Views: 9
SoliderNews.com, Yogyakarta – LEGA. Satu kata sebagai ungkapan perasaan, 13 orang Tuli anggota Gerakan Kesejahteraan Tuna Rungu Indonesia (Gerkatin) Kota Yogyakarta. Pasalnya, remaja dan dewasa dengan hambatan pendengaran itu, berhasil mendapatkan Surat Izin Mengemudi (SIM) jenis C, dari Satuan Lalulintas (Satlantas) Polresta Yogyakarta, yang berada di Jl. Asrama Polri Pathuk, Ngampilan, Kota Yogyakarta, Jumat (15/9/2023). Mereka di antaranya, Laksmayshita, Dhomas, Iwan, Diki, Teby, Ahmad, Okky, Prilia, Natalia, Dita, Sugiarto, Wahyu dan Rinaldy.
Dapat dipahami. Perjuangan mereka mendapatkan SIM bukan hal yang mudah. Sembilan tahun silam (2014), para Tuli telah mengawali perjuangannya. Tak hanya Tuli warga Kota Yogyakarta. Perjuangan dilakukan bersama Tuli dari empat kabupaten lain (Sleman, Bantul, Gunung Kidul dan Kulonprogo). Hampir satu dekade silam, mereka berkeinginan menunjukkan etikat baiknya. Sebagai warga negara yang taat peraturan mengemudi di jalan raya.
Bertepuk sebelah tangan
Tak sepaham. Keinginan mereka bertepuk sebelah tangan, dengan cara pandang (perspektif) petugas kepolisan. Ketika itu, mereka mendapatkan stigma. Bahwa telinga mereka yang tidak mendengar, diklaim tidak cakap berkendara di jalan raya. Mereka pun distigma, akan membahayakan pengguna jalan raya, termasuk dirinya. Karenanya, perjuangan mendapatkan SIM gagal, sembilan tahun silam.
Kecewa, tentu saja. Hal tersebut disampaikan Laksmayshita dan Diki mewakili para Tuli Kota Yogyakarta. “Bagaimana pun, Tuli juga punya hak berkendara di jalan raya. Apakah untuk sekolah, bekerja, berjualan, dan aktivitas lainnya. Kalau kami tidak boleh berkendara sendiri. Tak adil, bagaimana kami bisa mandiri?” ujar keduanya kepada SoliderNews.com, Jumat (15/9).
Karenanya, mereka tak menyerah. Satu tahun kemudian (2015), advokasi kepada Polda DIY dilakukan serentak. Seluruh wilayah (empat kabupaten dan satu kota) melakukan audiensi dengan pendampingan Juru Bahasa Isyarat (JBI). Hasilnya, Tuli dikabulkan memperoleh SIM. Tetapi, mereka akan mendapatkan SIM D, bukan SIM C.
Sebagai catatan pemahaman. SIM D, adalah surat ijin mengemudi yang diperuntukkan khusus, bagi mereka yang melakukan modivikasi pada kendaraannya. Sementara, para Tuli tak satu pun yang kendaraannya dimodivikasi.
Kali ini, Tuli dari empat kabupaten menerima dengan keputusan Kapolda DIY. Tapi tidak dengan Tuli Kota Yogyakarta. Laksmayshita, ketika itu pertama kali menyatakan dirinya tidak setuju. Alasannya, kendaraannya roda dua. Jadi SIM bagi Tuli mestinya SIM C. Demikian seruan yang didukung oleh seluruh Tuli Kota Yogyakarta.
Karenanya, Tuli Kota Yogyakarta tidak berlanjut dengan mengajukan permohonan kepemilikian SIM. Bukti registrasi dan identifikasi yang dikeluarkan Polri kepada seseorang untuk berkendara, sesuai dengan jenis kendaraan bermotor yang dikemudikan.
Keadilan datang
Kini, keadilan itu telah datang. Tuli Kota Yogyakarta akhirnya lega dapat mengakses SIM C. Bahkan, kesemuanya mendapatkan perlakukan istimewa. Hari itu, Satlantas Polresta Yogyakarta memberikan SIM C tanpa biaya (gratis) kepada 13 Tuli Gerkatin Kota Yogyakarta.
Serangkaian perlakuan istimewa lainnya ialah, pengantaran menuju RS Bayangkara, untuk melakukan tes kesehatan. Selanjutnya mereka kembali diantar menuju Satlantas Polresta Yogyakarta untuk menjalani rekam sidik jari, rekam iris mata, pengukuran tinggi dan berat badan. Dilanjutkan dengan wawancara terkait golongan darah, usia, dan berbagai komponen pertanyaan lain terkait kepengurusan SIM. Mereka juga melaksanakan tahapan tes uji berkendara (praktik) di halaman kantor Polresta.
Pasca serangkaian persyaratan dan tes telah selesai dijalani. Seluruh Tuli (13 orang) pemohon SIM C, hari itu juga, membawa pulang hasil perjuangan mereka. Kini, mereka telah memiliki surat ijin berkendara di jalan raya. Lega dan bahagia memancar dari senyum, raut muka, serta gerak tubuh mereka.
Tak dianggap sebagai warga
Dulu, kata Ahmad. “Sebelum punya SIM, jika diberhentikan polisi untuk diperiksa kelengkapan berkendara, selalu saja bermasalah dengan ketidakpunyaan SIM. Namun begitu, tidak dikenai sanksi, hanya dinasehati. Enak gak enak”, kata Ahmad.
Lanjutnya, “Mau mengurus SIM, tidak bisa. Kena Razia dilepas karena petugas yang tidak paham bahasa isyarat Tuli. Aneh saja rasanya,” ujar pengelola Kastuli (kafe susu tuli) di Langenartan itu.
Afirmasi demikian, tak semua Tuli mengaku senang. Pembedaan perlakukan yang diterima, dirasa sebagai bagian menghilangkan hak. Mereka tidak sepenuhnya dianggap sebagai warga negara, hanya karena mereka yang Tuli. Kondisi inilah, yang menjadi semangat bagi 13 Tuli Kota Yogyakarta ini, terus berjuang, hingga mendapatkan hak dalam berkendara. Yaitu SIM C. []
Reporter: Harta Nining Wijaya
Editor : Ajiwan Arief