Search
en id

Gunakan fitur ACCESSIBILITY melalui tombol bagian kanan bawah sebagai preferensi untuk kenyamanan Anda.

Prof. Dr. Alimin, M.Ag.; Guru Besar Difabel yang Juga Hafidz Al Quran

Solidernews.com – Di era modern kini, banyak  perkembangan yang terjadi. Mulai soal infrastruktur negara, telekomunikasi, transportasi, dan sistem pendidikan. Hal tersebut tentunya banyak membantu dan mempermudah perkerjaan, aktivitas, dan tingkat kesejahteraan masyarakat Indonesia. Namun, dari sekian kemajuan itu, masih ada golongan yang serasa dimarginalkan. Siapa itu? Yapss, mereka adalah sahabat-sahabat difabel.

 

Meski sudah jelas pemerintah selalu berusaha untuk meningkatkan kesejahteraan sosial, yang di dalamnya ada golongan rakyat difabel, dengan undang-undang No. 8 Tahun 2016 yang menjamin kesetaraan hak bagi difabel dalam segala aspek kehidupan, namun nyatanya perjuangan keras masih harus dilakukan para difabel, sebab fakta lapangan belum seindah peraturan tersebut. Persoalan diskriminasi, pelecehan, dan penindasan nyatanya masih jelas sering terjadi. Pendidikan yang tidak semua akses, perkerjaan yang tidak semudah undang-undang, dan sosial masyarakat yang masih berpandangan buruk mengenai difabel bisa menjadi indikator UU. No. 8 Tahun 2016 bukan akhir dari perjuangan.

 

Dari banyaknya hambatan yang dihadapi difabel, sejumlah orang dengan kemampuan berbeda justru berhasil meraih prestasi yang gemilang. Banyak  difabel yang dengan berbagai upaya, memiliki nilai dan bahkan banyak berdampak pada orang lain. Mereka adalah para pejuang difabel yang tidak takut jatuh dan dijatuhkan. Ada yang lewat dengan cara talenta seperti sahabat di band Puser Bumi, Yogyakarta, lewat karya tulis seperti Ramaditya Adikara dengan novel dan motivasinya,  Arya serta sahabatnya di Mitranetra, dan banyak lagi. Termasuk  di lini pendidikan, seperti yang dilakukan oleh Prof. Dr. Alimin, M.Ag.

 

Biografi singkat

Prof. Dr. Alimin, M.Ag, Terlahir dari keluarga sederhana dari pasangan Halike dan Mastura. Jiwa Alimin kecil ditempa oleh alam Desa Mallari, Kecamatan Awangpone, Kabupaten Bone. Ia adalah anak ke enam dari delapan  bersaudara. Dikutip dari Sulsel.pojoksatu.id dalam artikelnya “Prof Dr Alimin, Jadi Guru Besar dan Hafiz 30 Juz saat Matanya Buta,” Berdasarkan dokumen, Prof Dr Alimin lahir 25 Agustus 1969. Namun versi cerita ibunya adalah 14 Juni 1971 yang diceritakan bahwa Alimin lahir 20 hari menjelang Pemilu 1971.

 

Sejak kecil ia dididik keras oleh orang tuanya. Sang ayah sangat menekankan pentingnya pendidikan. Dari beberapa sumber yang penulis telusuri, pernah satu momen Alimin kecil tengah bercengkrama dengan sang ayah. Sang ayah bertanya akan jadi apa kelak ketika Alimin sudah dewasa. Alimin kecil lantas menjawab, “Jadi petani,” mendengar jawaban itu, sontak sang ayah marah besar. Karena beliau ingin menjadikan anak-anaknya orang yang terus mengejar pendidikan agar menjadi orang yang berwawasan luas. Pendidikan pertama Alimin di mulai pada SDN 41 Mallari (1977-1983), Seterusnya hingga ia kini meraih gelar Pendidikan yang cukup mentereng. Prof. Dr. Alimin, M.Ag.

 

Mengalami Kedifabelan Di Usia Produktif

Dilansir dari youtube.com di channel  @Prof. Alimin Mesra, Alimin yang seorang akademisi ini kini mengalami kebutaan akibat penyakit Retinitispigmentosa. Vonis kebutaan sudah ia dapat sejak tahun 2010. Dampak vonis tersebut baru ia rasakan sepuluh tahun kemudian tepatnya ditahun 2015. Dalam YouTube tersebut, Prof. Alimin menyampaikan betapa berat sekali proses penerimaan waktu itu.

“Saat saya merasakan penurunan progresif dari penglihatan mata saya pada tahun 2015, membaca, menulis, dan berkarya sudah sulit dilakukan. Seolah saya berkata harapan menjadi guru besar sudah hilang,” tuturnya di channel youtube-nya.

 

Dalam video yang berjudul, “Di Luar Nalar: Divonis Buta Bisa Hafidz 30 Juz dan Jadi Guru Besar UIN – Prof. Dr. Alimin, M.Ag,” Prof. Alimin menegaskan bahwa proses hidupnya tidaklah mudah. Sedih, takut, dan cemas setia mengintai dirinya. Di tahun 2016 itulah menjadi awal perjuangan barunya. Matahari sudah tak bisa dilihatnya. Hanya berkawan dengan wirid di sepertiga malam ia memasrahkan segala keluh kesahnya. Hingga, di tahun tersebut pula ia berangkat umrah untuk menjernihkan hati dan memohon petunjuk pada Allah Swt. Untuk mendapatkan bimbingan dihidupnya yang kini tak lagi bisa melihat.

 

Perjalanan sepiritual yang ia lakukan membawanya untuk semakin akrab dengan kalam Illahi. Dibacanya Al Quran, diresapinya makna, dan dihafalnya ayat tiap ayat untuk menghalau gangguan-gangguan psikologis. Hingga pada suatu momen ia mendapatkan gerakan hati untuk membuat artikel dengan cara, menggunakan tripleks bekas yang diberinya karet dari ujung ke ujung dan ditata seperti barisan buku. Di atas tripleks itulah Prof. Alimin menulis, yang kemudian ditranskrip ke dalam kertas hingga terbit menjadi sebuah artikel utuh.

 

Pendidikan dan Al Quran temaninya menggapai cita-cita

 

Bagi Prof. Dr. Alimin, M.Ag menyelami Al-Qur’an adalah obat yang setia membimbingnya. Ia seperti menjadi pembentuk pribadi yang tidak mudah terganggu batiniahnya. Karena ia merasa dengan Al Quran seolah ada benteng yang menjaga psikologisnya agar tabah menjalani kehidupan tanpa penglihatan.

 

Proses belajar dan penerimaan hidup yang tidaklah mudah bagi Prof. Dr. Alimin yang mengalami kedifabelan di usia dewasa. Namun, justru dengan hal itu, ia menilai yang hilang adalah indra mata. Karena tuhan masih memberinya empat indra lain yang dapat dioptimalkan. Apalagi ia menyaksikan banyak difabel yang tetap bisa berkarir dan berprestasi gemilang,  tidak terganggu dengan kondisi kedifabrelannya. Maka, dengan hal itu ia kembali bangkit meraih cita-cita.

 

Dilansir dari uinjkt.ac.id, pada artikel, “UIN Jakarta Kukuhkan Tujuh Guru Besar,” Menetapkan Prof. Dr. Alimin, M.Ag. Sebagai salah satu dosen yang mendapatkan gelar guru besar pada Rabu pagi, 8/5/2024.

 

Sebagai seorang dosen di Jurusan Hukum Ekonomi Syariah di fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan pengurus Cabang Nu Bone, prestasi Prof. Dr. Alim M.Ag. Jelas sangat membanggakan. Beliau meraih gelar guru besar dan sebagai seorang yang hafal Al Quran dalam kondisi difabel netra.

“Allah menjadikan kebutaan ini sebagai bagian dari anugerah yang istimewa. Saya mendapatkan gelar guru besar dan seorang hafidz Al Quran,” tutur Prof. Dr. Alimin, M.Ag. di chanel You tube @Prof. Alimin Mesra.

Sudah selayaknya sebagai difabel kita memiliki hak untuk menggapai mimpi. Bukan karena kondisi difabel, kita malah mengubur mimpi-mimpi di dasar hati yang akan mengendap dan terlupakan. Kita tetaplah manusia yang memiliki berbagai potensi dan kelebihan di bidang masing-masing. Tinggal bagaimana kita menyelami diri sendiri hingga menemukan potensi itu.

 

Kita bisa mengambil pelajaran dari kisah Prof. Dr. Alim, M.Ag. Bahwa hambatan tidak menjadikanya pupus meraih cita-cita.[]

 

Penulis  : Wachid

Editor    : Ajiwan Arief

Bagikan artikel ini :

TULIS KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT

BERITA :

Berisi tentang informasi terkini, peristiwa, atau aktivitas pergerakan difabel di seluruh penjuru tanah air