Search
en id

Gunakan fitur ACCESSIBILITY melalui tombol bagian kanan bawah sebagai preferensi untuk kenyamanan Anda.

Musik Senja Egalita, Pembacaan Antologi Puisi Karya Penyair Tuna Netra

SoliderNews.com, Yogyakarta –  Setelah seharian terik dan menyengat kulit. Matahari perlahan menyingkir. Bergeser menuju ufuk barat. Pelan namun pasti, sang bola api raksasa mulai beringsut, beranjak menuju peraduannya. Namun begitu, disisakannya gerah yang memacu tubuh tetap berpeluh. Meski waktu kala itu menuju senja, pukul empat sore.

 

Peluh yang setia membasuh, tak menyurutkan langkah para pecinta kopi mencapai satu tempat, Kopi Egalita. Berada di Jalan Lurik Kingkin, Nitipuran, Ngestiharjo, Kasihan Bantul. Di sana, para penikmat kopi dapat menemukan sensasi rasa kopi dalam negeri, yang disajikan para barista muda.

 

Kala itu, Sabtu (7/10/2023). Musik Senja Egalita tengah digelar. Satu acara spesial bagi para pengunjung Kopi Egalita. Pembacaan Antologi Meditasi Kopi, kumpulan puisi karya penyair Irwan Dwikustanto. Penuh penghayatan, 12 orang penampil dari Komunitas Cakra Dewantara (awas) dan teater Egalita yang seluruhnya dengan gangguan penglihatan (low vision, tottaly blind), bergantian membacakan bait-bait puisi.

 

Tak hanya itu, para pengunjung berbincang dan menyeruput kopi, dengan diiringi permainan piano Krishna Adityo (low vision) secara live (langsung). Permainan instrumentalia yang terinspirasi dari Antologi Meditasi Kopi. Demikian, ujar Krishna sang pianis, di antara pembacaan puisi yang berlangsung marathon, sedari pukul 16.00 hingga 20.00 WIB.

 

Antologi Meditasi Kopi

Ada yang menarik. Kumpulan puisi Irwan Dwikustanto, diberi judul Antologi Meditasi Kopi. Hal itu dikarenakan, puisi-puisi yang diciptanya, lahir  dari perenungan tentang disabilitas, yang selama ini digambarkan tentang kepahitan hidup. Sebagai difabel dengan hambatan penglihatan (buta total) dirinya menolak pandangan tersebut.

 

“Sebagai representasi rasa pahit, saya mencoba menyelami (meditasi). Ternyata,  pengalaman hidup saya mengajarkan, bahwa manusia hidup punya misi masing-masing. Disabilitas hanya sebuah casing (bungkus luar). Sedang fungsi hidup, disesuaikan dengan casing. Belajar dari kopi, ternyata kepahitan kopi, justru dicari banyak penghuni semesta,” ujar Irwan.

 

Dalam ceritanya, kopi mengisahkan dirinya. Saat sedang cantik-cantiknya, lalu dipetik. Kemudian dibiarkan membusuk melalui permentasi. Tidak cukup disitu, setelah busuk kulit cherinya dikupas. Lalu dijemur di teriknya matahari. Berikutnya dikuliti. Tapi, kopi tidak berubah. Aromanya tetap menggoda. Terlebih ketika diseduh dengan air panas.

 

Dari kopi, kata dia, sesungguhnya tersurat makna ketangguhan hidup. Kopi tanpa mengeluh sama sekali. Pahitnya, sebuah sindirian untuk manusia yang dibahasakan menjadi antologi puisi. Di dalamnya terdapat lebih kurang 250 puisi. Yang kesemuanya berkisah tentang kopi.

 

Irwan tak berharap banyak, bahwa setiap orang harus memahami puisinya. Dia menyampaikan, “ketika penyair sudah menulis dalam bentuk aksara, maka makna menjadi milik pembacanya.  Apakah pesan itu sampai atau tidak, pembaca yang akan menilainya,” terangnya.

 

Lanjutnya, saya menghayati hidup sebagai seorang penyair. Dalam kepenyairan ada kebijaksanaan. Bahwa dia (puisi) itu bagaikan bayi kita, anak kita, karya yang keluar dari diri. Dan antologi pusi ini, adalah makhluk tersendiri, yang boleh ditimang orang lain.

 

“Bagi saya, puisi itu berjiwa. Dia punya sayap. Bisa terbang ke manapun. Dia dilahirkan alam semesta. Jadi saya bukan pencipta. Saya hanya menemukannya, kemudian saya tuangkan dalam bait-bait puisi,” pungkas Irwan sang penyair tuna netra .[]

 

Reporter: Harta Nining Wijaya

Editor    : Ajiwan

Bagikan artikel ini :

TULIS KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT

BERITA :

Berisi tentang informasi terkini, peristiwa, atau aktivitas pergerakan difabel di seluruh penjuru tanah air