Views: 2
Solidernews.com – Menyikapi urgensi untuk segera disahkannya Rancangan Undang-Undang Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) menjadi Undang-undang oleh DPR RI, saat melakukan jumpa pers bersama Komnas HAM, Komnas Perempuan, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Fatimah Asri, Komisioner di Komisi Nasional Disabilitas (KND).
Kepada solidernews, ia menyatakan kepentingan KND di sini menekankan salah satunya adalah tindakan kekerasan yang dilakukan kepada Pekerja Rumah Tangga (PRT) bisa mengakibatkan kedisabilitasam maka mencegah itu lebih baik, dengan penerbitan payung hukum.
Terkait data kekerasan yang dialami oleh difabel pekerja rumah tangga, Fatimah Asri menjawab bahwa saat ini data di KND, ada dua kasus kekerasan yakni di Cimahi dan satu lagi di kota lain. KND melihat kasus tersebut masalahnya adalah karena mereka tidak paham dengan kedisabilitasan PRT tersebut. Ada difabel mental yang bekerja sebagai PRT. Ketika dia mengalami relaps/kambuh dia minum obat, lantas tidur. Si pemberi kerja tidak memberikan ruang istirahat. Menurut Fatimah Asri ini sebuah contoh dan tetap sesuatu peristiwa yang harus dipahami. Yang terjadi kemudian adalah teman sesama pekerja malah ikut melakukan kekerasan fisik yakni menendang korban.
Nah, kasus kedua menimpa teman Tuli sebagai PRT. Karena dianggap oleh pemberi kerja sebagai Tuli, maka gaji yang diberikan tidak sesuai dengan yang dijanjikan. Kasusnya mirip seperti pekerja anak yang dianggap bukan pekerja murni, sehingga oleh pemberi kerja tidak diberikan gaji seperti seorang pekerja.
Fatimah Asri juga menyampaikan bahwa selama ini hotline DITA 143 belum tersosialisasikan dengan baik di masyarakat. Ini menjadi sebuah pertanyaan mengapa tidak banyak yang tahu. “Jadi kami bersyukur ketika para lembaga HAM negara lainnya juga ikut menyuarakan. Sekarang yang sudah dilakukan oleh KND adalah melihat permasalah pekerja rumah tangga disabilitas dalam konteks urgensi pengesahan RUU PPRT ini sama ketika dulu kita dorong pengesahan RUU TPKS dan sesuai dengan tupoksi KND,” tuturnya.
Selama ini setiap lembaga HAM melakukan advokasi sendiri-sendiri.
KND sudah melakukan sosialisasi ke 514 kota/kabupaten meski belum selesai semuanya. Bahkan menurut Fatimah Asri bahwa mengapa penting segera memiliki regulasi ini, bukan hanya untuk kepentingan difabel pekerja rumah tangga saja tetapi juga si pemberi kerja.
Tindak lanjut atau langkah berikutnya terkait urgensi pengesahan RUU PPRT, seperti halnya tempo hari KND membuka pos pengaduan saat Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB), mereka juga akan berencana membuka posko pengaduan bagi difabel pekerja rumah tangga untuk merespons dan mendorong DPR segera mensahkan RUU PPRT.
Terkait difabel sebagai pekerja rumah tangga, solidernews mewawancarai Tarni (60), difabel fisik, kaki polio, tinggal di Solo, yang puluhan tahun bekerja sebagai PRT. Ia berterus terang bahwa selama ini bekerja di beberapa pemberi kerja, sudah cukup mendapatkan gaji seperti yang diinginkannya meski belum mencapai upah minimum kota.
Tarni tidak bekerja penuh sehari tapi paruh waktu atau istilahnya “pocokan”. Datang beberapa jam saja kepada si pemberi kerja, lantas pulang. Jika puluhan tahun lalu ia sanggup bekerja pada dua pemberi kerja sekaligus, saat ini hanya bekerja pada satu rumah tangga. Gaji yang diberikan oleh si pemberi kerja sesuai dengan kesepakatan bersama. Ia mengaku tidak mendapat jaminan kesehatan dari pemberi kerja karena telah memiliki kartu JKN KIS. Ia juga tidak memiliki BPJS Ketenagakerjaan karena si pemberi kerja tidak mendaftarkannya.
Konferensi Pers Bersama Komnas HAM, Komnas Perempuan, KPAI, dan KND
Jakarta, 19 Juli 2024
Pengakuan, pemenuhan hak asasi, dan pelindungan bagi Pekerja Rumah Tangga (PRT) kian mendesak. Data Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan menunjukkan bahwa sepanjang 2019 – 2023, setidaknya terdapat 25 kasus terkait PRT yang diadukan ke Komnas Perempuan. Tahun 2020 dalam pengawasan KPAI menemukan 30% Anak Dalam Bentuk Pekerjaan Terburuk (BPTA) merupakan PRT anak, dan 2 kasus terakhir tahun 2023-2024 menunjukkan situasi PRT anak bukan hanya mengalami eksploitasi ekonomi, namun juga seksual, serta bentuk-bentuk penyiksaan dan berakhir tanpa proses hukum, karena pencabutan laporan dari orang tua/walinya. Data JALA PRT mencatatkan bahwa pada 2018-2023 terdapat 2.641 kasus kekerasan terhadap PRT.
Kasus penyiksaan juga kerap terjadi bahkan awal tahun lalu terdapat PRT asal NTT yang bekerja di Jawa Barat yang dikurung dan tidak diberi makan oleh pemberi kerja, juga 5 orang PRT yang berusaha kabur dari rumah pemberi kerja karena diduga mengalami penyekapan dan penganiayaan. Juni lalu bahkan terdapat PRT di Tangerang yang melakukan aksi bunuh diri dimana PRT ternyata merupakan pekerja anak yang menjadi korban Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Veryanto Sitohang Komisioner Komnas Perempuan menyatakan bahwa berbagai kasus kekerasan dan penyiksaan lainnya yang dialami PRT sebagai fenomena gunung es, hanya sedikit yang tergambar di permukaan namun kasus yang sesungguhnya jauh lebih besar yang ironisnya tidak dilaporkan dan didokumentasikan karena berbagai hambatan.
“Tidak hanya PRT, pemberi kerja juga memerlukan payung hukum yang memberikan jaminan hubungan yang setara dan mengakomodir hak-hak dan kewajiban antara pemberi kerja dan pekerja rumah tangga. Sehingga pemberi kerja dan pekerja rumah tangga sama-sama terlindungi,” lanjut Veryanto.
Situasi ini seharusnya menjadi pertimbangan DPR RI untuk segera membahas dan mengesahkan Rancangan Undang-Undang Pelindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT). Mengingat DPR RI telah menetapkan RUU PPRT
sebagai RUU Inisiatif DPR pada Maret 2023. Presiden juga telah mengirimkan
Daftar Inventaris Masalah ( DIM) RUU PPRT ke pimpinan DPR dan menunjuk kementerian yang mewakili pemerintah untuk melakukan pembahasan RUU PPRT bersama DPR. Ironisnya lebih dari 20 tahun, RUU PPRT belum ada tanda-tanda untuk disahkan.
Mengingat ketentuan dalam undang-undang pembentukan perundang-undangan, jika tidak ada satu nomor DIM yang disepakati pada sisa waktu periode legislatif saat ini, maka RUU PPRT dikategorikan sebagai RUU non-carry over. Yang berarti RUU PPRT harus dimulai kembali kepada tahap perencanaan di periode DPR RI 2024-2029. Lembaga Nasional Hak Asasi Manusia yakni Komnas Perempuan, Komnas HAM, Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Komnas Disabilitas mendorong DPR dan Pemerintah segera membahas dan mengesahkan RUU PPRT.
Olivia Chadidjah Salampessy, Wakil Ketua Komnas Perempuan menyebutkan bahwa mayoritas pekerja rumah tangga dan pemberi kerja adalah perempuan.
“Komnas Perempuan berkepentingan untuk mendukung pelindungan perempuan dari tindak diskriminasi dan kekerasan. Komnas Perempuan telah melakukan berbagai upaya agar RUU PPRT dibahas dan disahkan, sehubungan dengan hal tersebut Komnas Perempuan meminta agar DPR periode 2019-2024 segera membahas, menetapkan dan mengesahkan RUU PPRT menjadi
Undang-Undang,” tegas Olivia.
Anis Hidayah, Komisioner Komnas HAM juga menegaskan bahwa Komnas HAM memberi perhatian terhadap kelompok rentan dan marginal yang memiliki potensi kuat terhadap pelanggaran hak asasi manusia. Salah satunya adalah Pekerja Rumah Tangga (PRT). Selama ini Komnas HAM juga kerap menerima pengaduan kasus pekerja rumah tangga yang mengalami pelanggaran hak asasi manusia, antara lain gaji tidak dibayar, hilang kontak, kekerasan, perdagangan orang, dan kekerasan seksual.
Komnas HAM pada tahun 2021 telah melakukan pengkajian dan penelitian tentang pekerjaan yang layak bagi PRT dan urgensi pengesahan RUU PPRT sebagai undang-undang. Berdasarkan hasil kajian tersebut, Komnas HAM berkesimpulan bahwa untuk dapat mendorong kondisi HAM yang kondusif bagi penghormatan, pelindungan, dan pemenuhan hak-hak PRT dibutuhkan regulasi yang melindungi dalam bentuk undang-undang. Kehadiran sebuah UU Perlindungan PRT akan memberikan kepastian hukum kepada PRT dan pemberi kerja; mencegah segala bentuk diskriminasi, eksploitasi, dan pelecehan terhadap PRT; mengatur hubungan kerja yang harmonis dengan menjunjung tinggi nilai- nilai kemanusiaan dan keadilan; meningkatkan pengetahuan, keahlian, dan keterampilan PRT; dan meningkatkan kesejahteraan PRT. Atas dasar hal tersebut, Komnas HAM mendukung percepatan pengesahan RUU PPRT yang berlandaskan pada penghormatan hak asasi manusia dan mendorong proses pembahasan yang partisipatif.
Sementara itu, Ai Maryati selaku Ketua KPAI menyatakan pentingnya implementasi Konvensi ILO 138 Mengenai Usia Minimum Untuk Anak Diperbolehkan Bekerja dan Konvensi ILO No 182 tentang Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak menjadi acuan untuk memastikan penghapusan pekerja anak terutama PBTA di Indonesia. Unt
“Untuk itu RUU PPRT menjadi salah satu harapan yang perlu segera disahkan dalam upaya berkelanjutan memberikan perlindungan terhadap situasi dan kondisi anak yang kerap dilibatkan dalam PRT,” tegas Ai Maryati.
Komisioner KND Fatimah Asri Mutmainnah mengungkapkan, hadirnya Rancangan Undang-Undang Pelindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) merupakan oase di tengah kekosongan hukum mengenai pelindungan bagi pekerja rumah tangga yang selama ini berada dalam ruang hampa. Selama ini, Pekerja Rumah Tangga rentan terhadap kekerasan dan eksploitasi yang tak jarang berimplikasi pada kedisabilitasan baik fisik maupun mental. Meski belum ditemukan data pasti berapa jumlah PRT yang menjadi disabilitas akibat kekerasan dan eksploitasi, namun beberapa kasus yang mencuat ke permukaan, bisa menjadi indikator kuat akan hal tersebut.
“Oleh karena itu, Komisi Nasional Disabilitas sangat berharap kehadiran RUU PPRT menjadi momentum bagi negara untuk menciptakan pelindungan yang optimal dan komprehensif terhadap seluruh Pekerja Rumah Tangga, termasuk para pekerja migran yang rentan menjadi korban akibat praktik yang ilegal. Tidak hanya itu, RUU PPRT ini dapat lebih progresif dengan memberikan kepastian dan keadilan bagi Penyandang Disabilitas yang bekerja sebagai Pekerja Rumah Tangga,” tegas Fatimah Asri Mutmainnah.
Sesuai dengan Pasal 28 I ayat 4 UUD 1945 bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara terutama pemerintah. Sehubungan dengan hal tersebut Komnas Perempuan, Komnas HAM, KPAI dan KND menyampaikan agar DPR pada masa sidang terakhir periode 2019-2024 segera membahas dan mengesahkan RUU PPRT sebagai Undang-Undang dan memberikan ruang kepada lembaga HAM Indonesia, masyarakat sipil dan pemerintah untuk terlibat aktif memberikan masukan agar RUU PPRT berpihak kepada rakyat khususnya pekerja rumah tangga dan pemberi kerja.[]
Reporter: Puji Astuti
Editor : Ajiwan Arief