Views: 49
Solidernews.com – Bagi banyak komunitas difabel, media tidak sakadar alat komunikasi. Ia bisa menjadi sarana advokasi, bahkan jembatan menuju perubahan sosial. Dalam dunia yang terus bergerak cepat di bawah arus informasi, siapa yang punya akses terhadap media, dia punya peluang untuk membentuk opini publik, dan disitulah para aktivis difabel melihat harapan.
Media komunitas seperti Solidernews telah lama memainkan peran penting dalam membangun narasi inklusif dari bawah. Namun Robandi, redaktur solidernews.com sadar bahwa perjuangan tak bisa berhenti di lingkaran sendiri. “ Kolaborasi dengan media arus utama jadi kunci agar isu-isu difabel tak hanya jadi wacana internal,” ujarnya.
Cheta Nilawaty, difabel netra, jurnalis senior di Tempo, sering menerima rilis dari komunitas yang belum memenuhi standar jurnalisme faktual. “Banyak yang terlalu emosional, atau pakai jargon organisasi yang sulit dimengerti publik,” ungkapnya. Cheta menekankan pentingnya pendekatan profesional dalam menulis, agar media arus utama bisa mengangkat isu difabel dengan serius.
Menurut Cheta, isu difabel punya potensi besar untuk dikaitkan dengan agenda publik. Ia mencontohkan bagaimana program Makan Bergizi Gratis (MBG) bisa dikaitkan dengan kebutuhan nutrisi difabel sebagai entry point (red_titik masuk) berita. “Ini soal bagaimana kita membungkus isu difabel agar relevan, bukan hanya menyentuh, tapi juga masuk akal bagi pembaca luas,” tegasnya.
Salah satu tantangan terbesar dalam pemberitaan difabel di media arus utama adalah kecenderungan jatuh ke dalam narasi (red_belas kasihan) —kisah haru biru tentang ‘penderitaan’ difabel yang dibantu oleh pihak dermawan. Meski menarik simpati, narasi ini sering kali merendahkan martabat difabel dan mengaburkan perjuangan mereka untuk kesetaraan.
“Sudah saatnya kita tinggalkan narasi kasihan,” tegas Cheta. Ia mengajak media—baik komunitas maupun arus utama—untuk menyusun narasi yang setara, berbasis hak, dan berdampak advokatif.
Isu difabel di media arus utama saat ini masih sering terbatas pada empat kategori: kesejahteraan sosial, olahraga (khususnya difabel berprestasi), kesehatan (dengan pendekatan medis), dan kegiatan amal. Di luar itu, banyak isu penting seperti aksesibilitas, pendidikan inklusif, atau hak politik difabel masih jarang mendapat ruang.
Sementara media cetak dan televisi masih jadi rujukan resmi, para aktivis difabel juga mulai menguasai ruang baru: media sosial. Di Papua, Roby Nyong, difabel fisik, Ketua PPDFI (Perkumpulan Disabilitas Fisik Indonesia) cabang Jayapura, memanfaatkan media seperti Jubi, Papua Pos, dan Cenderawasih Pos untuk mengangkat isu difabel. Namun, ia mengakui bahwa media daring jauh lebih efektif dalam menjangkau audiens yang luas.
“Di Jayapura, Papua biasanya ada beberapa media yang kita biasa gunakan untuk advokasi. Jadi itu adalah sarana advokasi yang efektif karena jangkauannya luas dan cepat karena merupakan media daring. Media daring memungkinkan siapa pun membaca berita, berbeda dengan media cetak yang terbatas pada kalangan tertentu,” katanya.
Sementara itu, Ratna Dewi Basril, difabel psikososial, ketua Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS) cabang jakarta mengandalkan media sosial, blog, dan website untuk advokasi difabel psikososial. Ia menjelaskan bahwa media sosial menawarkan keunggulan dalam jangkauan, kecepatan, dan interaktivitas.
Menurutnya, pemilihan media ini bukan tanpa alasan. Ia mengatakan bahwa informasi tentang difabel psikososial bisa menyebar dengan lebih luas dan cepat melalui platform-platform tersebut. “Facebook dan Instagram juga memungkinkan kami berinteraksi langsung dengan komunitas, keluarga, bahkan masyarakat umum,” tambahnya.
Tak hanya itu, kekuatan storytelling (red_bercerita) lewat video YouTube atau artikel di blog dan website membuat pesan advokasi lebih menyentuh karena menyuarakan pengalaman nyata para difabel psikososial. Dalam pernyataannya, Ratna juga menekankan pentingnya legitimasi dari publikasi di media online, yang menurutnya membantu mendorong isu-isu yang diangkat PJS agar diperhatikan pemangku kebijakan.
Website PJS sendiri difungsikan sebagai pusat informasi dan dokumentasi yang bisa diakses kapan saja. “Kami ingin memastikan masyarakat dan difabel psikososial selalu punya tempat rujukan informasi yang terpercaya,” jelasnya.
Media sosial, bagi PJS, bukan hanya alat komunikasi, tetapi juga ruang perjuangan. Ratna menyebut bahwa platform-platform ini telah membantu meningkatkan kesadaran publik tentang hak difabel psikososial, sekaligus menyediakan ruang representasi agar mereka bisa bersuara dan didengar.
Begitu pula Sofyan Sukmana, difabel netra, founder Lentera Rumah Inklusif, memanfaatkan berbagai platform media sosial, seperti YouTube, TikTok, dan Instagram sebagai sarana penyebaran pelatihan TIK dan bahasa asing bagi difabel netra.
“Media sosial membuat jangkauan advokasi lebih luas, biaya lebih efisien, dan publikasi jadi lebih mudah,” katanya.
Peran media dalam advokasi difabel bukan sekadar soal menyuarakan, tapi juga soal membangun narasi yang inklusif, kritis, dan strategis. Media komunitas memberikan ruang representasi yang otentik, sementara media arus utama memiliki daya jangkau dan legitimasi yang luas.
Dalam dunia yang terus terhubung, suara difabel tidak boleh lagi berada di pinggiran. Lewat media, suara itu bisa menjadi kekuatan untuk perubahan.[]
Reporter: Tri Rizki
Editor : Ajiwan