Views: 16
Solidernews.com –
Pusat Rehabilitasi YAKKUM, sebagai lembaga yang memberikan pelayanan dan pemberdayaan bagi warga difabel, bersama AMPUH, Aliansi Masyarakat Sipil untuk Kesehatan Jiwa, Yogyakarta, mengadakan Focus Grup Discussion. Kegiatan berlangsung pada (12/12) Bertempat di Restoran Bale Timoho Yogyakarta.
Sejak 2017, YAKKUM telah melakukan dampingan pada difabel psikososial melalui program Open the Gate, dimana program ini mendorong pengelolaan balai rehabilitasi sosial agar menjadi lebih terbuka, sehingga meningkatkan peran masyarakat untuk lebih menerima difabel psikososial melalui bertambahnya pengetahuan masyarakat mengenai kesehatan jiwa.
Open the Gate juga bertujuan untuk menghapus kekerasan, stigma dan diskriminasi terhadap difabel psikososial yang tinggal di balai rehabilitasi.
Dari kegiatan ini YAKKUM bermaksud mengidentifikasi tantangan dan pembelajaran yang masih ada dalam Open the Gate yang selama ini menjadi proyek percontohan.
Kegiatan ini menghadirkan beberapa organisasi difabel yang konsen dalam melayani difabel psikososial. Mereka yang hadir antara lain KPSI, NAWAKAMAL, SATU NAMA, IMAJI, Yayasan Efata, Gelimas Jiwo, SHG Sugeng Jiwo, SHG Ngudi Laras, Infokom dan tim resource Centre YAKKUM sendiri.
Diskusi yang dilakukan dalam suasana santai ini membahas banyak hal terkait isu kesehatan jiwa, salah satunya tentang keberhasilan kerja aliansi dengan lahirnya Perda Penanganan Kesehatan Jiwa melalui Perda Nomor. 13 tahun 2022, yang ditindak lanjuti dengan turunan-turunannya melalui peraturan Gubernur terkait RAD KESWA yang baru disahkan. Sementara yang saat ini sedang berproses adalah Pergub tentang rehabilitasi sosial dan penanganan pasung yang perlu dikawal bersama.
Terkait hal itu, AMPUH sebagai aliansi masyarakat sipil yang konsen dalam isu kesehatan jiwa punya harapan, penanganan kesehatan jiwa seperti apa yang sesuai dengan HAM dan konsep-konsep tempat rehabilitasi sosial itu seperti apa supaya Perda di DIY terimplementasi dengan baik. Dalam hal ini sejauh mana negara hadir untuk mengatasi persoalan dari lintas pemangku kepentingan juga menjadi bahasan.
Hadir memberi masukan, Aspi Kristiati, ,SKM, MA, praktisi dari Nawakamal yang selama ini konsen dalam isu kesehatan jiwa menyatakan bagaimana pemerintah masih kurang melakukan upaya promosi preventif kecuali melakukan skrining.
“Padahal upayanya tidak hanya itu. Perlu juga dilakukan bagaimana upaya edukasi, dan perlu adannya penyadaran isu yang dilakukan secara masif.” Kata Aspi menjelaskan.
Menurut Aspi, pada beberapa tempat bahkan masih mendapatkan stigma sehingga seperti di Sumba dan Sikka misalnya, obat bagi ODDP tidak bisa masuk di sana.
“Artinya layanannya keswa yang seharusnya jadi tanggung jawab pemerintah kurasinya masih begitu berat dilakukan.” Ujar Aspi menambahkan.
“Saya tidak tahu pemerintah itu mau mengarah kepada apa dan bagaimana tentang layanan keswa. Di lingkungan dinas pun masih samar untuk melakukan apa karena memang kesehatan jiwa saat ini masih menjadi konsen dinas kesehatan dan bukan dinas sosial, sehingga mereka (dinas sosial) juga tidak menganggarkan secara khusus. Yang harus di advokasi ke pemerintah adalah bagaimana payung hukum tidak hanya hitam di atas putih tapi bisa dijadikan guideline pada masing-masing dinas.” Lanjut Aspi menegaskan.
Bagi Aspi, bicara mindset juga butuh waktu yang panjang, karena untuk mengenalkan kesehatan jiwa di masyarakat perlu penyadaran bersama di semua lini supaya RSJ tidak hanya menjadi tempat observasi dan bagi mereka yang benar-benar akut, tetapi setelah itu dilempar ke masyarakat dan terserah siapa yang mau merawat.
“Selama masyarakat tidak siap melihat kekambuhan pada tanda-tanda gangguan jiwa, lapas akan penuh dengan mereka yang mengalami gangguan jiwa, akan tetapi dianggap sebagai pelaku kriminal. Bukan untuk menakut-nakuti, tapi sebagai wacana bagaimana kita akan membawa isu kesehatan jiwa sebagai isu dan langkah penyadaran bersama.” Kata Aspi yang juga menjadi salah satu inisiator rumah antara di Yayasan Satu Nama.
Menurut Patrick, mewakili Yayasan Satu Nama, bagaimana panti yang ideal dalam mendampingi ODDP sangat kontekstual sesuai kebutuhan di masing-masing panti. Satu Nama, bukan seperti panti yang tertutup karena sudah memberikan warga dampingan (ODDP) kesempatan untuk keluar.
“Seperti hari besar dimana mereka bisa difasilitasi untuk pulang baik atas keinginan sendiri maupun keinginan keluarga. Warga dampingan juga mulai dilibatkan dalam melakukan aktivitas para pekarya atau staff Satu Nama.” Jelas Patrick yang menambahkan bahwa hal Ini juga menjadi tantangan bagi Satu Nama karena SDM yang terbatas, mengingat satu caregiver harus mendampingi lima orang warga dampingan sehingga untuk melakukan ibadah harus dilakukan di dalam.
Adalah tanggungjawab panti, menurut Patrick, karena selama ini pemerintah melakukan kampanye hanya secara individu, dimana seseorang harus menjaga kesehatan dengan mendorong individu dan sosialnya. Sedang secara makro terkait masalah kemiskinan, ekonomi, sosial, pemerintah tidak melihat secara holistik dimana tanggungjawab pemerintah sangatlah besar.
“Untuk narasinya, ke makro tidak terlalu diperhatikan, seperti faktor penyebab gangguan mental di masyarakat. Maka bila pemerintah menerapkan institusional ini akan menjadi tantangan besar. Karena selama ini RBM sudah berjalan, tetapi pada beberapa wilayah perlu diinisiasi mengingat selama ini yang banyak berjalan adalah dari teman-teman NGO dan komunitas.” Patrick menyampaikan.
Saat ini Rehabilitasi Sosial Berbasis Masyarakat ibarat bayi yang masih perlu dukungan, sementara Rehabilitasi Berbasis Institusi sudah lama berjalan tapi pendekatannya masih belum ber perspektif HAM dengan kebijakan yang diambil oleh masing-masing panti.
Maka ketika kebijakan pemerintah DIY dijalankan, pemerintah harus siap untuk menyiapkan dukungan keluarga dan masyarakat karena ODDP tidak selamanya berada di panti, tetapi harus didorong bagaimana bersosialisasi di masyarakat, bagaimana juga pelibatan masyarakat terhadap teman-teman ODDP sehingga terjadi masyarakat yang inklusif.
Melihat masyarakat belum siap mengangkat isu kesehatan jiwa karena akan menamba stigma, begitu juga dengan institusi yang ada di garda depan terkait keswa pemahamannya masih kurang, maka menjadi penting bagi masyarakat sipil untuk mengadvokasi OPD yang terkait kesehatan jiwa sehingga panti yang ada menjadi lebih terbuka. Oddp bisa diberi waktu untuk keluar tetapi tetap mendapatkan pendampingan hingga siap kembali ke masyarakat dengan bekal kemandirian.[]
Reporter: Riyanti
Editor : Ajiwan