Views: 14
SoliderNews.com, Yogyakarta – Penyandang disabilitas atau difabel, kerap mengalami eksklusi sosial karena tindakan “menyembunyikan”, yang dilakukan oleh keluarga, dari masyarakat sekitar. Hal ini biasanya terjadi, karena kuatnya stigma masyarakat terhadap difabel. Sebagai contoh, difabel dianggapa memiliki kekurangan, atau difabilitasan adalah aib dan kutukan.
Tindakan menyembunyikan, buntutnya akan berimbas pada difabel tidak terdata dalam data kependudukan. Akibatnya, para difabel tidak dapat mengakses layanan kesehatan, pendidikan, jaminan sosial yang disediakan negara.
Human Rights Watch 2016, dalam laporannya menunjukkan fenomena tindakan menyembunyikan difabel, lebih banyak terjadi di desa-desa. Mereka hampir tidak pernah dilibatkan dalam proses-proses penting di desa. Penganggaran, satu di antaranya.
Seringkali timbul pemahaman, bahwa tindakan menyembunyikan atau mengurung anggota keluarga yang difabel, adalah tindakan diskriminatif. Tindakan kejam yang dilakukan oleh keluarga.
Namun, tidak dengan hasil riset tentang desa inklusif dan advokasi penyandang disabilitas di Desa Jatirejo, Kecamatan Lendah, Kabupaten Kulon Progo pada September 2022. Hasil riset menunjukkan bahwa, penyembunyian atau tindakan menyembunyikan difabel oleh keluarganya, tidak selalu karena alasan malu dan dianggap aib.
Desa ini unik. Karena menjadi salah satu pilot Desa Inklusif terhadap difabel di Indonesia. Menurut data Sigab Indonesia 2017, jumlah difabel di Desa Jatirejo mencapai 187 orang. Terdiri dari difabel fisik serta difabel mental dan intelektual atau psikososial.
Sebagian besar masyarakat di Jatirejo, justru memilih menyembunyikan keluarga mereka yang difabel, demi alasan perlindungan dan keamanan. Sebuah alasan yang sesungguhnya sangat masuk akal, di tengah stigma yang masih kokoh berdiri.
Desa dan ekslusi sosial
Data dari hasil wawancara terhadap 7 individu dengan profil sebagai aktivis inklusi sosial, warga setempat, bahkan hingga anggota maupun pengurus Kelompok Difabel Desa (KDD) di Desa Jatirejo, Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta, pada September 2022, memberikan sudut pandang baru terkait bagaimana masyarakat desa melihat keadaan difabel di desa tersebut.
Terhadap difabel mental dan intelektual, yaitu orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) dan down syndrome, terungkap bahwa sebagian besar warga berusaha menjaga anggota keluarganya yang difabel, dengan tetap di dalam rumah. Hal ini dilakukan justru untuk melindungi dan demi keamanan bersama (masyarakat sekitar dan difabel) itu sendiri. Sebab, seringkali difabel mental mengamuk dan bertindak yang dapat membahayakan warga sekitar.
“Sebenarnya, kalau dari kita sendiri, kita berusaha melindungi mereka. Kebanyakan dari mereka itu difabel yang ODGJ, jadi mereka disembunyikan biar tidak meresahkan masyarakat. Sebab, terkadang mereka merusak dan mengamuk. Anak down syndrome juga begitu. Agar aman, mereka di rumah saja dirawat keluarganya”, kata salah satu responden penelitian.
Masyarakat menggarisbawahi bahwa “penyembunyian” tersebut dilakukan hanya kepada difabel mental dan intelektual atau psikososial. Orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) dalam hal ini.
Dari wawancara juga ditemukan fakta, bahwa masyarakat Desa Jatirejo sepakat bahwa difabel mental sepenuhnya tanggungan keluarga. Dengan demikian, masyarakat sekitar cenderung tidak akan mengusik mereka. Demi membangun dan mempertahankan interaksi sosial yang baik di desa.
Terkait bantuan sosial, warga mengungkapkan bahwa, aspirasi dan kebutuhan difabel sudah disampaikan kepada pemerintah, melalui pemangku kepentingan di desa. Ketua RT (rukun tetangga) satu di antaranya.
Warga pun meyakini, cara mereka menyembunyikan difabel, adalah cara terbaik yang bisa mereka lakukan. Sementara, bagi difabel fisik, masyarakat Desa Jatirejo mengaku masih menerima. Membiarkannya tetap beraktivitas di luar rumah. Di sekolah umum pun, difabel fisik diterima dengan baik. Mereka tidak mendapatkan perlakuan diskriminatif. Apakah berupa ejekan atau perundungan dari teman-temannya.
Memahami eksklusi sosial
Sejauh ini masih banyak literatur yang gagal memahami eksklusi sosial secara konteks yang particular. Karena cenderung menekankan bahwa penyembunyian tersebut diskriminatif. Memang masih ada praktik yang mengarah pada diskriminasi, tapi tidak semuanya. Untuk itu, mencatatkan pandangan masyarakat non-difabel yang hidup bersama-sama keluarga difabel, perlu dilakukan.
Selain itu, tak seutuhnya praktik negara-negara Barat dapat diberlakukan di negara belahan Timur. Di beberapa negara Barat, Australia salah satunya. Pemenuhan hak bagi warga difabel sudah dilakukan oleh negara. Karena secara ekonomi dan kultur, negara tersebut sudah kuat. Karenanya para difabel bisa mandiri. Mereka disediakan kendaraan khusus sebagai sarana transportasi. Demikian pula dengan fasilitas publik yang sangat ramah bagi difabel.
Tidak demikian di negara belahan Timur. Pemenuhan hak warga difabel masih lemah. Karenanya, mau tidak mau, difabel bergantung pada keluarganya. Mayoritas dari mereka hanya bisa mengakses hak-hak dan kebutuhannya melalui jejaring keluarga dan dengan bantuan keluarganya.
Pun jika keluarganya memilih untuk menyembunyikan mereka karena alasan keamanan dan perlindungan yang bisa diterima, hal itu tidak selalu disalahkan. Keluarganya barangkali tidak punya pilihan lain untuk dapat melindungi mereka.
Pola ketergantungan inilah yang sebenarnya tampak seperti eksklusi sosial. Penyebabnya, kembali lagi, negara belum mampu mengakomodasi kebutuhan mereka.
Minimnya perlindungan sosial bagi difabel disebabkan oleh absennya data jumlah difabel. Di sisi lain, pemerintah kurang mampu menjangkau warganya yang masuk kategori difabel, karena lemahnya sistem pendataan.
Selain meningkatkan infrastruktur yang ramah difabel, pemerintah perlu membangun sinergitas antara pemerintah nasional, daerah, bahkan hingga tingkat RT dan RW. Hal ini sangat penting untuk memastikan keluarga dengan keluarganya yang difabel, terdaftar dalam skema perlindungan sosial pemerintah.[]
Reporter: Harta Nining Wijaya
Editor : Ajiwan Arief