Views: 20
Solidernews.com – Komnas Perempuan berhasil konsisten luncurkan Catatan Tahunan (Catahu) dalam 23 tahun terakhir. Pada catahu ini ada hasil analisis tahunan data laporan kekerasan terhadap perempuan di Indonesia, termasuk perempuan difabel, migran, perempuan yang berhadapan dengan hukum, dan yang hidup dengan HIV/AIDS.
Pengesahan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) pada April 2022 hanyalah permulaan dari perjuangan korban memperoleh keadilan. Implementasi kebijakan ini perlu dipercepat melalui sosialisasi agar masyarakat dan Aparat Penegak Hukum (APH) lebih berperspektif korban.
Catatan kekerasan terhadap perempuan hingga kini sebanyak 1.947 kasus terjepit di proses penyidikan dan penyelidikan, hanya 372 kasus sampai di penuntutan, dan yang memilih menghentikan proses hukumnya juga tinggi.
Dr. Sudharmawatiningsih, S.H., M.Hum, Panitera Muda Pidana Khusus, menilai hakim tidak boleh hanya melihat UU TPKS sebagai sesuatu yang terlepas dari konteks sosial yang ada.
Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 3 Tahun 2017 pasal 7 tentang Pedoman mengadili perempuan berhadapan dengan hukum, sudah menggali nilai-nilai yang hidup di masyarakat, konvensi yang diratifikasi, keberadaan sosial dari korban, dan keberadaan hakim untuk mencegah stereotip gander.
Data temuan kekerasan terhadap perempuan dan perempuan difabel
Catahu 2023 Komnas Perempuan mencatat temuan kekerasan terhadap perempuan sepanjang tahun 2022. Kasus laporan yang masuk 2.228 kasus/38,21% merupakan bentuk kekerasan seksual. Setiap 2 jam ada 3 perempuan yang alami kasus tersebut.
Peningkatan angka aduan kekerasan seksual dimungkinkan karena ada kebijakan melindungi korban secara hukum, yaitu Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021, Undang-Undang TPKS Nomor 12 Tahun 2022, dan Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 73 tahun 2022.
Data serupa ditunjukkan oleh Sentra Advokasi Perempuan Disabilitas dan Anak (SAPDA) Yogyakarta. Organisasi difabel ini dalam catahu 2022 mencatat dari 81 kasus kekerasan pada perempuan difabel yang terlaporkan, 31 kasus dialami difabel Rungu-Wicara, 22 kasus difabel intelektual dan 14 kasus difabel mental.
Berdasarkan bentuknya yang terjadi pada difabel, 39 kasus jenis kekerasan, 18 kasus seksual pemerkosaan, 15 kasus kekerasan psikis dalam rumah tangga. Bahkan setiap korban alami 2 hingga 6 bentuk kekerasan sekaligus.
Mayoritas korban kekerasan pada difabel tanpa pekerjaan yaitu 29 kasus, dan yang belum pernah mengakses pendidikan ada 14 kasus. Pelakunya seperti keluarga ada 20 kasus, pasangan ada 14 kasus. Dan pada data ranah kasus privat mencapai 46 kasus.
Perlu perlindungan lebih pada perempuan korban kekerasan
Ratna Susianawati, S.H, M.H, Deputi Perlindungan Hak Perempuan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI menyampaikan, pemenuhan dan perlindungan lebih perempuan difabel korban kekerasan perlu memperhatikan kebutuhan khususnya. Tiap ragam difabel memiliki kebutuhan yang berbeda. Keberagaman ini perlu direspon dengan layanan yang inklusif, adaptif dan memfasilitasi hambatan difabel.
Kekerasan terhadap perempuan dapat berdampak fatal berupa kematian, upaya bunuh diri dan terinfeksi HIV/AIDS. Selain itu, kekerasan terhadap perempuan juga dapat berdampak nonfatal seperti gangguan kesehatan fisik, kondisi kronis, gangguan mental, perilaku tidak sehat serta gangguan kesehatan reproduksi.
Catatan-catatan diatas menunjukkan masih banyak perempuan di Indonesia yang belum merasa aman dari tindak kekerasan dalam menjalani kehidupan mereka. Bukan hanya dari lingkungan luas saja, tapi dari lingkup keluarga dan orang-orang terdekat pun, rasa aman itu masih menjadi sesuatu yang sulit didapatkan.
Dalam konstitusi, hak-hak atas rasa aman dijamin pada Pasal 28G Ayat (1) UUD 1945. Hak-hak perempuan ini mengamanatkan pada negara untuk menjamin penikmatan hak tanpa adanya diskriminasi dan perbedaan gender.[]
Reporter: Sri Hartanty
Editor : Ajiwan Arief