Search
en id

Gunakan fitur ACCESSIBILITY melalui tombol simbol biru bagian kanan agak atas sebagai preferensi untuk kenyamanan Anda.

Ilustrasi Tata Ruang Inklusif. (freepik.com)

Aksesibilitas dan Akomodasi Ruang Publik di DIY Belum Merata

Views: 19

Solidernews.com, Yogyakarta. Difabel masih mengalami hambatan ketika mengakses ruang publik di DIY. Dari trotoar yang tidak akses bagi difabel netra dan pengguna kursi roda di beberapa titik, ketiadaan papan informasi yang menyesuaikan kebutuhan Tuli, hingga layanan publik yang belum ramah, menampilkan wajah tata ruang yang belum inklusif.

Potret tersebut kontras dengan penghargaan peringkat pertama yang diterima DIY sebagai Pemerintah Daerah Inklusif Disabilitas tahun 2025 pada ajang Penghargaan Pembangunan Daerah (PPD) 2025.

Laksmayshita Khanza Larasati Carita, Sekretaris GERKATIN Kota Yogyakarta mengungkapkan, tantangan utama bagi Tuli bukan hanya soal sarana dan prasarana fisik, namun juga akses terhadap informasi visual. Ruang publik di DIY, menurutnya, belum banyak memberikan aksesibilitas informasi bagi Tuli.

“Kami butuh penunjuk visual, nama lokasi, arah menuju layanan publik, atau sinyal cahaya untuk tanda tertentu,” ujarnya melalui juru bahasa isyarat.

Ia menambahkan, tantangan lain adalah interaksi di ruang publik yang sering kali tidak memahami bagaimana semestinya berinteraksi dengan Tuli.

“Kalau memanggil kami, Tuli, jangan berteriak. Tapi datangi kami dan sentuh lembut bahu kami. Kalau belum bisa bahasa isyarat, gunakan kertas atau ponsel untuk berkomunikasi,” imbuhnya.

Rahmiatun Khasanah, difabel fisik dan staf SIGAB Indonesia, menilai bahwa meski sejumlah kantor pemerintahan menyediakan aksesibilitas sarana fisik, implementasinya belum merata dan belum memenuhi standar aksesibilitas.

“Masih banyak ramp atau jalur landai yang justru terlalu curam, guiding block atau jalur pemandu tertutup pedagang kaki lima, bahkan ujungnya bertemu drainase. Banyak fasilitas yang membantu tapi belum menghilangkan hambatan sepenuhnya,” katanya.

Menurut Rahmi, pelibatan calon pengguna difabel dalam proses perencanaan dan evaluasi menjadi kunci agar pembangunan tak sekadar memenuhi syarat teknis dan menggugurkan kewajiban, tapi benar-benar berfungsi bagi difabel sebagai penerima manfaat.

Sedang bagi Akbar Riantono Putro, difabel netra mahasiswa UIN Sunan Kalijaga, trotoar masih menjadi ruang berisiko. Jalur pemandu yang dapat digunakan secara mandiri justru bisa jadi pengalaman naas. Baginya, kota yang ramah adalah kota yang memanusiakan manusia, tanpa kecuali.

“Kami ingin mandiri berjalan di atas guiding block, tapi malah celaka. Banyak yang ditabrakkan ke tiang listrik atau berakhir di selokan,” keluhnya.

Penguatan paradigma inklusif dan pentingnya pengawasan dan evaluasi

Winta Adhitia Guspara, Dosen Desain Produk Universitas Kristen Duta wacana (UKDW) dan Kepala Laboratorium Desain Inklusi, menilai akar persoalan justru terletak pada paradigma dan kepedulian sosial. Saat ini sudah ada berbagai produk kebijakan terkait tata ruang dan bagaimana ruang publik disediakan, bahkan SDGs dan GEDSI juga sudah dijadikan acuan.

“Tapi, berapa banyak ruang publik yang benar-benar bisa dirasakan semua orang? Ketidakpedulian masih besar. Bahkan masyarakat turut berkontribusi. Trotoar dipakai jualan, ruas jalan jadi parkir,” ujarnya.

Sementara Harry Kurniawan, Dosen Arsitektur UGM, menekankan pentingnya pengawasan dalam setiap tahap pembangunan. Menurutnya, pengawasan implementasi dari tahap perencanaan hingga pelaksanaan menjadi kunci agar universal design benar-benar terwujud.

“Aspek mobilitas sering tidak dilihat sebagai bagian yang terhubung dengan ruang lain. Padahal satu elemen yang tidak inklusif bisa meniadakan keberhasilan desain secara keseluruhan,” katanya.

Hak atas ruang yang setara sudah jelas diatur, utamanya di dalam UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. UU tersebut menegaskan bahwa pemerintah wajib menjamin aksesibilitas bagi penyandang disabilitas untuk mewujudkan kemandirian dan partisipasi dalam segala aspek kehidupan.

Perda No. 5 Tahun 2022 tentang Pelaksanaan Penghormatan, Pelindungan, dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas DIY, secara jelas mengatur aksesbilitas fasilitas umum, bangunan publik, sarana transportasi, dan infrastruktur agar bsia dibunakan difabel, baik fisik maupun non-fisik, seperti layanan informasi yang ramah difabel.

Sementara Peraturan Menteri PUPR Nomor 14/PRT/M/2017 menegaskan bahwa setiap bangunan gedung dan lingkungannya harus menyediakan kemudahan akses bagi semua pengguna, dengan mengacu pada prinsip universal design.[]

 

Reporter: Harta Nining Wijaya

Editor    : Robandi

Bagikan artikel ini :

TULIS KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT

berlangganan solidernews.com

Tidak ingin ketinggalan berita atau informasi seputar isu difabel. Ikuti update terkini melalui aplikasi saluran Whatsapp yang anda miliki. 

BERITA :

Berisi tentang informasi terkini, peristiwa, atau aktivitas pergerakan difabel di seluruh penjuru tanah air

Skip to content