Search
en id

Gunakan fitur ACCESSIBILITY melalui tombol simbol biru bagian kanan agak atas sebagai preferensi untuk kenyamanan Anda.

Ilustrasi: Disabilitas tak tampak (invisibel disabilies)yang diperjuangkan Raissa dan Dianda

Begini Upaya Raissa dan Deanda untuk Pengakuan Ragam Difabel Tak Tampak

Views: 11

Solidernews.com – Raissa Fatikha dan Deanda Dewindaru  mengajukan permohonan uji materi tentang Penjelasan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, perihal “terganggunya fungsi gerak” sebagai ciri difabel fisik. Permohoan tersebut dibahas dalam sidang Mahkamah Konstitusi (MK) Selasa, (7/10).

Menurut mereka, penjelasan tersebut belum cukup menggambarkan ragam  difabel yang dialami warga negara. Penyakit kronis seperti lupus, autoimun, atau kanker yang memunculkan kelelahan ekstrem, nyeri, dan hambatan sosial, seharusnya diakui sebagai bagian dari ragam difabel fisik tak tampak (invisible disability).

“Kami ingin kesetaraan hak yang sejati. Tidak semua hambatan terlihat di permukaan tubuh,” ujar Raissa dikutip dari risalah sidang MK.

Sidang MK dibuka pukul: 13:30 WIB oleh Suhartoyo sebagai Hakim Ketua Sidang, dan dihadiri oleh perwakilan pemerintah dari Kementerian Sosial serta Kementerian Hukum dan HAM.

Supomo, Dirjen Rehabilitasi Sosial, membacakan Keterangan Presiden yang berisi pandangan resmi negara: penetapan ragam difabel harus melalui asesmen medis, dan penyakit kronis tidak otomatis dikategorikan sebagai jenis difabel tertentu.

“Gangguan kemampuan pada fungsi tubuh dan/atau struktur tubuh yang menyebabkan hambatan dalam beraktivitas sehari-hari dapat dikategorikan sebagai disabilitas fisik. Namun penyakit kronis tidak serta-merta termasuk di dalamnya,” ujar Supomo.

Keterangan tersebut sesuai dengan UU 8/2016 yang merujuk pada Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas (CRPD) dan ICF-WHO 2001, sehingga tidak perlu direvisi.

Namun bagi Raissa Fatikha dan Deanda Dewindaru, penafsiran negara masih terlalu sempit dan belum sepenuhnya memenuhi semangat pendekatan berbasis hak (rights-based approach).  Menurut Deanda  yang juga seorang aktivis yang mengadvokasi isu kesehatan mental dan autoimun mengungkapkan banyak orang hidup dalam tubuh yang terlihat “sehat”, namun setiap hari berjuang melawan berbagai hambatan yang tak selalu bisa dijelaskan.

“Kami bukan mencari belas kasihan. Kami hanya ingin diakui agar bisa mengakses hak-hak kami secara setara,” kata Deanda.

Menurutnya, diberbagai komunitas pasien penyakit kronis, isu “disabilitas tak tampak” menjadi perbincangan panjang. Mereka yang mengalami kelelahan ekstrem, kesulitan bergerak, atau membutuhkan waktu pemulihan panjang sering kali tersingkir dari sistem kerja, pendidikan, bahkan jaminan sosial, karena tidak “terlihat” sebagai difabel.

Enny Nurbaningsih, Hakim Konstitusi  meminta pemerintah menyampaikan data asesmen klinis yang telah mencatat ragam difabel di luar kategori yang disebutkan dalam undang-undang. Ia juga menyoroti pentingnya penyediaan layanan yang benar-benar aksesibel bagi semua ragam difabel.

Raissa menambahkan bahwa mereka tidak menuntut keistimewaan. “kami hanya ingin hidup dengan bermartabat, tanpa harus membuktikan bahwa kami benar-benar sakit,” pungkasnya.

Sidang dilanjutkan dua pekan berikutnya.[]

 

Reporter: Harta Nining Wijaya

Editor      : Ajiwan

 

Bagikan artikel ini :

TULIS KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT

berlangganan solidernews.com

Tidak ingin ketinggalan berita atau informasi seputar isu difabel. Ikuti update terkini melalui aplikasi saluran Whatsapp yang anda miliki. 

BERITA :

Berisi tentang informasi terkini, peristiwa, atau aktivitas pergerakan difabel di seluruh penjuru tanah air

Skip to content