Views: 3
Solidernews.com – Sebanyak 75% penyakit yang berpotensi menyebabkan wabah adalah zoonosis yakni penyakit yang ditularkan dari hewan baik hewan liar, ternak maupun hewan domestik (peliharaan) ke manusia. Patogen yang ditularkan pun bisa berupa bakteri, virus, parasit, dan jamur. Menurut WHO, setidaknya 6 dari 10 penyakit menular yang ada saat ini merupakan zoonosis. Untuk itu perlu upaya pencegahan dan jangan sampai penyakit dari hewan masuk kepada manusia. Mutasi mikro organisme semakin lama semakin luas. Mutasi semakin sering. Virus dan bakteri mengalami mutasi dan saat ini semakin marak.
Kita harus bisa mencegah. Mengapa? Sebab virus itu masuknya ke hewan dulu. Jika hewan terjangkit. Mungkin hewan tidak sakit tapi bisa menularkan ke manusia maka tugas manusia untuk mencegah maka peran peternak atau domestik (orang memelihara hewan) harus aware dengan apa yang terjadi pada hewannya. Demikian dikatakan oleh dr. Irwan Pambudi, MPH, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular (P2PM) Kementerian Kesehatan pada talkshow interaksi aman manusia dan hewan untuk ketahanan kesehatan oleh project INKLUSI, Selasa (23/7)
Pentingnya menjaga kesehatan makanan bagi difabel perlu ditekankan apakah makanan itu sehat, dengan beberapa syarat misalnya jika makanan berbentuk daging, apakah dagingnya masih segar, dengan ciri warna khasnya atau bisa juga dengan bau. Makanan yang tidak sehat akan berisiko karena tidak terdeteksi utamanya misalnya pada difabel netra. Jadi mereka akan lebih rentan sebab tidak mudah untuk membedakan mana makanan yang sehat dan tidak sehat.
Kalau orang dengan penyakit misalnya HIV atau orang yang memiliki kanker yang harus melakukan kemoterapi, atau orang yang memiliki penyakit autoimun, mereka jika memiliki masalah akan sangat mudah terkena penyakit. Dan tidak hanya disebabkan oleh zoonosis, ibu hamil juga mempunyai imunitas rendah karena secara nature Tuhan menurunkan imunitas, sehingga berisiko kena penyakit.
Seperti misalnya pada kasus seorang teller sebuah bank yang memiliki penyakit tokso, padahal ia tidak memelihara kucing. Usut punya usut ternyata karena Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) yang tidak dilaksanakan.
Pencegahan penyakit bisa dilakukan dengan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS). PHBS di sini bukan hanya untuk manusianya saja tapi juga hewannya jadi harus menjaga hewan agar tetap sehat. Penting diberikan vaksin untuk hewan misalnya vaksin untuk hewan unggas dan hewan piaraan seperti vaksin rabies. Makanannya sendiri juga harus diperhatikan, termasuk kebersihan kandang.
Hewan berinteraksi dengan manusia untuk dipelihara atau dikonsumsi, termasuk bagaimana makanan itu dimasak dengan suhu baik jangan kurang dari 80°. Jadi janganlah tergiur kalau orang menjual daging murah, diluar kewajaran. Bisa dipastikan ada apa-apanya dengan hewan yang dijualnya.
Perlu diketahui bahwa sebelum ada bencana wabah COVID-19, ada pula wabah flu burung lalu Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) melanda. Lantas bagaimana kalau ada wabah lagi dan bagaimana pula efeknya? Efeknya secara ekonomis jelas bangkrut. Apalagi seperti COVID-19 itu virusnya rusak ada obatnya hanya bisa dilawan oleh tubuh. Yang dilakukan oleh ilmuwan adalah membuat vaksin sedangkan untuk pengobatannya masih sulit. Baru penelitian pun dari awal sampai starting butuh waktu 3 bulan dan pengembangannya bisa 1 tahun atau lebih. Belum lagi dampak pandemi yang lain, semua orang pastinya akan sengsara. Maka oleh karenanya jangan sampai juga para peternak atau orang yang memelihara hewan itu menutupi kasus kematian hewannya karena akan menjadi malapetaka bagi orang lain seperti kasus Anthrax, misalnya.
Pentingnya Biosekuriti
drh. Tri Setya Putri Naipospos Hutabarat, M.Phil, Phd, atau biasa dipanggil Dokter Tata, narasumber kedua pada talkshow, menyatakan bahwa penting untuk mempraktikkan biosecuriti bagi peternak.
Dr. Tata narsum menyatakan mengapa penting mempraktikkan biosekuriti. Menurut data, 60% penyakit yang menular berasal dari hewan dan 70%nya dari hewan unggas.
Praktik biosekuriti adalah serangkaian tindakan atau praktik yang perlu dilakukan untuk mencegah masuk dan keluarnya penyakit dari lingkungannya. Dan ini bisa kecil dan besar sebagai pertahanan dari peternakan tertentu.
Lantas bagaimana dengan peternak kecil, karena peternak kecil ini termasuk peternak inklusif difabel misalnya. Mereka memiliki berbagai macam tantangan?
Apalagi ada pula anggapan sulit dan menemukan kendala dalam praktik bio sekuriti karena bicara biosekuriti memerlukan dana besar padahal secara konsep masalahnya sederhana dan bisa dipraktikkan dengan peternak besar dan kecil yakni praktik pembersihan dan desinfektasi.
Menurut Dokter Tata, bukan terletak seberapa besar peternak membeli desinfektan tetapi bagaimana ia menjalankan setiap hari yang perlu kedisiplinan bagi mereka (peternak). Kadang yang tidak terlalu diperhatikan bukan pada alatnya tetapi kesadaran peternak sendiri misalnya memisahkan area bersih dan kotor, yang disebut dalam peternakan indoensia adalah 3 zona : merah, kuning dan hijau. Biosekuriti bisa dijalankan oleh peternak dan tidak harus seperti peternak besar misalnya menyediakan kamar mandi untuk manusia.
Lantas, bagaimana dengan akses vaksin?
Vaksin adalah praktik biosekuriti. Pemerintah menyediakan akses dari peternak kecil pada distributor peternak. Tapi tidak semua bisa diakses misal vaksin rabies. Namun hal terpenting, permasalahannya pada petugas yang harus dilatih karena sulit dalam pelaksanaannya.
Kapan Peternak dan Konsumen Harus Waspada?
Narasumber ketiga, Ir. Jenny Soelistiani, M.M., IPU.,ASEAN Eng, menyampaikan bahwa biosekuriti intinya jangan sampai ayam sakit karena secara ekonomi merugikan. Ayam sehat saja menurutnya harganya fluktuatif. 5 tahun terakhir Ir. Jenny berjuang bersama FAO, bahwa dalam praktik tidak boleh ada antibiotik artinya bagaimana penggunaan seminimal mungkin maka oleh karenanya praktik biosekuriti adalah solusi. Pihaknya melakukan biosekuriti 3 zona yang dicanangkan oleh FAO maka semua akan lebih baik manajemennya dan pihaknya melakukan pemeriksaan MKV (peralatan untuk melakukan pembedahan pada hewan yang telah mati) jadi keharusan di peternakan dan ada jaminan ASUH (Aman, Sehat, Utuh, Halal) produknya. MKV untuk ayam peternakan ada sertifikatnya. Sehingga peternakan-peternakan secara manajemen bisa dijamin.
Lantas apa manfaat praktis khususnya untuk peternak kecil? Menurut Ir. Jenny memang tidak mudah karena sekarang dan mendatang akan pro investasi sehingga berat untuk peternak kecil. Lantas bagaimana upayanya? “Yang kecil kita bangun kesadarannya. Di Lampung, kami ada Reno Farm, pilot project. Di Lampung kita sadarkan peternak, “ungkap Ir. Jenny. Menurutnya anak-anak sekarang ini setiap hari makan telur dan ayam. Kalau praktik di farm tidak bagus maka secara moral, peternak meracuni anak-anak. “Kesadaran inilah kami tekankan ke peternak yang punya peran strategis, ” ungkapnya. Pihak Ir. Jenny juga mengadakan Sekolah Lapang. Mereka menyiapkan satu sandal. Kalau keluar pakai sandal dengan warna beda. Tidak ada kamar mandi, maka ada semprotan, baru ganti baju. Pihaknya juga memberi sertifikat bahwa farm juga berhak.
Olla seorang dari Sumba bertanya bagaimana praktik biosekuriti bagi mereka yang punya kuda? Menurutnya memang peternak lokal masih abai. Kadang ada lalat hinggap pada hewan. Lantas apakah ini sebagai penyebab penyakit pada hewan lainnya artinya apakah ada agen seperti penyakit? Dokter Tata kemudian menjelaskan bahwa lalat, nyamuk, kutu, lalat yang tinggal ke tubuh yang sakit bisa membawa ke hewan lain yang disebut vector. Jadi jangan sampai peternakan dihinggapi oleh vector. Kucing juga pembawa vector. Sedangkan penularan bakteri salmonella dari telur dan e-coli.
Saat ini banyak produk dipasarkan di pasar tertera bebas salmonella artinya harusnya jaminan diperoleh dari produser yakni keamanan dan kualitas dari produk hewan yang dihasilkan.
Ir. Jenny mengatakan upaya yang dilakukan pihaknya terkait produk dengan kandungan salmonella yakni melakukan karantina secara online dan setiap tiga bulan mengontrol bebas karantina. Ia menambahkan bahkan untuk meyakinkan konsumen ada produk herbal Curcuma sampai ada yang menamai telur herbal.
Terkait lingkungan peternakan jaraknya dengan pemukiman penduduk secara teori 700 meter tapi kenyataan tidak segitu. Realitanya perumahan itu yang mendekati peternakan. “Ke depan akan ada Perda RT RW. Kalau peternakan lama ada sosial CSR tapi kalau ada perizinan susah ada Perda RT RW. Lebih bagus menghindari farm karena biaya izin lebih tinggi misalnya pada kawasan wisata atau perdagangan, “pungkas Ir. Jenny.
Dokter Tata menutup talkshow dengan bicara tentang peternakan babi, tentu jaraknya akan jauh. Tetapi peternakan sapi bahkan di Jatim ada di belakang rumah karena antara tempat tinggal hewan dan rumah tidak bisa dipisah. Biasanya daerah yang punya aturan tentang tata ruang akan sulit dan biasanya peternakan besar kalau dibangun di daerah yang betul-betul terisolasi. Dan jika ada yang berdekatan, yang salah bukan peternakannya tapi permukiman yang mendekat.[]
Reporter: Puji Astuti
Editor ; Ajiwan Arief