Views: 19
Solidernews.com – Nur Yana Yirah, Ketua Mother Hope Indonesia (MHI) dari Banten dalam Musyawarah Perempuan Nasional (26-27/3) mengusulkan terkait hak kesehatan reproduksi pada perempuan. Usulah ini mengemuka setelah adanya fakta bahwa banyak perempuan yang di masa menstruasi tidak mendapatkan layanan yang baik sehingga berisiko mengalami kanker rahim. Selain itu, kurangnya edukasi soal pentingnya memberikan jarak antara kehamilan juga masih jadi persoalan dalam isu Kesehatan reproduksi.
Menurut Yana, berbicara angka kematian ibu dan bayi, ini kaitannya bukan hanya kesehatan fisik saja namun bagaimana dengan ibu yang mengalami gangguan jiwa? Sebab si ibu tidak hanya memeriksakan kehamilannya saja namun juga perlu pemeriksaan psikis sebab kaitannya adalah bayi yang lahir memiliki risiko prematur, atau dengan berat badan rendah, atau bayi yang tidak terganggu tumbuh kembangnya.
Yana menambahkan jika perempuan yang mengalami gangguan jiwa sering mendapatkan stigma, misalnya pada ibu yang mengalami Post Partum Depression (PPD) sering dianggap sebagai ibu yang aneh, ibu yang gila, ibu yang kemasukan setan, atau ibu yang kurang iman. Hal tersebut akan memberatkan bagi si ibu dan lalu ia akan berkata, “saya tidak mau periksa deh,” Juga hal terkait BPJS yang belum sepenuhnya berpihak pada perempuan dengan gangguan jiwa. Kenyataan saat mengakses fasilitas kesehatan, seperti dibatasi jam kunjung misalnya sebulan hanya bisa sekali mengakses psikolog atau psikiater.
Selain itu budaya atau tradisi yang berkembang bahwa seorang perempuan masih terikat perkawinan dengan suaminya, maka ia harus menurut. Itu terjadi di MHI, seorang perempuan yang tinggal bersama suaminya, jika suaminya melarang dia berobat maka dia tidak berobat. Itu artinya tidak ada dukungan dari suaminya. Ia juga tidak mendapat akses ke klinik, ke layanan KB karena distigma, maka MHI memandang perlu kolaborasi Kementerian PPPA dan Kemenkes, dan memberikan pelatihan-pelatihan kepada tenaga kesehatan.
Sementara itu saat ini yang sudah dikelola Kementerian PPPA yakni Puspaga sudah baik karena ada pelatihan mainstreaming kesehatan jiwa pada ibu hamil.
Pada sektor hak bekerja pada perempuan dengan bipolar, mereka yang bekerja di kantor mendapat stigma lalu dipecat. Akhirnya mereka tidak dapat bekerja.
Hal yang juga urgen, jika terjadi kasus KDRT pada ibu hamil atau pasca melahirkan, terutama tidak adanya respek dari tenaga kesehatan. Para perempuan itu dikucilkan saat pemeriksaan dan itu menyebabkan trauma melahirkan. Ketika dia mengalami trauma, ia tidak memiliki bounding dengan anak sehingga menyebabkan ASI tidak keluar. Maka yang perlu dilakukan menurut Yana adalah menyelenggarakan training kepada tenaga kesehatan, Puspaga yang sudah ada bisa memberi training kepada tenaga kesehatan. Yana menutup paparan usulannya dengan mengatakan bahwa karena perempuan tidak bisa menghadapi masalahnya sendiri. Istilahnya harus ” sekampunglah” untuk mengurus itu, dari masalah ekonomi, akses layanan kesehatan hingga pekerjaan.[]
Reporter: Astuti
Editor : Ajiwan Arief