Views: 46
Solidernews.com, Yogyakarta – Ketidaksadaran kolektif, seringkali berimplikasi pada sikap menerima, tak peduli, menganggap hal biasa, alias tidak kritis. Sikap-sikap sebagaimana disebutkan, terjadi pada fakta di lapangan. Bahwa, lulusan Sekolah Menengah Atas Luar Biasa (SMA-LB), tidak pernah tercantum sebagai syarat penerimaan karyawan atau pegawai. Kondisi ini tidak ada yang bertanya, meresahkannya, apalagi meributkannya.
Mereka, para lulusan SMA-LB tak pernah laku di bursa lapangan kerja. Sementara, ijazah SMALB juga diterbitkan oleh Kemendikbud. Sama halnya dengan ijazah lulusan sekolah umum (SMA dan SMK). Tapi, tak satupun pencari tenaga kerja, yang membuka lowongan pekerjaan bagi para lulusan SMA-LB.
Ironis, ketika mereka lulus sekolah, tetapi ijazah mereka tidak laku. Lantas apa tujuan SLB didirikan. Untuk memandirikan siswanya? Sehingga para lulusannya memiliki usaha pribadi? Hal ini tak dijumpai di dalam fakta kehidupan. Yang ada, nasib para lulusan SMA-LB dilupakan dan diabaikan. Pasca lulus sekolah, mereka tetap menjadi beban keluarga. Kondisi demikian, tak bisa dianggap lumrah apalagi dibenarkan. Mengapa?
Undang-undang No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Diabilitas telah mengatur, hak atas pekerjaan bagi penyandang disabilitas. Bagian empat tentang pekerjaan, mengatur kuota 1 persen penyandang disabilitas pada perusahaan swasta, 2 persen perusahaan negara.
Baru menyadari
Dalam sebuah wawancara, seorang pensiunan guru mengaku bangga dan bahagia ketika anak didiknya berhasil mencapai kehidupan mandiri. Apakah dengan bekerja pada instansi tertentu, atau menjadi pengusaha (entrepreneur). Bu Harni, nama panggilan guru itu. Seorang guru pensiunan SMA Negeri di Kota Yogyakarta. Dia akan merasa tak berhasil mendidik muridnya, ketika mendapati anak didiknya yang tidak bekerja.
Mendapati pernyataan solidernews.com terkait ijazah SMA-LB yang tidak laku di bursa lapangan kerja, dia mengaku terkejut. Dia tidak menyadari fakta diskriminatif itu. Sementara, dia memiliki keponakan lulusan SMA-LB, yang setelah lulus puluhan tahun silam, benar saja tidak bekerja. Bagus, nama keponakannya, adalah difabel intelektual lulusan SLB Negeri terbesar di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Bagus yang tidak bekerja, dianggapnya karena dia yang tidak bisa bekerja. Tidak berpikir, bahwa lulusan SMA-LB, tak pernah menjadi salah satu persyaratan saat rekrutmen tenaga kerja oleh perusahaan.
Mengetahui kenyataan ijazah SMA-LB yang tidak laku di bursa kerja, Bu Harni mengatakan harus ada solusi, atas kondisi itu. Kerja sama komprehensif dengan banyak pihak, seyogyanya dibangun. “Harus ada solusinya, ini soal kemanusiaan. Bagaimana pun anak-anak itu harus bisa mandiri, dengan cara mereka masing-masing. Untuk itu dibutuhkan kesempatan, dibutuhkan keberpihakan,” ujarnya.
Pun demikian dengan orang tua Bagus, yang bernama Bu Sri. Menerima kenyataan bahwa anaknya tidak bekerja, selama ini dianggapnya hal lumrah. Putra bungsunya sudah hampir 20 tahun lulus SMA-LB. Hingga usianya kini 40 tahun, si bungsu menjadi tanggungannya.
Namun begitu, keresahan tetap ada di pikiran Bu Sri. Yaitu, siapa yang akan menjadi tempat berlindung Bagus, ketika dia dan suaminya tak lagi bisa eksis. Tak lagi bisa menjadii tumpuan hidup putra bungsunya.
Benar, kata Bu Sri. Ini adalah permasalahan besar, permasalahan diskriminatif, sekaligus permasalahan kemanusiaan. “Sebenarnya lulus sekolah anak saya juga belum mandiri. Tapi wong sudah diluluskan, ya sudah. Jadi sekolah itu ya untuk mencari teman. Tapi setelah di rumah ya belum bisa apa-apa, tidak mandiri,” terang Bu Sri.
Kini baru disadari oleh mereka. Campur tangan banyak pihak untuk memberikan solusi atas permasalahan di atas, dibutuhkan. Kesetaraan hak dan kesamaan kesempatan harus muncul dari para pencari tenaga kerja (perusahaan)[].
Reporter: Harta Nining Wijaya
Editor : Ajiwan