Views: 29
Solidernews.com. KOTA Yogyakarta. Pada satu dekade terakhir diberi label atau julukan sebagai kota inklusif. Kota yang nyaman, memberi akses dan kesempatan bagi orang dengan difabilitas (difabel).
Julukan tersebut tak hanya datang dari mereka yang sempat singgah di kota pelajar itu. Sebagian besar difabel terkhusus netra, bahkan mengatakan bahwa Kota Yogyakarta, adalah surga bagi difabel.
Dua paragraf di atas, menarik untuk ditelisik. Mengapa dan bagaimana Kota Yogyakarta, mendapatkan label kota inklusif. Mendapat apresiasi, sebagai surganya para difabel.
Berhasil dijumpai solidernews.com, Yuda Wira Jaya. Seorang seniman yang juga Mahasiswa Semester V Jurusan Teater Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Sebagai perantau yang sudah 12 tahun di Jogja, Yuda mengaku setuju bahwa Jogja adalah surganya difabel.
“Sangat setuju, Jogja memang surga bagi difabel. Jogja jauh lebih inklusif jika dibandingkan dengan tempat asal saya, di Wonosobo. Di sini masyarakatnya ramah dan terbuka. Meski belum semuanya. Tapi ini jauh lebih baik dibandingkan dengan kota saya,” ujar Yuda.
Lanjut dia, infrastruktur mulai banyak yang aksesibel. Pemerintah cukup peka memperhitungkan bahwa ada masyarakat berkebutuhan khusus. Begitu juga kalau naik kendaraan umum Trans Jogja, difabel mendapat prioritas.
Instansi dan lembaga pendidikan perlahan-lahan mau belajar menerima dan memberi pelayanan untuk difabel. Meski dari internal sendiri, sebenarnya masih banyak PR yang harus dibenahi.
“Untuk saya yangbergerak melalui kesenian, Jogja adalah kawah candradimuka yang tepat untuk belajar dan mengembangkan karir. Di saat kebudayaan hanya menjadi pelengkap di kota-kota lain, di sini seniman dan kebudayaan betul-betul diberi tempat selayak mungkin. Dalam hal ini, nampaknya pemerintah sudah cukup dewasa dan matang,” tandas Yuda.
Yuda pun mencontohkan. dukungan yang paling nyata dia rasakan adalah Program Danais (dana keistimewaan). Program tersebut betul-betul memberi ruang bagi para budayawan mengembangkan bakatnya. Baik secara individu maupun kelompok. Kesenian mendapat porsi yang lebih dari cukup.
Contoh lain, Dinas Kebudayaan. Lembaga negara ini setiap tahun memberi ruang melalui Pekan Budaya Difabel. Menurut Yuda, hal tersebut belum ada di daerah lain. Sementara di Jogja sudah berjalan lebih dari enam tahunan.
“Dua kesempatan pemerintah D.I. Yogyakarta tersebut, menunjukkan antara difabel dan nondifabel semua mendapat tempat masing-masing. Walaupun bisa juga difabel merambah lebih luas. Tak hanya pekan budaya difabel. Namun juga bisa masuk ke ruang-ruang lain,” pungkasnya.
Indikator kota inklusi
Terdapat indikator, ketika sebuah kota dikatakan inklusif terhadap difabel dan kelompok rentan. Sebuah kota dinyatakan inklusif ketika memenuhi empat unsur. Yaitu: (1) partisipasi, (2) ketersediaan layanan publik yang aksesibel, (3) adanya aksesibilitas sesuai kebutuhan, serta (4) budaya inklusif.
Partisipasi. Unsur ini diterjemahkan dengan, ketika semua warga secara aktif berpartisipasi dalam berbagai kegiatan pembangunan, tanpa kecuali difabel.
Melalui riset sederhana, solidernews.com mendapatkan catatan. Sebagian difabel sudah dapat berpartisipasi aktif dalam berbagai kegiatan. Mereka terlibat dalam satu atau beberapa organisasi. Mereka juga terlibat aktif sebagai pemantau pemilu (sebagai contoh). Ada juga yang aktif dalam keolahragaan, dan mengantarkannya menjadi pegawai negeri sipil (PNS). Sebagian lagi mampu bertahan hidup, karena keberaniannya membaur dengan warga masyarakat.
Menarik benang merah catatan di atas, difabel yang mampu berperan aktif adalah mereka yang memiliki dukungan penuh dari lingkungan. Keluarga, sebagai lingkungan terdekat, memberikan kesempatan mengakses berbagai hak hidup. Keluarga tidak malu menjadi orangtua anak difabel. Kemudian memberikan kesempatan sama, sebagaimana anak lainnya. Satu di antaranya, mengakses pendidikan setinggi-tingginya. Berikutnya, memberikan kesempatan pada anaknya berkomunitas dan berorganisasi.
Pengakuan dan peran negara
Berbeda dengan Yuda Wirajaya, difabel netra yang sudah mandiri. Sudah mampu mengakses pendidikan dan berbagai layanan inklusif lainnya, di Kota Yogyakarta. Di sisi lain kedisabilitasan, masih ada yang terkungkung dalam lingkungan kecil, keluarga. Masih ada yang tidak sanggup mengakses berbagai dukungan dan keterbukaan pembangunan Kota Yogyakarta. Alih-alih berpartisipasi aktif. Menghirup udara luar ruang kamar pun mereka tak sempat. Masa-masa bermain dan bersosialisasi hanyalah mimpi.
Satu di antaranya, adalah difabel dengan cerebral palsy (CP). Kondisi lumpuh layu yang menyertai, berdampak pada keterbatasan mobilitas (motorik) maupun sensorik mereka. Karena kondisi tersebut, hidup mereka tergantung kepada orang lain. Tak hanya sementara. Sebagian besar akan bergantung pada keluarga, sepanjang hidup mereka. Mereka juga membutuhkan terapi sepanjang waktu.
Benar apa yang dikatakan Yuda, bahwa Jogja jauh lebih inklusif dibandingkan kota lain. Namun, faktanya, belum semua difabel dapat menikmatinya. Masih ada difabel tertentu yang terenggut haknya. Menghadapi keterbatasan mobilitas, karena ketiadaan sarana prasarana.
Mereka juga kehilangan kesempatan mengakses informasi inklusif. Minim dukungan dari keluarga, karena dianggap sebagai manusia tidak mampu. Alih-alih berkomunitas, mengenyam bangku sekolah pun tak mudah. Kesempatan demi kesempatan yang seharusnya dapat dinikmati, semakin menjauh dan pergi.
Dalam satu kalimat, “difabel butuh pengakuan keluarga”. Ketika pengakuan diberikan, maka dukungan demi dukungan akan diberikan. Sehingga kesempatan demi kesempatan hadir dan dapat diraih.
Bebera faktor internal, telah terdokumentasi. Bagaimana dengan kehadiran negara, dalam menyediakan (ketersediaan) layanan publik yang nyaman dan tanpa diskriminasi, bagi kelompok rentan dan marjinal (difabel) dalam hal ini? serta jaminan aksesibilitas untuk semua orang, termasuk kelompok rentan dan marjinal ini?
Dua faktor tersebut, dipenuhi negara dengan melahirkan berbagai kebijakan inklusif bagi difabel. Hal tersebut mengemuka dari Doddy Bagus Jatmika, Kepala Bidang Sarana dan Prasarana Bappeda D I.Yogyakarta. Satu di antaranya melalui PERDA nomor 4 tahun 2019, tentang pemajuan, pelindungan dan pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas, lanjut dia.
Kebijakan tersebut mengikat negara, untuk melakukan atau memberikan pemenuhan. selanjutnya diterjemahkan negara dengan: memberikan atau menyediakan berbagai layanan publik. Di antaranya melalui pembangunan infrastruktur (fisik), serta layanan publik non fisik (running text, juru bahasa isyarat, suara pada berbagai pusat layanan).
Negara juga memandatkan sekolah-sekolah terbuka dan memberi kesempatan difabel untuk mengaksesnya. Negara melalui dinas terkait memberikan berbagai pelatihan keterampilan, mendorong penerimaan pegawai pada instansi pemerintah maupun swasta.
Berkelindan alasan
Dalam catatan solidernews.com, ketersediaan layanan publik tersebut tak dilakukan oleh setiap institusi. Berbagai alasan dikemukakan, satu di antaranya keterbatasan anggaran. Jikalau pun menyediakan infrastruktur, sarana parasarana tersebut tidak aksesibel. Dibuat seadanya, tanpa melibatkan penggunanya. Karenanya, hasilnya sia-sia. Difabel tak dapat mengaksesnya.
Sebagai contoh ketersediaan ramp atau jalan landai bagi pengguna kursi roda. Ramp masih diterjemahkan sebagai jalan miring. Hasilnya, berbagai ramp dibangun ekstrim miring. Akibatnya, bukan memberikan kenyamanan, melainkan menghadirkan ketakutan difabel, menggunakannya.
Bagaimana dengan layanan non fisik? Layanan ini masih minim keberadaannya pada sebagian besar instansi. Akibatnya, difabel tidak mandiri mengakses berbagai layanan publik.
Tantangan terberat dialami tuli, saat mengakses layanan publik. Pelayanan kesehatan, sebagai contoh. Semua petugas, di instansi ini mengenakan penutup mulut (masker). Mulai dari satpam, bagian informasi, pendaftaran, pemeriksaan (dokter dan perawat, farmasi (resep dan pengambilan obat) dan pembayaran (billing).
Unsur keempat, budaya inklusif. Hal ini menyangkut perspektif atau cara pandang. Ketika warga memiliki perspektif yang baik terkait difabilitas, dengan sendirinya budaya inklusif akan ada. Warga bersikap inklusif. Paham bahwa kota yang ditinggali, terdiri dari beragam penghuni. Ada yang memiliki kebutuhan berbeda. Namun semua memiliki hak sama. Yang berbeda adalah cara mengakses atau mendapatkannya.
Berjuang bersama
Kondisi yang tak mudah, namun juga tak sulit dilakukan. Kota inklusif dapat mewujud ketika ada yang bersama-sama memperjuangankannya. Ada kebijakan yang sungguh-sungguh diimplementasikan. Ada pelibatan difabel sedari perencanaan, proses implementasi, monitoring dan evaluasi.
Serta, berangkat dari yang paling dasar, yaitu: (1) keluarga yang menerima dan memberikan kesempatan penuh terhadap anaknya; (2) negara sepenuhnya hadir memenuhi tanggung jawabnya.
Artinya, unsur keempat (budaya inklusif) akan mewujud, ketika tiga unsur yaitu: partisipasi, ketersediaan layanan publik dan aksesibilitas sudah terpenuhi. Tak ada yang tak bisa, ketika semua mau terbuka dan berjuang bersama.
Karena, kota inklusif adalah kota yang menjamin keterbukaan dan kebebasan bagi seluruh warganya. Untuk mewujudkan kota inklusif, perlu dilakukan perencanaan yang bertahap, berkelanjutan, dan komprehensif. Tata ruang dan desain kota juga harus mendukung mobilitas berbagai kalangan.
Sehingga, kota Yogyakarta perlu menjadi tempat yang nyaman untuk dihuni semua warga termasuk difabel. Pemenuhan hak asasi manusia, tanpa kecuali adalah poin. Bagaimana pun, warga difabel memiliki hak yang sama, sebagaimana warga lainnya dalam mengakses berbagai layanan publik. Apakah pengakuan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, perlindungan hukum, layanan kesehatan, serta berkumpul dan berserikat.
Selain itu, inklusi disabilitas juga akan meningkatkan kualitas hidup warga. Kota yang memberikan akses transportasi, infrastruktur, serta ruang publik yang lebih baik memungkinkan penyandang disabilitas (difabel) dapat berpartisipasi aktif dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan budaya.
Ini tak hanya menciptakan lingkungan yang adil, tetapi juga membuka peluang bagi warga untuk memberikan kontribusi yang berarti. Pembangunan Kota Yogyakarta yang inklusif, sejalan pula dengan tujuan kesepuluh pembangunan berkelanjutan (sustainable development goals/SDGs), yakni mengurangi Kesenjangan (reducing inequalities).[]
Reporter: Harta Nining Wijaya
Editor : Ajiwan