-desa-oelomin/, diakses pada 1 Mei 2024.
[2] Wawancara pada Bapak Pardiyono, (Seorang difabel netra yang aktif di PERTUNI Sleman), dikediamannya pada 16Mei 2024.
[3] Wawancara kepada Ibu Mimin, (Seorang difabel netra yang Aktif di PERTUNI Sleman), di kediamannya pada 15 Mei 2024.
[4] Wawancara kepada warga sekitar rumah Mba Atun, pada 13 Mei 2024.
[5] Wawancara pada Mba Lili, (Seorang difabel fisik yang tengah menyelesaikan sekolah, di kediamannya), pada 14 April 2024.
[6] Wawancara dengan saudara Abdul Rohim, (Seorang difabel netra dan aktifis PMII, anggota PERTUNI), di kediamannya pada 15 Mei 2024.