Search
en id

Gunakan fitur ACCESSIBILITY melalui tombol bagian kanan bawah sebagai preferensi untuk kenyamanan Anda.

Memimpikan Mudik Ramah Disabilitas dan inklusif; Ini Sejumlah Pengalaman dan Cerita Difabel

Solidernews.com – Tradisi “mudik” di Indonesia tidak hanya sekadar peristiwa tahunan yang ditunggu-tunggu oleh jutaan orang untuk berkumpul dengan keluarga dan kampung halaman mereka saat perayaan Idul Fitri, tetapi juga menjadi momen istimewa untuk merenung tentang inklusi sosial, termasuk bagi mereka yang memiliki kebutuhan khusus atau difabel. Memperhatikan kebutuhan

 

mereka dalam konteks mudik adalah langkah penting dalam memastikan bahwa semua orang dapat merasakan kehangatan dan kebersamaan dalam perayaan ini. Oleh karena itu, penting untuk membangun model mudik yang ramah dan aksesibel bagi difabel, termasuk menyediakan fasilitas transportasi yang memadai, aksesibilitas yang lebih baik di tempat-tempat umum, dan meningkatkan kesadaran serta pemahaman masyarakat tentang kebutuhan dan hak-hak difabel. Dengan demikian, kita dapat menciptakan lingkungan yang lebih inklusif dan menyambut bagi semua orang, memperkuat rasa solidaritas dan persatuan dalam tradisi budaya yang berharga bagi bangsa Indonesia.

 

 

Transportasi yang Ramah

Salah satu pendekatan yang dapat diadopsi adalah menyediakan transportasi yang dirancang untuk memenuhi kebutuhan beragam difabel. Ini mencakup bus dengan lift untuk kursi roda, ruang yang luas untuk mobilitas terbatas, dan fasilitas yang ramah bagi difabel sensorik.

 

Kesetaraan, kemudahan, dan keselamatan harus menjadi fokus utama dalam penyediaan layanan transportasi bagi difabel, seperti yang disampaikan oleh Ilma Sovri Yamti. Inisiatif ini menyoroti perlunya upaya konkret untuk memastikan aksesibilitas dan perlindungan yang memadai bagi mereka dalam mobilitas sehari-hari.

 

Sebagai penggagas Mudik Ramah Anak dan Disabilitas (MRAD), Ilma menekankan pentingnya partisipasi langsung dari pengguna kursi roda dan difabel lainnya dalam pembuatan kebijakan. Gerakan ini telah memicu pertumbuhan kesadaran tentang mudik yang ramah disabilitas.

 

Meskipun demikian, banyak difabel masih mengalami kesulitan dalam melakukan perjalanan pulang ke daerah masing-masing saat lebaran, seperti yang diungkapkan oleh Cucu Saidah (MRAD). “Minimnya akses transportasi publik yang memadai bagi difabel, terutama pada layanan kereta api yang belum sepenuhnya ramah bagi difabel, menjadi hambatan utama.”

 

Akomodasi Aksesibel

Selain itu, pengaturan akomodasi yang inklusif dapat meningkatkan pengalaman mudik bagi difabel. Hotel dan tempat penginapan harus dilengkapi dengan akses yang ramah bagi difabel, termasuk fasilitas navigasi yang mudah digunakan.

 

Tidak kalah pentingnya adalah memastikan aksesibilitas fasilitas umum di destinasi mudik. Area publik harus memiliki akses yang ramah bagi difabel, termasuk trotoar yang luas dan fasilitas umum yang dirancang untuk penggunaan yang mudah bagi semua orang.

 

Kesadaran Bersama

Namun, upaya ini tidak akan berhasil tanpa kesadaran dan pelatihan bagi masyarakat umum. Melalui kampanye pendidikan dan pelatihan staf, kita dapat membangun pemahaman yang lebih baik tentang kebutuhan difabel dan meningkatkan sikap inklusif di masyarakat.

 

Mudik adalah kesempatan untuk merayakan kebersamaan dan kebersatuan. Dengan membangun model mudik yang ramah dan aksesibel bagi semua orang, kita dapat memastikan bahwa tradisi ini benar-benar mewakili semangat inklusi yang kita anut sebagai bangsa.

 

 

Mudik Belum Sepenuhnya Ramah Difabel

Setiap momen mudik selalu menjadi kisah yang berbeda bagi setiap individu. Bagi Nesti, seorang yang mengalami cerebral palsy, perjalanan mudiknya merupakan ujian sekaligus cerminan dari ramahnya pelayanan publik terhadap difabel.

 

Meski pengalaman mudiknya tidak selalu mulus, Nesti bersyukur karena bisa pulang kampung dengan lancar. Namun, tidak semua armada umum ramah terhadap kondisinya. Pada suatu perjalanan menggunakan travel dari Jogja ke Pati, Nesti mengalami protes dari seorang supir karena menggunakan kursi roda. Kejadian tersebut menggambarkan betapa masih adanya ketidaktahuan dan kurangnya kesadaran akan kebutuhan difabel dalam layanan transportasi umum.

“Pernah saat naik travel dari Jogja ke Pati ada supir yang protes karena saya memakai kursi roda… Mungkin karena lebaran semua penumpang bawaannya banyak jadi takut tidak muat masuk mobil travel,” ucap Nesti.

 

 

 

Menjadi difabel berarti harus memilih kendaraan dengan hati-hati, mengetahui siapa yang tulus membantu dan siapa yang meremehkan. Karena ada aja yang kurang baik, misal, sopir.

 

“Kurang ramah drivernya dan sedikit judes…,” keluhnya.

 

Namun, di balik tantangan tersebut, Nesti juga merasakan kebaikan hati dari beberapa pengemudi yang ramah dan peduli terhadap kebutuhannya.

 

“Tapi tetap banyak driver yang baik hati dan ramah kepada penumpangnya,” ujarnya.

 

Tidak hanya itu, persiapan finansial juga menjadi hal penting bagi Nesti. Dia harus menabung selama sepuluh bulan sebelum Lebaran untuk memastikan biaya perjalanan yang cukup, terutama karena harga tiket travel cenderung naik signifikan saat musim mudik.

 

“Jadi sekitar 10 bulan saya benar-benar menyisihkan rezeki sedikit demi sedikit untuk momen ini… Karena tidak bisa dipungkiri setiap Lebaran harga tiket travel pasti naik sekitar 50 ribu per tiket… Apalagi sekarang saya mudik ber-3 pulang pergi sekitar 1 juta 200 ribu,” paparnya.

 

Namun, hambatan-hambatan tetap ada. Bagi Nesti, membawa barang harus diatur dengan cermat agar tidak memberatkan dirinya sendiri. Begitu pula dengan pilihan moda transportasi, seperti naik bus yang seringkali menghadapi kendala aksesibilitas, baik dari segi harga maupun fasilitas fisik kendaraan.

“Kita harus pintar-pintar memilih kendaraan yang kita mampu untuk transit sendiri… Selain itu, jadi tahu mana orang tulus mana yang meremehkan dan cuek… Karena saat naik kendaraan umum pasti butuh bantuan orang lain… Meski tidak sepenuhnya butuh bantuan… Selain itu, harus hafal barang yang kita bawa agar tidak sampai tertukar dengan penumpang lain,” jelasnya.

 

Dalam menyikapi masalah tersebut, Nesti memberikan saran kepada para pengemudi untuk lebih diberikan sosialisasi tentang kebutuhan difabel. Selain itu, perbaharuan armada transportasi juga menjadi hal yang sangat diharapkan, termasuk perbaikan fasilitas seperti AC yang berfungsi dengan baik dan penyesuaian tinggi tangga untuk memudahkan akses bagi penumpang dengan mobilitas terbatas.

“Saran saya untuk para driver lebih diberikan sosialisasi lagi tentang difabel. Untuk armadanya, semoga segera diperbaharui lagi. Kadang ada travel yang AC-nya mati dan tangga untuk masuk mobilnya jangan terlalu tinggi. Saya lama tidak naik bus karena pelayanannya kurang bagus. Kaki belum turun, busnya sudah mau jalan,” harapnya.

“Mudik sendiri harus bawa barang jangan terlalu banyak… Kalau naik travel… Kalau naik bus harus siapkan budget lebih karena kursi roda dihitung satu tiket… Hambatan lain seperti tangga bus atau travel terkadang tinggi, jadi sulit naik turunnya,” tutupnya.

 

Meski penuh dengan tantangan, Nesti tetap menjaga semangat dan harapan bahwa suatu hari nanti, perjalanan mudik bagi difabel akan menjadi lebih ramah dan mudah dilalui.

 

Dengan demikian, kita menyadari bahwa terwujudnya mudik yang ramah terhadap difabel bukanlah sesuatu yang mustahil, melainkan suatu upaya yang dapat diupayakan. Terbukti, terdapat perbaikan di berbagai moda transportasi, seperti perbaikan pada kereta api yang semakin membaik  hal ini diharapkan menular ke moda lain. Namun, dalam perjalanan menuju inklusi yang lebih baik, kita tidak boleh menutup mata terhadap permasalahan yang masih ada, seperti pengalaman yang dialami oleh Nesti. Hal ini menegaskan pentingnya terus mendorong perubahan menuju masyarakat yang lebih inklusif dan ramah terhadap keberagaman kondisi individu.[]

 

Penulis: Hasan Basri

Editor    : Ajiwan Arief

Bagikan artikel ini :

TULIS KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT

BERITA :

Berisi tentang informasi terkini, peristiwa, atau aktivitas pergerakan difabel di seluruh penjuru tanah air