Views: 22
Solidernews.com – Masyarakat difabel dan perdagangan orang atau ‘Human Trafficking’ ternyata memiliki irisan yang kuat. Di Indonesia kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) masih dinilai sangat tinggi, begitu pula di negara-negara ASEAN. Kasus perdagangan manusia ini termasuk jenis kejahatan transnasional.
Perdagangan manusia adalah perekrutan, pengangkutan, pemindahan, penyembunyian maupun penerimaan orang dengan paksa atau penipuan yang bertujuan untuk memanfaatkan mereka guna mendapatkan keuntungan.
Dalam hukum pidana Indonesia ada berbagai ketentuan yang mengatur permasalahan perdagangan manusia, salah satunya termasuk dalam kategori tindak pidana kasus.
Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) diatur dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, yang secara singkat menyebutkan: ‘(1) Pemerintah, Pemerintah Daerah, masyarakat, dan keluarga wajib mencegah terjadinya tindak pidana perdagangan orang. (2) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib membuat kebijakan, program, kegiatan dan mengalokasikan anggaran untuk melaksanakan pencegahan dan penanganan masalah perdagangan orang.’
Menjajaki irisan antara difabel dan perdagangan orang
Beberapa fakta yang memungkinkan masyarakat difabel menjadi sangat rentan terkena perdagangan orang antara lain yaitu: ‘(1) Tingkat ekonomi mereka yang masih rendah. (2) Akses pendidikan masih sulit sehingga menghambat pengetahuan. (3) Kondisi masyarakat difabel membuat ketentanan semakin tinggi. (4) Akses terhadap pekerjaan yang layak belum terakomodir dengan baik.’
Dante Rigmalia, Ketua Komisi Nasional Disabilitas (KND) yang mengkuti kegiatan lokakarya validasi studi tentang perdagangan orang di kawasan ASEAN (23/10) menyampaikan, ada irisan antara difabel dan perdagangan orang.
“Dampak perdagangan orang dan relasinya dengan disabilitas cukup erat, tentu kita harus cegah ini terjadi lebih banyak lagi korban. Kami bersama Kementerian/LNHAM lain bersinergi untuk pencegahan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) ” papar ia.
Sebagai contoh ia memberikan gambaran data pekerja migran yang mengalami eksploitasi untuk mengukur tingkat perdagangan orang yang melibatkan difabel. Meskipun data tentang korban yang teridentifikasi tidak memungkinkan pengukuran yang akurat tentang tingkat perdagangan orang yang melibatkan masyarakat difabel, namun ada kemungkinan untuk menarik beberapa kesimpulan tentang potensi ukuran masalah dari data tersebut.
Di negara Filipina, ada 12% pekerja migran yang alami kekerasan fisik. 1,3% lainnya pernah mengalami pelecehan atau kekerasan seksual. Di Kamboja, Thailand dan Vietnam, 47,4% dari 1.015 orang mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual selama mereka mengalami tindak pidana perdagangan orang.
Sedangkan di Indonesia 70% korban perdagangan orang mengalami kekerasan psikologis, termasuk penghinaan, ancaman, intimidasi, pelecehan verbal, pemenjaraan, penahanan makanan atau kebutuhan dasar lainnya, atau kurang tidur secara paksa, dan hal ini sering kali terjadi bersamaan dengan kekerasan fisik dan seksual.
Jenis praktik perdagangan orang dan dampaknya
Beberapa gambaran jenis praktik perdagangan orang yang terjadi pada difabel di kawasan Asean: (1) Di Indonesia, perempuan dengan kedifabelan intelektual untuk dijadikan pekerja seks. (2) Kasus-kasus perempan dan anak perempuan dengan gangguan pendengaran dari negara Laos dan Myanmar yang ditipu menjadi pekerja seks oleh anggota keluarga mereka yang menjanjikan pekerjaan di Thailand. (3) Di Filipina, bentuk perdagangan orang yang paling umum yang disebutkan oleh orang yang diwawancarai adalah eksploitasi seksual online terhadap anak-anak dengan kedifabelan. (4) Di Thailand, perusahaan mempekerjakan orang dengan kedifabelan untuk mendapatkan tunjangan pajak, namun tidak membayar upah yang layak pada difabel itu sendiri.
Dampak perdagangan orang di negara-negara Asean seperti Thailand, Kamboja, Vietnam adalah masyarakat yang alami defresi dan keinginan untuk bunuh diri menjadi sangat tinggi, kondisi ini juga telah didokumentasikasikan di antara para korban perdagangan orang.
Untuk di Filipina dan Indonesia menunjukan para responden yang diwawancarai menyorot dampak perdagangan orang terhadap kesehatan mental. Hal ini mencakup kasus-kasus para korban perdangangan orang yang alami depresi dan kondisi psikologis lainnya sebagai akibat dari pengalaman mereka sebagai korban perdagangan orang.
Bahkan di Filipina menggarisbawahi dampak signifikan dari perdagangan orang terhadap kesehatan mental anak-anak, dengan anak-anak yang menunjukan gejala trauma seperti depresi, pikiran bunuh diri atau masalah perilaku.
Payung hukum yang bersifat komprehensif dan sejalan dengan UNCRPD
Dalam merespon fenomena tersebut, hanya ada dua Undang-Undang dari dua negara yang bersifat komprehensif dan sejalan dengan UNCRPD atau Konvensi PBB mengenai hak-hak penyandang disabilitas, yaitu Filipina dan Indonesia.
Di Filipina ada Republic Act Nomor 11930 Tahun 2022 tentang kekerasan dan eksploitasi seksual. Undang-Undang yang menghukum pelanggaran seksual online terhadap eksploitasi anak, menghukum produksi, distribusi, kepemilikan dan akses materi penyelesaian seksual anak atau materi ekspliotasi. Perubahan Undang-Undang Republik Nomor 9160, atau dikenal sebagai ‘Undang-Undang anti pencucian uang tahun 2001’ sebagai perubahan dan pencabutan Undang-Undang Republik Nomor 997, atau dikenal sebagai ‘Undang-Undang pornografi anti anak tahun 2009.’
Di Indonesia ada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022. Undang-Undang ini mengatur mengenai pencegahan segala bentuk tindak pidana kekerasan seksual, mulai dari penanganan, pelindungan, dan pemulihan hak korban. Koordinasi antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Dan kerja sama internasional agar pencegahan dan penanganan korban kekerasan seksual dapat terlaksana dengan efektif.[]
Reporter: Sri Hartanty
Editor : Ajiwan