Views: 28
Solidernews.com, Yogyakarta— Kebencanaan dan Perubahan iklim saat ini menjadi topik hangat di dunia. Berbagai bencana makin sering terjadi, pun perubahan iklim terasa begitu berdampak dan berpengaruh bagi difabel, terutama saat beraktivitas dan melakukan interaksi sosial. Menjadi kelompok berisiko yang memiliki peresentase 4 kali lipat terdampak manakala bencana alam terjadi, sudah semestinya difabel mendapatkan kesetaraan, perlindungan, dan keterlibatan pada akses informasi mitigasi bencana. Tidak hanya itu saja, melainkan masyarakat difabel seharusnya dilibatkan dalam perancangan, penyuluhan, dan pendidikan terkait mitigasi, pengurangan risiko, dan kesetaraan dalam aspek hak pelayanan mitigasi bencana dari pemangku kebijakan.
Merespons hal di atas, Program Gerakan Optimalisasi Organisasi Difabel atau GOOD yang dikelola oleh Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel (SIGAB) Indonesia menyelenggarakan webinar ke-9 untuk membahas kondisi Pengurangan Risiko Bencana (PRB) dan krisis iklim. Kegiatan dilaksanakan pada Selasa, 13 Agustus 2024 dengan tema diskusi “Perspektif Inklusif Difabilitas Dalam Pengurangan Risiko Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim”, via ZOOM meeting.
Kegiatan tersebut melibatkan berbagai organisasi difabel, orang tua, para aktifis difabel. Sebanyak 80 lebih peserta ikut berpartisipasi, ikut berdiskusi, dan banyak menyuarakan terkait Pengurangan Risiko Bencana Inklusif yang diadakan Program GOOD.
“Sejauh ini memang isu tentang mitigasi bencana yang melibatkan difabel itu kurang terlaksana dengan baik. Kita masih terstigma menjadi masyarakat rentan, yang paradikma di lapangan hanya menjadi objek untuk ditolong. Tidak untuk diedukasi. Nah, parahnya kadang para relawan yang menolong, itu tidak paham akan difabel, cara menghadapi, dan cara berinteraksi. Jadi, malah akan menimbulkan bencana yang berkelanjutan,” tutur Edy Supriyanto (Ketua SEHATI Sukoharjo, Jawa Tengah) Selaku pemateri.
“Di daerah kami pun sangat rentan terjadi bencana. Berkat tidak adanya kesigapan, edukasi, dan penanganan yang kongkret, banyak dari adik-adik kami yang memiliki latar belakang difabel sering menjadi korban. Terutama mereka yang difabel mental. Bahkan ada juga yang sampai meninggal, karena terdampak bencana akibat perubahan iklim ekstrem,” ujar peserta dari Sumatera.
Pentingnya Keterlibatan dan Edukasi PRB bagi Difabel
Dalam forum diskusi tersebut, hal utama yang penting dipahami adalah keterlibatan, sosialisasi, dan edukasi kepada difabel terkait Pengurangan Risiko Bencana (PRB) yang harus dilakukan. Baik itu dilakukan pemerintah, organisasi, lembaga, dan para masyarakat yang menangani isu difabel.
Materi yang disampaikan tentunya adalah terkait kajian peraturan pemerintah yang mengakomodir hak difabel dalam konteks kebencanaan, pemahaman urgensi PRB, dampak kajian kebencanaan bagi difabel, dan isu krisis iklim. Di mana semua itu menjadi poin dan informasi penting bagi difabel, manakala mengantisipasi dan menghadapi bencana alam. Mulai UU No 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana, Perka No 14 Tahun 2014 tentang Penanganan, Perlindungan dan Partisipasi Penyandang Disabilitas Dalam Penanggulangan Bencana, Perka No 11 Tahun 2014 Tentang Peran serta Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana, Perka No 1 Tahun 2012 Tentang Pedoman Umum Desa/Kelurahan Tangguh Bencana, Peraturan Presiden (PERPRES) Nomor 87 Tahun 2020 tentang Rencana Induk Penanggulangan Bencana (RIPB) Tahun 2020-2044 yang merupakan pedoman nasional untuk penyelenggaraan penanggulangan bencana. Menjadi beberapa kajian pada pertemuan daring ini.
Pemahaman PRB ini begitu penting. Sebab Risiko bencana menyebabkan kerugian seperti nyawa, harta, kesehatan, aset, mata pencaharian, layanan publik, dan lain-lain yang terjadi kepada masyarakat pada waktu tertentu. Tidak terkecuali masyarakat difabel, yang berisiko 4 kali lipat terdampak keadaan tersebut. Harapannya, dengan edukasi ini, dampak dari bencana itu bisa diminimalisir.
“Kita memang jarang terlibat secara langsung dalam penyusunan peraturan terkait kebencanaan. Padahal elemen difabel itu nyata paling berdampak. Sedangkan kebijakan-kebijakan itu kurang mengakomodir pelayanan difabel. Karena paradigma difabel itu tidak bisa diwakilkan. Jadi memang harus dari kita yang berbicara difabel, bukan orang lain yang membicarakan,” ujar Edi Supriyatno.
PRB Wajib Menjadi Kesadaran Bersama
Beberapa Kondisi difabel yang sulit bermobilitas, tentunya menjadi aspek begitu berisikonya mereka terdampak bencana alam. Bahkan tidak sedikit kondisi kedifabelan masyarakat, terjadi sebab bencana alam. Seperti tertimpa puing reruntuhan rumah, akibat gempa dan menyebabkan kelumpuhan, dan lain-lain. Aspek ekonomi, sosial, dan kesehatan juga menjadi ancaman nyata bagi difabel saat bencana alam terjadi.
Data dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyebutkan bahwa difabel memiliki kemungkinan menjadi korban saat terjadi bencana alam sebesar empat kali lipat dibandingkan dengan kelompok nondifabel. WHO dan Bank Dunia juga mencatat salah satu akibat dari meningkatnya populasi difabel di dunia, salah satu faktornya adalah dampak dari terjadinya bencana alam. Maka dari itu, kesadaran untuk mempelajari pentingnya mengetahui pengurangan risiko bencana sejak dini itu harus diterapkan. Organisasi seperti DIFAGANA (Difabel Siaga Bencana), sudah seharusnya terus diadakan diseluruh wilayah Indonesia. Utamanya daerah rawan bencana.
“Tentunya aspek masalah akses kesehatan, sosial, ekonomi yang di alami oleh masyarakat difabel saat terjadi bencana itu begitu kompleks. Mari kita bangun komitmen, aliansi, konsolidasi, dan aksi, untuk wujudkan kesetaraan difabel pada hak perlindungan, informasi, dan kontribusi dalam konteks mitigasi bencana, juga pengurangan risiko bencana yang inklusif,” tutur Jenny Sirait (Urban Campaigner Greenpeace Indonesia) selaku pemateri II.[]
Reporter: Wachid Hamdan
Editor : Ajiwan