Views: 55
Solidernews.com, Yogyakarta— Setiap manusia tentunya memiliki berbagai potensi, daya kreativitas, dan keunikan yang tidak sama antar satu dengan lainnya. Menjadi pribadi yang menekuni sesuatu yang disenangi, diselami, dan direfleksikan dalam bentuk karya, tentunya menjadi pencapaian yang membanggakan. Apalagi bila karya tersebut diapresiasi, layak menjadi konsumsi publik, dan pastinya memiliki nilai semangat dan kesetaraan, tentunya akan memberikan nilai plus bagi personal tersebut. Nah, itulah yang selalu diupayakan sosok Yudha Wira Jaya.
Pria kelahiran Wonosobo pada 20 Desember 1997 ini, di kalangan seniman Jogja akrab dipanggil dengan nama Yudha. Sewaktu solidernews.com berjumpa dengannya, sambutan ramah dan penuh semangat begitu memancar. Apalagi bila membahas dunia seni. Dia banyak bercerita tentang pemikirannya dalam dunia seni yang begitu dicintai, terutama seni teater. Mahasiswa ISI Yogyakarta ini, banyak memiliki hasil-hasil karya dari berbagai perenungan dan fase perjalanan hidup sebagai difabel netra.
Pada usia 14 tahun, Yudha mengalami penurunan penglihatan karena penyakit katarak. Selama beberapa tahun kemudian, penurunan itu dirasakan begitu signifikan, hingga menyebabkan hilangnya penglihatan. Kondisi itu tentunya banyak memberi pergulatan emosi. Ketenangan, kemantapan, dan penerimaan diri, baru didapatkannya setelah berproses selama 5 tahun. Siapa sangka kalau semua proses perjalanan hidup itu, menjadi sebuah Karya puisi, naskah drama, pementasan teater, dan puncaknya Yudha diterima berkuliah di ISI Yogyakarta, kini menjadi bukti dari puncak penerimaan yang telah diperjuangkan.
“Sebenarnya nama asli saya itu Barokah, mas. Tapi gara-gara saya sering dikira perempuan, saat berkomunikasi di medsos, utamanya saat memesan ojol, bertemu orang baru, akhirnya saya menggunakan nama pena saya sebagai penyelesaian dari kesalah pahaman itu. Yudha Wira Jaya, itulah nama yang sangat saya senangi,” tutur Yudha pada 15 Juli 2024.
“Saya memang lebih dikenal dengan nama Yudha, oleh para seniman Jogja. Utamanya yang berkreasi di dunia teater. Jadi, mayoritas orang-orang Jogja ini lebih kerap memanggil saya dengan Yudha, daripada Barokah,” Imbuhnya.
Memaksimalkan Kekurangan Untuk Meraih Kesempurnaan
Sesuai cerita Yudha kepada solidernews.com, dia akhirnya memiliki semangat berjuang saat bertemu dengan rekan sesama difabel netra, di PSBN Temanggung. Di sana dia belajar Braille dan kemampuan lainnya. Namun, pertemuannya dengan Irwan di PSBN pada 2011, yang sedang membagikan kaset audio book, makin memperbesar tekad untuk bersekolah. Akhirnya, berkat arahan dari irwan Dwi Kustanto (perwakilan Mitra netra Jakarta), Yudha kecil pun pergi ke Yogyakarta untuk mengenyam pendidikan formal. Mulai SD, SMP, SMA, hingga kini ia tengah menempuh Studi di perguruan tinggi.
Seni bagi Yudha, awalnya hanyalah sebuah kegemaran semata. Tidak ada pikiran untuk terjun secara profesional, atau bahkan sampai studi yang khusus di dunia seni. Semuanya hanya dijalani, selami, ikuti, dan terus diolah. Hingga akhirnya dirinya gemar membuat puisi, gemar mendengar sandiwara radio, dan beberapa kali juga terlibat pembuatan drama audio bersama rumah produksi yang ada di Condong Catur Yogyakarta.
Muasal mengapa akhirnya Yudha terjun di dunia seni teater profesional, itu bermula saat dia menemani dosen yang tengah membuat disertasi, tentang drama audio. Karena dirinya memiliki relasi, selaku salah satu founder grup Penggemar Sandiwara Radio (PSR) yang ada di Facebook yang kini sudah beranggotakan 80000 lebih, serta aktivitas bersama sang dosen itulah yang makin memantapkan dirinya terjun di dunia seni teater.
Selain itu, pengalaman pribadi Yudha yang pernah mengalami diskriminasi serta perundungan di kampung, yang dilakukan oleh teman sebaya, tetangga, dan beberapa oknum keluarga besar, membuat lecutan semangat sosok Yudha makin membara. Ia ingin menunjukkan kalau dirinya bisa meraih mimpi dan prestasi, lewat bidang yang ia gemari. Hingga akhirnya, kini Yudha telah banyak menelurkan karya. Baik sastra maupun naskah teater, bersama komunitas yang ia dirikan, yaitu komunitas Teater braille. Bahkan 22 April 2024 lalu, Yudha bersama Teater Braille sukses mementaskan teater yang berjudul “Ada Karena Cinta”, di Taman Budaya Yogyakarta.
“Ya, mas. Saya itu makin mantab menekuni seni, saat saya sering terlibat dalam berbagai aktivitas seni pertunjukan. Seperti pernah membantu dosen untuk riset drama audio, terlibat membuat naskah pada suatu PH untuk membuat drama audio, dan sekarang saya tengah berkuliah di ISI dengan berbagai aktivitas seni di dalamnya,” Tegas Yudha.
Seni Jalan Aktualisasi Diri
Bagi Yudha, memilih jurusan seni teater di ISI Yogyakarta, tentunya tidaklah mudah. Karena sangat jarang difabel netra yang berkuliah di bidang seni. Karena sebelumnya, ia hanya berpikiran untuk masuk ke jurusan pendidikan luar biasa, lantas berkerja sebagai pengajar. Namun, ternyata hobi dan kesukaan di dunia seni lebih kuat menuntun dirinya untuk menekuni seni secara profesional.
Kekuatan inspirasi juga makin menguatkan langkah Yudha untuk mengambil dan berkuliah jurusan seni Teater di ISI Yogyakarta. Seniornya yang berdomisili di Solo, seorang difabel netra yang mengenyam jurusan pedalangan di ISI Solo yang kini menjadi pengajar di salah satu sekolah SMK, dan beberapa tokoh lain, makin memberi kemantapan di hati Yudha.
“Ya, berkat ketekunan di dunia seni, saya ternyata bisa menyiapkan dan menata masa depan bersama megahnya karya seni, mas. Sekarang saya menjadi pengajar teater di beberapa SLB, aktif di teater braille, beberapa kali mengadakan pementasan, dan kini tengah berkuliah. Harapan saya, nanti saya bisa meneruskan studi S2 di Inggris, dengan jurusan yang makin menguatkan keilmuan seni saya, mas”, tutur Yudha menutup sesi diskusi sore itu.[]
Reporter: Wachid Hamdan
Editor : Ajiwan Arief