Views: 33
Solideernews.com – Saya memiliki keluarga besar dari pihak ibu yang beberapa di antaranya adalah orang dengan gangguan jiwa. Namun jauh hari sebelum saya akhirnya memahami jika ada kerabat yang mempunyai riwayat penyakit skizofrenia, persinggungan saya dengan seseorang yang mengalami gangguan jiwa telah dimulai pada saat masih kecil, di usia 7 tahun.
Kala itu, 45 tahun lalu, ya, usia saya saat ini 52 tahun. Ada seorang tetangga yang tinggal tepat di belakang rumah, selalu dikucilkan oleh tetangga lainnya. Saya masih ingat, kakek tua itu biasa dipanggil dengan nama “Pak Sri”. Ia tinggal seorang diri di rumah yang memiliki kebun berbatasan dengan rumah orangtuaku. Saat itu, sangat minim informasi yang saya ingat. Hanya saja orangtua berpesan agar jangan sekali-sekali bermain-main ke rumahnya.
Pak Sri yang biasa berjalan dengan membawa sebatang tongkat dan selalu mengenakan topi, hanya sering memandangku dari kejauhan. “Kuwi wong edan. Ojo cedhak-cedhak (Dia orang gila, jangan mendekat),” begitu pula kata nenek yang menjaga saya setiap hari. Ingatan tentang Pak Sri hanya sampai di situ bahwa saya dan adik-adik saya dilarang mendekatinya. Selebihnya saya tidak ingat. Tetapi sejak saat itu saya jadi mengenal istilah “wong edan”.
Seiring berjalannya waktu, saya jadi tahu kalau di dalam keluarga besar saya ada yang mengalami gangguan jiwa. Dua orang Oom dan dua orang Tante tiri saya (lain ayah dengan ibu saya) ternyata juga orang dengan skizofrenia. Di tahun 80-an, isu ini masih sangat awam. Awalnya salah seorang Oom saya mengalami depresi, ia tiba-tiba jarang keluar rumah, lama-lama ia sering berhalusinasi kemudian melakukan perbuatan kekerasan hingga akhirnya dirawat di rumah sakit.
Demikian pula Tante saya, Ia yang masa remaja dihabiskan mengikuti keluarga kakaknya di luar pulau, pulang dalam keadaan stress lalu depresi. Lagi-lagi ia harus dirawat di rumah sakit jiwa. Saat itu namanya masih rumah sakit Mangunjayan yang berlokasi di dekat Kompleks Sriwedari. Ada saat Oom dan Tante pulih. Ada juga saat ia pernah menjadi gelandangan psikotik. Nenek dari pihak ibu saya sampai tak kurang akal mengobati mereka.
Ada cerita tentang rumah sakit Mangunjayan saat itu yang demikian membekas sampai hari ini. Betapa hanya dengan disebutkan namanya saja, orang kemudian mudah untuk menstigma dengan cara menjadi bahan olok-olok. Nama Mangunjayan tenar sebagai bahan celaan, sekaligus candaan. Sehingga saat itu mudah sekali untuk mengingat bahwa Mangunjayan adalah tempat “wong edan” dirawat. Betapa saya tumbuh bersama stigma-stigma kental dan negatif terhadap orang dengan gangguan jiwa.
Letak semula rumah sakit jiwa tersebut berada di jantung Kota Surakarta yang kala itu beralamat di Jl. Bhayangkara No. 50 Surakarta. Pada awalnya rumah sakit ini didirikan pada tahun 1918 dan diresmikan serta terpakai tanggal 17 Juli 1919 dengan nama Doorganghuis Voor krankzinnigen dan dikenal pula dengan nama Rumah Sakit Jiwa Mangunjaya. Rumah sakit ini menempati area seluas +0,69 hektar dengan kapasitas tampung sebanyak 216 tempat tidur.
Pada Februari 1986 Rumah Sakit Jiwa Surakarta menempati lokasi yang baru di tepian sungai Bengawan Solo, tepatnya jalan Ki Hajar Dewantoro No. 80 Surakarta dengan luas area 10 ha lebih dengan luas bangunan 10.067 m2 dan bernama Rumah Sakit Jiwa Daerah (RSJD) Arif Zainudin. Rumah sakit itu kini dikelola oleh Pemerintah Provinsi Jawa Tengah. Masyarakat awam pun turut menstigma, saat itu dinamai “Rumah Sakit Kentingan”. Seiring berjalannya waktu, nama RSJD dr. Arif Zainudin lebih familiar dan memfasilitasi terapi rehabilitasi.
Stigma tentang orang dengan gangguan jiwa pernah juga saya lihat dengan mata kepala sendiri. Jika anggota keluarga besar saya yang saya sebut di atas mengalami pengucilan atau diasingkan di masyarakat. Waktu itu, di masa remaja, saya pernah melihat hal yang lebih frontal dan ‘jahat’. Ada pemuda difabel mental intelektual dan tidak bisa berbicara/wicara, sering menjadi bulan-bulanan anak-anak kecil.
Tetangga kampung itu, namanya Harjani, sering digoda oleh anak-anak kecil sebaya saya agar ia terpancing emosi marah lalu ia mengejar mereka. Setelah itu anak-anak itu akan melemparinya dengan batu. Ada pembiaran yang dilakukan oleh orang-orang dewasa kala itu dengan tanpa melarang. Harjani dijadikan sasaran perundungan. Ia tak hanya dijadikan mainan oleh anak-anak tetapi sasaran kekerasan.
Apakah kini, setelah 30 tahun lebih, keadaan sudah berubah? Jawabnya adalah tidak. Meski dunia telah banyak berubah, dan negara Indonesia telah meratifikasi UNCRPD yang melahirkan undang-undang tentang CRPD lalu lahirlah Undang-Undang nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.
Orang-orang yang memiliki gangguan jiwa, dalam istilah Undang-Undang Kesehatan Jiwa disebut Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) dan dalam Undang-undang nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas disebut Disabilitas Mental, tetap saja mendapatkan diskriminasi di masyarakat. Banyak kasus yang membuktikan bahwa masyarakat awam belum menerima mereka sebagai bagian dari entitas.
Masih ada “Harjani-Harjani” lain yang bisa disaksikan lewat media sosial baik yang viral maupun tidak. Mereka masuk berita dan menambah angka korban kriminalitas. Kalaupun kemudian mereka bisa dititipkan oleh keluarga di tempat “aman” dengan tinggal di panti-panti yang oleh pengelolanya disebut panti rehabilitasi, tetapi tidak semua panti tersebut menyediakan layanan secara manusiawi.
Dukungan pemerintah provinsi dalam bentuk pemberian uang makan sehari tiga kali seperti yang diterima oleh sebuah panti difabel mental di sudut Kota Surakarta, menyisakan banyak sekali “pekerjaan rumah” yang harus diselesaikan. oleh pengelolanya. Bagaimana fasilitas bangunan? fasilitas MCK, tempat tidur, terapi medikasi, hingga pemberdayaan yang suistanable bagi yang pulih dan bisa hidup di masyarakat?
Memang tidak sedikit keluarga yang semakin memahami dan menyadari tentang hak-hak perlindungan bagi anggota keluarga mereka yang mengalami difabilitas mental. Tentu dengan susah payah bahkan istilahnya ada yang sampai berdarah-darah. Artinya mereka bisa sampai tahap ke penyadaran, terlebih dahulu harus melalui berbagai proses yang tentu sangat melelahkan dan habis-habisan baik segi materi dan non materi dari yang datang ke dukun yang mereka sebut “orang pintar”, ke pemuka agama seperti ustaz, kyai, pendeta hingga akhirnya melakukan terapi medikasi ke profesional yakni psikolog dan psikiater.
Dan apakah stigma sebagai pasien rumah sakit jiwa sampai hari ini masih ada? Sejatinya saya berharap tidak ada. Tetapi kenyataan berbicara lain. Di sebuah group komunitas peduli skizofrenia, Minggu lalu, seorang teman saya, mahasiswa tingkat akhir sebuah perguruan tinggi swasta, menyatakan kegundahan hatinya sebab saat pergi ke kelurahan tempat tinggalnya untuk suatu urusan ia bertemu tetangga dan setelah mengetahui jika ia seorang pasien rumah sakit jiwa, si tetangga itu pun sontak menertawainya sehingga teman saya merasa tidak nyaman.
Ada lagi pengakuan seorang anggota komunitas yang sudah berobat selama enam tahun di RSJ. Tetapi ia masih menyembunyikan statusnya. Hanya ketua RT saja yang tahu jika laki-laki produktif yang dikenal memiliki usaha rumahan itu memiliki penyakit skizofrenia. Menurut sang istri, atas anjuran ketua RT-nya, identitas sebagai seorang dengan skizofrenia itu sebaiknya disembunyikan. Katanya, biarlah warga hanya tahu sang suami sebagai orang yang memiliki watak pendiam. Di situ saya kemudian merasa prihatin. Ternyata menyandang sebagai seorang dengan skizofrenia dan pasien rumah sakit jiwa itu amat pedih.[]
Penulis: Astuti Parengkuh
Editor : Ajiwan