Search
en id

Gunakan fitur ACCESSIBILITY melalui tombol bagian kanan bawah sebagai preferensi untuk kenyamanan Anda.

Inilah Persoalan yang Sering Dihadapi oleh Difabel Mental yang Tinggal di Indonesia

Solidernews.com – Menjadi seorang difabel mental atau Orang Dengan Psikososial atau dalam bahasa Undang-Undang tentang Kesehatan Jiwa disebut Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) di Indonesia sangat berat. Mereka tak hanya menyandang stigma buruk dari masyarakat awam yang ditempelkan padanya sebagai seseorang yang sering dikatakan sebagai orang “gila”.

 

Mereka biasanya sudah tersingkir dari keluarga sejak mulanya, dengan cara dikirim ke panti. Atau yang paling buruk adalah dipasung, ditelantarkan  atau dibiarkan pergi begitu saja. Atau yang hidup di masyarakat akan mengalami alienisasi alias tak dianggap. Jangankan dipenuhi hak-hak asasinya, dianggap sebagai sesama manusia pun kadang tidak. Stigma diskriminasi tersebut sudah ada sejak mereka di dalam rumah, seperti tidak memperoleh hak-hak pengobatan dan pendidikan, serta hak dasarnya sebagai manusia.

 

Belum lagi ketika berbicara soal warisan. Banyak sekali kasus mereka tidak mendapatkan haknya. Di dalam naungan perkawinan yang dianggap sakral pun, sering kali ia menjadi objek untuk dijadikan penyebab perceraian atau laku selibat oleh pasangan. Ia dianggap tidak mampu menjalankan tugas sebagai istri atau suami.

 

Dalam sebuah webinar yang digelar oleh Nawakamal, Bagus Utomo, pendiri Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia (KPSI) menyampaikan banyak sekali persoalan yang melingkupi orang dengan disabilitas mental. Kendala geografis dan biaya transportasi masih menjadi hambatan utama mengakses layanan kesehatan.

 

Juga adanya kesulitan membawa difabel mental berobat karena mereka  tidak sadar dirinya sakit, padahal banyak rumah sakit mewajibkan  fingerprint bagi pasien berobat, sehingga mereka tidak bisa diwakilkan.

 

Alih-alih akses infrastruktur yang masih banyak bolong-bolongnya untuk  daerah di luar Jawa misalnya. Ambulance kegawatdaruratan saja mereka tidak punya padahal ada skema konsultasi sebulan sekali. Tentu ini akan menyulitkan mereka terlebih apabila caregiver (pendamping rawat) bekerja.

 

Berbicara tentang obat, banyak obat yang memadai atau obat generasi sekarang  tidak tersedia. Kalaupun ada, jumlah obat yang diberikan  kurang dari kebutuhan selama satu bulan. Pandemi COVID-19 memperparah kekurangan-kekurangan tersebut.

 

Berlibetnya masalah bertambah ketika difabel mental adalah orang  yang tidak mampu mengiur BPJS, tidak punya uang transport, tidak punya akses JKN-KIS, atau sebelumnya sudah punya tetapi  dinonaktifkan sepihak oleh pemerintah.

 

Maraknya aksi  nyinyir para netizen  membully difabel mental atau para content creator semata  pencari cuan demi follower naik, menambah penderitaan difabel mental.  Tayangan-tayangan itu misal nge-prank sebagai difabel mental atau penayangan video untuk suatu konten tanpa adanya consent. Benar-benar tidak ada perlindungan data pribadi  padahal di sisi lain misalnya di rumah sakit jiwa, Sudah ada aturan larangan mengambil gambar.

 

Sektor kesehatan pun tidak aman bagi mereka. Ada perawat puskesmas atau petugas kesehatan yang menstigma bahkan  sengaja  menjadikan pasien dan keluarga sebagai konten YouTube.

 

Peliknya masalah obat bagi pasien tidak hanya tentang obat yang baru. tetapi juga jenis misalnya belum tersedianya obat oral, tetes, atau suntikan bulanan yang memadai. Dari internal pasien ada yang menolak minum obat karena terkena stigma efek negatif obat akan merusak organ badan.

 

Lantas dengan dibangunnya banyak RSUD apakah  bisa memenuhi kebutuhan pasien difabel mental?  Kalaupun ada tenaga psikolog dan psikiater, di beberapa RSUD jumlahnya sangat minim. Dan tidak setiap puskesmas memiliki psikolog klinis dan psikiater.

Jadi sebegitu banyaknya problem yang dihadapi oleh difabel mental dan menjauhkan akses kesehatan yang layak bagi mereka. Lalu kira-kira apa yang bisa kita perbuat untuk tidak hanya berhenti kepada rasa kasihan tetapi ada aksi nyata. Bagi masyarakat awam, tidak menjadikan mereka sebagai objek lelucon dan korban perundungan  itu sudah termasuk baik. Kalau ingin lebih berarti pagi, beri dukungan pengobatan, bikin support system, didik masyarakat agar sadar dan peduli tentang kesehatan jiwa.

Kemudian apa yang bisa dilakukan oleh negara? Bikin inisiasi adanya pekerja sosial untuk mendampingi difabel mental yang tidak punya keluarga. Support mereka yang tidak bisa pergi berobat dengan mengantarnya lalu memastikannya minum obat.  Pemerintah bisa melakukan pelatihan-pelatihan hard dan soft  skill  juga sekaligus menyediakan lapangan kerja dan masih banyak lagi.[]

 

Reporter: Astuti Parengkuh

Editor     : Ajiwan

 

Bagikan artikel ini :

TULIS KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT

BERITA :

Berisi tentang informasi terkini, peristiwa, atau aktivitas pergerakan difabel di seluruh penjuru tanah air