Views: 3
Solidernews.com – Sebutlah namanya Gani, bukan nama sebenarnya. Ia seorang mahasiswa yang saat ini sedang menempuh KKN di Kota Surakarta. Sehari-hari, selepas belajar di kampus, dia bekerja menjaga toko milik keluarganya. Ada pelayan toko yang digaji oleh orangtuanya. Gani hanya mengawasi, sambil sesekali meladeni pembeli dengan berjualan makanan ringan, yang biasa dijajani oleh anak-anak sekolah yang berlokasi dekat dengan tokonya.
Gani didiagnosa sebagai seseorang dengan skizofrenia. Jika hari ini ia tampak kuat dan lancar dalam studi, menurutnya itu berkat usahanya yang melampaui segala rintangan pada awalnya. Ya, Gani dulu pernah berkuliah namun putus di tengah jalan. Lantas suatu ketika timbul niatnya untuk mengecap bangku kuliah lagi, mulai dari awal. Setelah memantapkan hati, ia kemudian masuk ke fakultas keguruan sebuah universitas swasta di Surakarta. Dan mulailah ia beradaptasi yang menurutnya tidak mudah. Seperti yang pernah dia lontarkan pada kawan-kawannya di komunitas. Ia merasa seperti ada kesenjangan dengan teman kuliah oleh sebab selisih umur dibanding mahasiswa baru lulusan SMA (selisih 10 tahun). Problem yang dirasakan sekali adalah komunikasi yang sulit khususnya untuk menyamakan tema obrolan dalam bergaul. Lagi-lagi ia bercerita di komunitas yang disambut dengan antusias kawan-kawannya yang terus menyemangatinya. “Berbaur, Gan..berbaurlah. Kamu baca-baca medsos biar bisa update kekinian supaya nyambung komunikasi pada mereka,”
Kepada solidernews.com, Gani yang punya hobi salah satunya membaca komik detektif, tinggal bersama ibunya di kompleks perumahan, masih di kabupaten yang sama. Ia bisa berbaur dengan warga perumahan setempat. Pernah ikut ronda siskamling serta bergaul sesama warga dan berkegiatan sama. Namun ketika ia bersama sang ibu pindah rumah di kawasan perdesaan, ia merasakan lingkungan dan penerimaan masyarakat yang berbeda. Sehingga ia menutup diri. Hanya berkegiatan berdagang dan ke pergi kampus. Ia tidak bisa berbaur lagi seperti kala masih tinggal di kompleks perumahan.
Stigma sebagai seseorang yang memiliki difabel mental membuat ia lebih nyaman dengan keadaan sekarang dengan berteman dengan sesama kawan di komunitas serta mengikuti kegiatan yang ada di dalamnya. Terkadang bertemu atau jumpa darat untuk menyambung tali silaturahmi. Serta tetap terhubung meski di dalam WhatsApp Group.
Gani sudah tiga kali ini mendapatkan beasiswa. Beasiswa pertama dari Menembus Batas, bukan program kampus. Beasiswa kedua dari asistensi mengajar. Waktu itu mengajar pada Homeschoolling Kak Seto di Surakarta. Beasiswa ketiga Kampus Mengajar 7, dengan penempatan di SMP N 1 Klego Boyolali.
Mengakhiri wawancara dengan solidernews.com, Gani mengakui bahwa sampai saat ini dirinya masih minder jika harus berelasi atau bersosialisasi dengan masyarakat di desanya sebab masih dipandang sebelah mata. Namun ia merasa sudah menunjukkan punya progres yang baik dari waktu ke waktu dengan bertekad menyelesaikan studi sarjananya demi cita-citanya sebagai guru serta bekerja sambilan mengembangkan toko yang dimiliki oleh orangtunya.
Difabel Mental Psikososial Bisa Bekerja di Sektor Non Formal
Satu lagi sosok difabel mental psikososial yang meski sudah pulih namun masih merasa belum memberikan yang terbaik di keluarga. Sebut namanya Marno, bukan nama sebenarnya. Marno adalah seorang dengan skizofrenia. Ia menjalani terapi farmakologi dan rutin berobat setiap tahun. Setiap hari kegiatannya adalah bekerja di sawah milik orangtuanya. Ia juga beternak ayam dan kambing, sesekali ia bekerja jadi tukang. Seringkali Marno memperlihatkan aktivitasnya sehari-hari termasuk ketika memanen padi di sawah.
Terkait stigma tinggal di desa, Marno sering berbagi keluhan jika beberapa kali ia mencoba berbaur dengan tetangga dengan mengikuti ronda di kampung namun beberapa kali pula ia merasa kecewa karena merasa tidak ada yang memberi perhatian kepadanya, dengan tidak mengajaknya bicara. Ia merasa para tetangga masih beranggapan ia memiliki penyakit jiwa “serius” sehingga tidak diajak berkomunikasi. Saat itu dia mengeluh di WhatsApp group komunitas. Sementara itu teman-teman yang memiliki atensi kepadanya mendorongnya untuk tidak berputus asa, ” Ayo dong ….kamu duluan yang mengajak mengobrol mereka. Cari topik yang menarik,’ucap salah seorang kawan komunitas di group.
Lambat laun, cerita Marno mempunyai progres bagus. Ia kembali memberi kabar kepada komunitas jika mulai bergaul dengan kelompok muda-mudi di desa. Termasuk ikut membantu tetangga saat ada yang punya hajat. Seperti yang diperlihatkan dengan gambar fotonya ke kemonitas ia sedang bergotong royong/rewang ketika ada hajatan pengantin di desa. “aku ikut begadang tidak ya teman-teman, sebaiknya? karena ini ada gelagat ada pesta minuman keras. Aku khawatir,” begitu tulisan di group. Lantas teman-teman di WhatsApp Group memberikan komentar yang bermacam. Intinya mengingatkan Marno agar bisa membawa diri, meninggalkan hal buruk agar progres kepulihan kesehatan jiwanya ke depan lebih baik.
Dikutip dari web resmi kemkes, remaja Indonesia diperkirakan menghadapi masalah kesehatan mental tapi belum ada data spesifik mengenai mereka. Menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, 16 juta atau 6,1 persen penduduk Indonesia berusia 15 tahun ke atas mengalami hambatan/gangguan kesehatan mental. Konsekuensi dari kegagalan mengatasi kondisi kesehatan mental remaja akan meluas hingga masa dewasa, berdampak buruk pada kesehatan fisik dan mental mereka, serta membatasi peluang untuk menjalani kehidupan yang baik di masa dewasa.[]
Reporter: Puji Astuti
Editor : Ajiwan Arief