Search
en id

Gunakan fitur ACCESSIBILITY melalui tombol bagian kanan bawah sebagai preferensi untuk kenyamanan Anda.

Dunia Kesehatan Mental yang Tidak Baik-Baik Saja dalam Film Sleep Call

Solidernews.com – Isu kesehatan mental selalu menarik untuk dijadikan tema dalam sebuah cerita film. Namun untuk mengaitkannya dengan isu faktual yang kontekstual saat ini amatlah sulit. Tapi tentu tidak bagi Fajar Nugros, sutradara Sleep Call yang saat ini sedang tayang di bioskop. Ia demikian indah memadukan cerita dan gambar-gambar bernuansa suram.

 

Dina diperankan sangat apik oleh Laura Basuki, seorang  anak perempuan tunggal berlabel  generasi Sandwich, bertanggung jawab sepenuhnya bagi semua kebutuhan rumah tangga termasuk ibunya yang skizofrenia dan harus dirawat  di panti. Ia terjerat pinjol di kantornya yang bergerak di usaha pinjol kemudian terjerat dalam hubungan asmara tak setara dengan bosnya. Kekerasan demi kekerasan ia alami.

 

Kompleksitas problem  yang dialami Dina, ditambah rasa kesepian karena kehilangan sahabat yang juga teman kantor sudah terlalu sibuk dengan urusan keluarganya lalu menggiring pada adiksi pertemanan maya lewat aplikasi Sleep Call. Ia berteman dengan Rama yang memberikan ruang dan waktu bersama dalam dunia mereka sendiri. Dunia yang diyakini oleh Dina penuh dengan keindahan bunga-bunga dan canda tawa. Dunia yang kemudian membuka fakta bahwa ada sisi-sisi halusinasi ada padanya.

 

Memang benar, jika dikatakan bahwa kita tidak boleh main-main dengan inner child, apalagi trauma masa kecil itu akan terus dibawa sampai akhir hayat. Tanpa pertolongan dan penanganan yang benar dan tepat dari para ahli, maka ia menjadi liar seperti digambarkan pada film fiksi ini.

 

Film yang sesungguhnya berkategori drama thriller karena tidak saja alur cerita yang sulit ditebak namun gambar-gambar adegan tragis bisa menjadi pemicu bagi seorang penyintas yang pernah menjadi korban kekerasan.

 

Sepertinya perlu label trigger warning sebelum menonton film ini. Apalagi ada adegan bunuh diri dari seorang nasabah pinjol yang berputus asa dengan hidupnya. Cerita yang mengiringi kisah Pak Iwan, si peminjam pinjol ini sangat berkaitan dengan dunia nyata saat ini. Betapa sering kita baca atau tonton berita terkait, laku kriminalitas berujung kejahatan serta perbuatan bunuh diri berlatar belakang soal pinjol.

 

Bertahun-tahun Dina di masa kanak-kanak mengalami kekerasan dalam rumah tangga, juga ibunya, memendam dendam yang tak kentara. Lalu ada adegan saat ia memegang pisau berlumuran darah, siapa atau apa yang ia bunuh saat itu menjadi misteri. Kucing peliharaankah?

 

Belum lagi harapan atau cita-cita yang digantungkan oleh ibunya agar ia bisa menjadi seorang pramugari. Namun apa yang terjadi? Dina hanyalah seorang pekerja di perusahaan pinjol yang setiap hari dipaksa oleh atasan untuk memiliki dua karakter : manis sekaligus marah.

 

Maka ketika ‘lakon yang dijalaninya dengan ‘baik’ telah selesai, adegan miris sekaligus menguras air mata adalah saat dirinya mengenakan setelah seragam pramugari berikut atribut topi serta benda yang melekat padanya yakni koper, berjalan dengan tegap menuju panti rehabilitasi mental dimana ibunya tinggal. Sungguh ini suatu adegan kontradiktif dan bisa jadi sangat nyata di depan mata. Tak kalah mirisnya saat sang ibu mengucapkan kalimat seperti ini, “Dina juga minum obat seperti ibu?”[]

 

Penulis: Astuti Parengkuh

Editor         : Ajiwan Arief

 

Bagikan artikel ini :

TULIS KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT

BERITA :

Berisi tentang informasi terkini, peristiwa, atau aktivitas pergerakan difabel di seluruh penjuru tanah air