Views: 34
Solidernews.com – Di tengah tantangan kompleks yang dihadapi mahasiswa difabel, sejumlah universitas di dunia terus bergerak menuju sistem pendidikan tinggi yang lebih inklusif dan manusiawi. Dua institusi yang bisa menjadi contoh nyata adalah University of Exeter di Inggris dan Universitas Brawijaya di Indonesia. Meski berasal dari dua konteks yang berbeda, keduanya menunjukkan komitmen yang sama, yaitu untuk membangun lingkungan belajar yang mendukung, setara, dan memberdayakan.
University of Exeter: Membangun Sistem Dukungan yang Terintegrasi
Jessica Rourke, Wellbeing Operations Manager (red_ Manajer Operasi bidang Kesejahteraan)
di University of Exeter, menggambarkan bagaimana universitasnya telah membangun sistem dukungan difabel yang tidak hanya responsif, tetapi juga terintegrasi secara menyeluruh dengan layanan kesejahteraan kampus.
Dengan lebih dari 8.600 mahasiswa difabel yang menikmati layanan kesejahteraan dari total populasi 30.000 mahasiswa, University of Exeter mengoperasikan dukungan 7 hari seminggu dari pukul 9 pagi hingga 9 malam. Akses layanan diberikan dalam berbagai format, mulai dari tatap muka, telepon, hingga daring, semuanya dirancang untuk memudahkan mahasiswa dalam mencari sejumlah dukungan.
Rourke menekankan bahwa dukungan yang diberikan bersifat holistik, mencakup penyesuaian akademik, seperti waktu ujian tambahan atau rencana pembelajaran (individual), penyesuaian fisik, lokasi akomodasi, kebutuhan sensorik, hingga dukungan sosial dan kesehatan mental.
Namun, tantangan tetap ada. Jumlah mahasiswa yang mengidentifikasi diri memiliki difabel terus meningkat, dan beban akademisi pun bertambah seiring dengan kebutuhan penyesuaian yang semakin kompleks. Meskipun demikian, semangat kolaboratif lintas tim dan masukan dari mahasiswa menjadi fondasi kuat untuk terus menyempurnakan sistem yang ada.
Rachel Griffith, seorang senior educator developer (red_pengembang bidang Pendidikan senior) di Exeter, memperkenalkan pendekatan yang lebih dalam berupa Transformative Education Framework (kerangka Pendidikan yang transpormatif). Kerangka ini bukan hanya soal menyediakan akses, tetapi juga mengubah budaya pendidikan itu sendiri agar lebih empatik dan menyeluruh.
Menurut Griffith, mahasiswa difabel sering kali harus memperjuangkan haknya sendiri, termasuk penyesuaian akademik. Ini menciptakan beban administratif dan emosional yang tidak seharusnya mereka tanggung.
Sebagai respons, Exeter mengadopsi komitmen mahasiswa difabel, sebuah kerangka kerja nasional yang menekankan dukungan holistik dari pendaftaran hingga dunia kerja. Fokus utama adalah konsistensi, kejelasan komunikasi, dan pengakuan atas kompleksitas identitas ganda seperti difabel, ras, dan kelas sosial.
Tantangan internal, seperti komunikasi yang buruk antar unit, ketidaktahuan terhadap kewajiban hukum, dan berbagai tingkatan proses, diakui secara terbuka. Sebagai solusi, Exeter mengembangkan beberapa inisiatif konkret seperti membuat standar minimum inklusi dalam setiap modul, pernyataan aksesibilitas modul untuk transparansi di awal semester., pelatihan pengajar agar siap menghadapi kebutuhan inklusif dan komunikasi yang lebih baik. Menurut Exeter, transformasi ini bukan hasil kerja satu unit saja, tetapi kolaborasi antara akademisi, staf layanan difabel, hingga pimpinan universitas. Inklusi bukan sekadar kebijakan, tetapi harus menjadi bagian dari jantung institusi.
Universitas Brawijaya: Menjadi Pelopor Inklusi di Indonesia
Sementara itu, Universitas Brawijaya (UB) juga telah menunjukkan langkah progresif dalam membangun kampus inklusif. Dr. Zubaidah Ningsih AS., Ketua Pusat Layanan Difabel UB, menjelaskan bahwa universitas ini telah merancang kebijakan internal dengan membentuk unit layanan difabel, serta menyediakan jalur seleksi mandiri khusus bagi calon mahasiswa difabel.
Ningsih melanjutkan bahwa UB juga menekankan pembangunan budaya kampus yang inklusif melalui pelatihan dosen, kolaborasi mahasiswa, serta integrasi isu difabel ke dalam kurikulum. Layanan yang diberikan sangat komprehensif, mulai dari pendampingan akademik melalui notetaker dan interpreter, tutorial penggunaan teknologi bantu, hingga layanan mobilitas seperti kendaraan kampus untuk mahasiswa difabel.
Selain itu, UB juga telah mengembangkan platform daring BRONE yang ramah bagi mahasiswa tuli, serta aplikasi internal Enabling untuk manajemen layanan difabel.
Data menunjukkan bahwa UB memiliki sekitar 150 mahasiswa difabel aktif dari total 70.000 mahasiswa. Meski jumlahnya kecil secara proporsional, UB tetap serius dalam mengembangkan sistem yang bisa mengakomodasi seluruh ragam difabel, baik yang terlihat maupun yang tidak tampak.
Ningsih menambahkan bahwa UB tak hanya fokus pada pelayanan, namun juga mendorong riset dan pengabdian masyarakat bertema difabel, serta memfasilitasi partisipasi mahasiswa dalam kegiatan kampus secara setara, termasuk dalam organisasi dan kegiatan keagamaan.
Fajrin Syam, difabel netra, alumnus Universitas Brawijaya menambahkan bahwa peningkatan inklusivitas di kampusnya sangat terasa terutama ketika ia diwisuda tahun ini.
“Saat wisuda, kampus menyediakan juru bahasa isyarat dan menawarkan opsi rektor/dekan yang menghampiri wisudawan disabilitas. Kampus juga menyediakan fotografer. Selain itu, masjid kampus juga menyediakan juru bahasa isyarat dan ruang bermain anak, menunjukkan komitmen inklusif yang tinggi,” ujarnya.
Kebaikan serupa juga dirasakan Sadam Azar, mahasiswa difabel netra dari Universitas Brawijaya. Ia menyampaikan bahwa dukungan dari relawan (volunteer) sangat membantu dalam perkuliahan sehari-hari di lingkungan kampus.
“Jadi kalau kami perlu ke suatu tempat, terutama di area kampus, selalu ada volunteer yang siap membantu,” ujar Sadam saat diwawancarai Solidernews pada Jumat, 3 Oktober 2025.
Ia menambahkan, volunteer juga sangat berperan dalam proses pembelajaran, terutama yang bersifat visual. “Mereka bisa menjelaskan hal-hal yang tidak bisa kami akses secara langsung dan memformat tulisan,” katanya.
Selain dukungan volunteer, Sadam menjelaskan adanya program tutor yang disediakan oleh Pusat Layanan Disabilitas (PLD). Ia mengaku bahwa sebelumnya ia memiliki hambatan dalam penggunaan teknologi. Namun, lewat program tutor tersebut, ia dapat melaporkan kendala ke PLD, dan pihak PLD mencarikan mahasiswa senior yang kompeten untuk mendampinginya.
Namun, Sadam juga menyoroti masih kurangnya fasilitas yang ramah difabel netra, baik di kampus maupun di lingkungan sekitar. Ia mencontohkan masih banyak tempat yang belum memiliki guiding block, dan bahkan jika ada, penempatannya sering kali tidak tepat. “Contoh kecilnya di trotoar, guiding block-nya malah mengarah ke pohon,” keluhnya.
Menurut Sadam, kondisi serupa juga terjadi di kampusnya. Ia membandingkan dengan FISIP (Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik) yang telah memiliki guiding block di dalam ruangan, sehingga memudahkan navigasi ke ruangan-ruangan tertentu. Sementara di fakultasnya sendiri, belum ada guiding block di dalam ruangan, sehingga cukup menyulitkan.
Sadam juga menyoroti kurangnya aksesibilitas lift di kampus meskipun sudah dilengkapi tombol Braille. Ia mengusulkan penambahan suara pada lift untuk membantu difabel netra mengetahui posisi lift.
“Jadi, kita tahu nih Kalau lift nya ini Sudah ada di lantai 3, lantai 4 atau lantai 5 Gitu,” katanya. Ia berharap pihak kampus lebih memperhatikan kebutuhan aksesibilitas bagi mahasiswa difabel, terutama difabel netra.[]
Reporter: Tri Rizki Wahyu
Editor : Ajiwan