Views: 6
Solidernews.com – Sigab dalam komitmennya sebagai salah satu lembaga yang mengusung isu difabel dan inklusivitas dan pendampingan hukum pada tahun ini telah mengukuhkan diri sebagai lembaga bantuan hukum yang akan terus menyuarakan akses terhadap keadilan dan inklusivitas serta aksesibilitas bagi difabel dan kelompok rentan lainnya. Demikian poin yang disampaikan dalam kata sambutan oleh M. Joni Yulianto, Direktur Sigab Indonesia, dalam webinar kerja sama dengan Kantor Staf Presiden (KSP) bertema Akses Keadilan Bagi Penyandang Disabilitas Berhadapan dengan Hukum. Webinar menghadirkan narasumber dari para lembaga penegak hukum dan penanggap yang terdiri dari akademisi dan pegiat isu difabel.
Prof. Dr. Rumadi Ahmad, Deputi V Kantor Staf Presiden sebagai Keynote Speaker menyatakan bahwa 10 tahun lalu Indonesia belum punya Undang-Undang tentang Penyandang Disabilitas. Stigma masih kental tidak hanya masyarakat umum tapi pemerintah. Lantas persoalan-persoalan yang dulu tersembunyi kemudian perlahan ditengok. Perbincangan di media menjadi bahan dan ditandai serta banyak diskusi di beberapa tempat. Undang-Undang nomor 8 tahun 2016 kemudian menjadi penanda penting bahwa Indonesia menjadi bagian masyarakat penting dunia yang memandang penyandang disabilitas dari kaca mata HAM.
Undang-undang nomor 8 tahun 2016 tentang Penyandang Difabel yang sudah dimiliki oleh bangsa Indonesia kemudian dapat mengidentifikasi hal penting yang bukan hanya tentang tanggungjawab pemerintah pusat tetapi pemda dan meletakkan difabel sebagai subjek hukum terkait
Beberapa hambatan yang masih dihadapi oleh difabel dalam berhadapan dengan hukum : 1. Penentuan dengan cara mendengar aparat penegak hukum, apa kebutuhan dan Akomodasi Yang Layak (AYL) sesuai dengan kebutuhannya 2. Regulasi terutama belum adanya SOP atau peraturan internal lembaga penegak hukum yang diperuntukkan bagi difabel selain sarana dan pra sarana yang aksesibel.
Untuk menjawab tantangan menurut Prof.Dr. Rumadi Ahmad maka butuh kolaborasi dan perubahan sosial tidak datang begitu saja tanpa aktor dan peta jalan : 1. Perubahan kebijakan 2. Terbitnya PP salah satunya PP 39/2020 dan peraturan internal lembaga bisa jadi pelengkap yang memperkuat difabel untuk mendapat akses. 2. Tersedianya akses keadilan yang bisa diakses. Bagaimana mengubah mindset yang dapat diukur terwujudnya aksesibilitas fisik dan non fisik. 3. Perubahan cara pandang aparat penegak hukum : hakim dan perangkat hukum yang lain.
“Memang bukan suatu yang mudah tapi membuahkan kerja sama dan kadang membutuhkan waktu yang tidak pendek. Kita dalam alur yang benar, track yang benar. Dan perubahan hukum terjadi ke arah lebih baik,” pungkasnya.
Purwanti, Koordinator Advokasi dan Jaringan Sigab Indonesia dalam paparannya menyampaikan tujuh isu strategis saat ini adalah :penegakan hukum dan akses hukum dan peradilan, kebijakan dan perlindungan hukum, persamaan perspektif dan pemahaman kerentanan perempuan difabel dalam aspek pemenuhan HAM, konflik hukum, politik, kemanusiaan dan keadilan, pengakuan kapasitas hukum difabel, partisipasi penuh dan kepemimpinan perempuan difabel, pendampingan dan advokasi pencegahan penanganan, pemulihan, eksekusi putusan terhadap kasus-kasus difabel berhadapan dengan hukum dan paralegal sebagai aktor advokasi kasus-kasus difabel berhadapan dengan hukum.
Purwanti juga menyampaikan data kasus yang selama ini didampingi oleh Sigab yakni : tahun 2016-2017 sebanyak 27 kasus, tahun 2017-2018 berjumlah 29 kasus, tahun 2018-2019 sebanyak 15 kasus, tahun 2019-2020 ada 32 kasus, tahun 2020-2021 terdapat 32 kasus, tahun 2021-2022 yakni 28 kasus, tahun 2022-2023 sebanyak 51 kasus terdiri dari 41 kekerasan seksual dan 10 kasus KDRT.
Menurut Purwanti, tantangan internal yang dihadapi oleh difabel ada banyak di antaranya : difabel berada dalam ranah domestik sedangkan pelaku kekerasan seringkali adalah orang-orang terdekat. Kedua, difabel beradaptasi pada kapasitas sumberdaya yang sangat rendah, ketiga disabilitas yang dialami membuat difabel tidak mampu melakukan perlawanan atau menghindar dari kekerasan yang dialami.
Sedangkan tantangan eksternalnya adalah :1. Stereotip marginalisasi, mitos-mitos, budaya, diskriminasi, di berbagai level keluarga, masyarakat, komunitas dan negara. 2. Kebijakan-kebijakan yang mendiskriminasi difabel terutama perempuan difabel, 3. Kekosongan hukum yang mengatur tentang difabel berhadapan dengan hukum, 4. Substansi hukum yang mendiskriminasi difabel, 5. Prosedur hukum belum memberikan akses keadilan bagi difabel, 6. Tidak adanya profil asesmen untuk difabel, 7. Aksesibilitas bagi difabel di lembaga peradilan dan lembaga layanan terkait hukum dan keadilan belum memadai. Aksesibilitas meliputi : 1. Infrastruktur bangunan, lingkungan, transportasi dll, 2. Informasi, sikap, layanan dll, 3. Reasonable Accomodation. 8. Sistem rujukan dan jaringan penanganan, pendampingan dan pemulihan untuk difabel berhadapan dengan hukum. 9. Data dan persoalan difabel berhadapan dengan hukum belum menjadi prioritas dalam gerakan Reformasi Hukum.[]
Reporter: Astuti
Editor : Ajiwan