Views: 28
Solidernews.com. KEKERASAN dalam rumah tangga (KDRT), digambarkan sebagai perbuatan negatif terhadap anggota keluarga. Sehingga menimbulkan penderitaan fisik, seksual, psikologis dan ekonomi. Meski bisa menimpa anak, orang tua dan anggota keluarga lainnya, persoalan ini sering terjadi pada pasangan, baik istri maupun suami. Hal ini tidak melihat perbedaan fisik. KDRT juga bisa menimpa pada keluarga pasangan dengan kebutuhan berbeda (difabel).
Berbagai faktor melatarbelakangi terjadinya KDRT. Masalah mencuat ketika seseorang percaya bahwa pasangannya melakukan kesalahan, dan ‘menganggap’ kekerasan adalah solusinya. Mari belajar bersama, apa dan bagaimana toxic masculinity dapat menjadi sumber (muara) terjadi kekerasan dalam rumah tangga.
Dimulai dari konstruksi sosial masyarakat patriarki, feodal, bahwa perilaku sikap dominan dan agresif, diidentikkan dengan laki-laki. Stereotip pun terbentuk. Bahwa seorang laki-laki diidentitaskan harus kuat, dominan dan tidak boleh lemah atau cengeng. Sedang perempuan, harus feminin, sabar hingga rela berkorban.
Hal ini merupakan deskripsi sempit tentang kejantanan, yang didefinisikan sebagai kekerasan dan agresivitas. Pola yang lahir dari ide budaya kejantanan (patriarki). Kekuatan dianggap segalanya, sementara emosi dianggap kelemahan.
Dosen Fakultas Sosilogi UGM Desintha Dwi A, menuturkan, bahwa toxic masculinity ini bisa meledak tak terkontrol. Istilah toxic masculinity berasal dari psikolog bernama Shepherd Bliss, 1990. Menurut Bliss, istilah ini dipakai untuk membedakan nilai positif dan negatif dari laki-laki. Dalam penelitiannya, Shepherd menemukan bahwa adanya dampak negatif dari maskulinitas yang bisa merusak hidup seorang lelaki.
Ketika menjadi toxic, akhirnya akan ada dampak negatif ke orang lain, diri sendiri atau orang di sekitarnya, terutama pihak perempuan. Ketika laki-laki tidak boleh menunjukkan sikap yang bertentangan dengan maskulinitas yang sudah dikonstruksikan tadi. Laki-laki tak boleh terlihat lemah, tidak boleh nurut dengan istri, yang ada justru istri harus nurut suami,” jelas Desintha, Rabu (6/3).
Sehingga, dengan adanya paham tersebut akhirnya menimbulkan tekanan tersendiri, baik kepada laki-laki maupun perempuan. Menurut Desintha, idealnya manusia adalah manusia. Tidak ada yang mengharuskan untuk menjadi maskulin atau feminin.
Ledakan emosi
Stigma telah mengakar. Bahwa laki-laki tidak boleh mengekspresikan rasa resah. Mereka tidak boleh menangis, laki-laki harus kuat. Dampak dari stigma tersebut, laki-laki cenderung meluapkannya dengan kemarahan. Releate (berkaitan) dengan kejadian KDRT.
Tersebut di atas mengemuka dari Rofiqoh Widiastuti. Kepala Bidang Kualitas Hidup Perempuan dari Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (P2TP2A), Daerah Istimewa Yogyakarta.
“Konstruksi tersebut memaksa laki-laki menyimpan segala emosi (segala gejolak sedih dan keresahan). Tumpukan gejolak yang tidak dilampiaskan, akan meledak dalam bentuk kemarahan. Dari sinilah toxic masculinity menjadi muara kekerasan dalam rumah tangga,” ujar Rofiqoh, pada agenda peringatan hari perempuan internasional yang dihelat di Selasar Barat Fisipol UGM, Rabu (6/3).
Lanjutnya, Indonesia, adalah negara nomor tiga yang mengkonstruksi budaya feodal tersebut. Budaya yang tidak membiarkan laki-laki mengeluarkan ekspresi sedih dan resahnya. Menjadi laki-laki dituntut harus maskulin dan tangguh. Karena laki-laki tugasnya adalah mencari nafkah. Tidak boleh cengeng, apalagi menangis! Karena itu bukan sifat seorang laki-laki.
Dampaknya pada anak-anak apa? Hasil kajian dari UGM, ketika anak-anak kehilangan sosok ayah (fatherless), mereka akan mencarinya di komunitas. Sosok ayah yang melindungi, bijaksana, mendengarkan, memahami, seringkali hilang dari kehidupan anak-anak. Karena kehilangan panutan, akhirnya anak-anak terlibat kekerasan, kejahatan jalanan. Karenanya, ujar Rofiqoh, konstruski budaya feodal tersebut, sudah saatnya digeser.
Perkataan toxic masculinity
Tanpa disadari, dalam keseharian sering mendengar atau bahkan menjadi orang yang mengatakan kalimat atau kata-kata yang mengarah pada toxic masculinity. Kata atau kalimat tersebut antara lain:
- “Kamu kan laki-laki, masa kalah sama perempuan?”
- “Kamu kan laki-laki, malu dong kalau nangis”
- “Jangan lemah dong, kan kamu laki-laki masa angkat meja saja tidak bisa?”
- “Lo jangan mau diatur-atur sama istri, justru lo harus dominan jadi suami”
- “Aku kepala keluarga di rumah tangga ini, jadi kamu harus penuhi semua kebutuhanku,”
- “Kalau kamu mau jadi istri yang baik, kamu harus nurut sama saya,”
Kata-kata tersebut tak hanya diucapkan oleh laki-laki untuk laki-laki saja. Tapi, tanpa disadari seringkali terlontar dari perempuan, ibu dalam hal ini. Yakni, “anak laki-laki gak boleh cengeng, malu tuh diliat perempuan”. Atau “aku nggak suka ya punya suami lemah”. Perkataan dalam toxic masculinity tersebut, merugikan orang lain. Bahkan diri diri sendiri.
Salah satu ciri laki-laki yang melakukan toxic masculinity adalah ia berusaha terlihat sangat dominan, agresif dan sangat demanding (menuntut). “Kuncinya adalah dia menggunakan kata ‘laki-laki’ yang mengatasnamakan gender.
Budaya yang berkembang, tekanan atau konstruksi sosial yang kokoh bertengger di tengah masyarakat, berdampak pada seseorang melakukan satu tindakan pura-pura atau palsu. Kalimat ekstrim untuk menggambarkannya ialah orang yang munafik. Tidak sanggup berkata jujur dengan pikiran dan perasaannya yang terwujud pada sikap dan tindakan.
Bagaimana mengubahnya?
Pada prinsipnya manusia adalah manusia, terlepas dari dirinya seorang laki-laki atau perempuan. Sudah sewajarnya, seorang manusia memiliki emosi dan perasaan seperti senang, sedih, marah, kecewa, menangis, tersenyum, merengut, dan lain-lain. Kebutuhan dasar inilah yang seharusnya tidak boleh diganggu gugat.
“Semua manusia punya perasaan sedih, laki-laki juga boleh sedih. Terlepas dari dia laki-laki atau perempuan, seharusnya punya empati. Kalau lihat laki-laki sedih atau murung, ya tidak apa-apa mungkin kita nggak bisa bantu tapi kita punya empati dan mengerti,” tegas Rofiqoh.
Sari pati dari tulisan di atas ialah, bahwa laki-laki maupun perempuan sebaiknya memahami apa dan bagaimana toxic masculinity. Sehingga bisa menghindarkan diri dan tidak terjebak dalam pemikiran toxic masculinity. Tidak membiarkannya terjadi di kehidupannya. Kemduian menyadari setiap pemikiran dan perkataan yang dilontarkan.
Berikutnya, bahwa hidup tak ada kata ‘harus’. Semua bergantung pada konteksnya. Sepakat saja, bahwa laki-laki tidak boleh terlihat lemah. Tapi bukan berarti tidak boleh menangis, jika kesedihan menimpa hidupnya.[]
Reporter: Harta Nining Wijaya
Editor : Ajiwan