Views: 53
Solidernews.com – Salah satu hambatan terbesar yang dihadapi oleh mahasiswa difabel, terutama dalam proses perkuliahan adalah akses terhadap bangunan fisik yang sering kali tidak memadai. Sejumlah hambatan ini kerap dirasakan oleh mahasiswa difabel di Universitas Hasanuddin (Unhas). Alif, mahasiswa difabel mental angkatan 2024, misalnya, pernah hampir tertimpa pecahan kaca dari pintu yang ia dorong hingga pecah. Beruntung, ia tidak mengalami luka. Sayangnya, pecahan kaca tersebut justru melukai tangan Girandi, mahasiswa difabel fisik dan intelektual angkatan 2023, yang secara tidak sadar berpegangan pada bagian pintu yang telah rusak. Banyak pintu berbahan kaca di Unhas yang dinilai cukup berbahaya, terutama bagi mahasiswa dengan ADHD.
Sebagai individu dengan cerebral palsy, Girandi juga harus didampingi setiap kali beraktivitas di lingkungan kampus. Meski ia sebenarnya mampu bermobilitas secara mandiri menggunakan motor yang telah dimodifikasi, kondisi jalan yang tidak ramah—seperti permukaan yang tidak rata dan tangga tanpa pegangan—membuatnya tetap memerlukan bantuan relawan agar dapat berjalan dengan aman.
Mahasiswa difabel netra di Unhas juga mengeluhkan sejumlah hambatan. selokan yang terbuka, undakan, tangga hiasan, serta perbedaan tinggi lantai menjadi tantangan tersendiri. Meski demikian, sebagian kekurangan ini dapat diimbangi melalui layanan relawan teman difabel yang disediakan oleh universitas. Andini, salah satu mahasiswa relawan di Pusat Disabilitas Unhas, membenarkan hal tersebut. Ia mengungkapkan bahwa masih banyak area kampus yang tidak ramah difabel.
“Kalau teman difabel yang netra, kebetulan saya mendampingi setiap hari, tidak mungkin saya biarkan berjalan sambil meraba lantai sendirian. Itu sangat berbahaya. Kadang-kadang, di sisi kiri koridor bisa langsung turun satu meter tanpa pembatas. Juga masih banyak tangga kecil sementara belum semua area dilengkapi guiding block,” ujar Andini dalam wawancara bersama Solidernews (08/05/2025).
Meski Universitas Hasanuddin telah menunjukkan komitmen kuat untuk mewujudkan pendidikan tinggi yang inklusif—melalui berbagai kampanye, modifikasi pembelajaran, layanan mobilitas, jalur khusus penerimaan mahasiswa baru, hingga pembangunan aksesibilitas seperti pemasangan guiding block dan bidang miring—masih terdapat berbagai tantangan. Misalnya, keberadaan bangunan tanpa lift, koridor tanpa pembatas, selokan terbuka, serta anak tangga tanpa pegangan yang tersebar di berbagai sudut kampus, tidak dapat diabaikan. Walau perbaikan tidak dapat dilakukan secara instan, kampanye dan penulisan tentang pentingnya aksesibilitas fisik harus terus digalakkan agar pihak universitas tidak lalai dalam merespons kebutuhan tersebut.
Alya Alfita, mahasiswa difabel pengguna kursi roda dari Departemen Ilmu Gizi, juga menghadapi persoalan serupa. Selama ini, ia beraktivitas di kampus dengan bantuan relawan teman difabel yang mengantarnya dari tempat kost ke kampus dan sebaliknya. Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) memang telah melakukan beberapa penyesuaian, seperti membangun bidang miring, menerbitkan SK bagi empat mahasiswa pendamping, serta memberikan tugas pengganti bagi Alya yang tidak dapat menjangkau lantai tiga—tempat laboratorium kimia berada. Namun, ketiadaan lift tetap menjadi hambatan utama, karena seluruh aktivitas kemahasiswaan di FKM hanya dapat diakses melalui tangga sempit, termasuk tangga melingkar.
Menanggapi hal ini, Pusat Disabilitas Unhas melakukan audit aksesibilitas dan audiensi dengan kepala Program Studi Ilmu Gizi pada 6 Mei 2025. Hasilnya, ditemukan jarak tempuh yang jauh, beberapa tangga yang sempit, serta tangga melingkar yang tidak ramah bagi pengguna kursi roda. Laboratorium di lantai tiga pun dianggap sangat menyulitkan, baik bagi Alya maupun relawan, apabila harus terus-menerus membopongnya ke sana. Alya sendiri menyatakan keberatannya jika tidak ada solusi jangka panjang.
“Untuk sekarang, dosen memberi tugas pengganti. Tapi kalau harus seperti ini terus, saya rasa tidak sanggup. Apalagi semester depan, praktik di lab menjadi sangat penting dalam pembelajaran Ilmu Gizi. Walaupun nilai dijanjikan setara, tetap saja rasanya berbeda antara mengikuti praktikum langsung dengan hanya mengerjakan tugas,” ungkap Alya.
Dr. Sudirman Nasir, S.Ked., MWH., Ph.D, dosen FKM sekaligus peneliti senior Unhas, mengatakan bahwa isu ini sedang didiskusikan bersama dosen dan dekan. Solusi jangka pendek berupa pendampingan memang sedang diupayakan agar lebih optimal. Namun, untuk jangka panjang, ia berencana mengusulkan perbaikan akses menuju lantai dua dan tiga. Dalam wawancara dengan Solidernews (07/05/2025), ia juga menyebutkan bahwa saat ini sedang berlangsung pembangunan gedung baru di FKM.
“Diusahakan gedung baru ini dapat diakses oleh mahasiswa difabel. Saya juga sudah menghubungi Pak Wahid, Wakil Dekan Akademik FKM, dan beliau akan memfasilitasi pertemuan antara mahasiswa bersangkutan dan relawan untuk solusi jangka pendek,” jelasnya.
Apa yang dihadapi oleh Alya bukan hanya menjadi hambatan pribadinya, tetapi juga merupakan tantangan bagi Universitas Hasanuddin dalam perjalanannya menuju kampus yang humanis dan ramah untuk semua. Pemikiran sempit seperti “belum ada akses, maka tidak bisa menerima mahasiswa pengguna kursi roda,” tidak boleh dijadikan alasan. Melalui Surat Keputusan Rektor tentang pembentukan Unit Layanan Disabilitas (Pusdis), Universitas Hasanuddin telah menyatakan komitmennya untuk terus belajar dan berbenah dalam mewujudkan inklusivitas.
Kursi roda yang belum bisa menjangkau ruang laboratorium di lantai tiga hanyalah satu dari sekian banyak tantangan yang, jika diatasi dengan serius, akan mengantarkan pada perubahan yang lebih besar.
Dalam proses audiensi bersama asisten laboratorium, Kepala Pusat Disabilitas Unhas, Dr. Ishak Salim, S.I.P., M.A., menyampaikan, “FKM sudah memulai banyak inisiatif inklusif. Jadi, kenapa tidak sekalian saja? FKM bisa menyediakan lift, bidang miring, atau jika perlu, memindahkan laboratorium ke lantai satu agar bisa diakses oleh semua orang tanpa terkecuali.”
Pada akhirnya, bangunan fisik bukan sekadar infrastruktur, tetapi juga simbol dari cara berpikir yang matang dan inklusif. Melalui pembangunan gedung-gedung baru dan pembentukan Pusdis, Universitas Hasanuddin perlahan menciptakan ruang yang aman dan ramah bagi semua. Bangunan lama yang belum inklusif mencerminkan paradigma lama yang belum sepenuhnya menyadari pentingnya kesetaraan hak bagi seluruh warga kampus, termasuk mahasiswa difabel. Kini, komitmen baru telah tumbuh, dan inklusivitas mulai menemukan wujudnya di setiap sudut kampus. Menerima mahasiswa difabel dengan segala hambatan fisik adalah langkah yang sudah seharusnya diambil oleh Universitas. Berkaca pada pengalaman Unhas, bertemunya mahasiswa difabel dan infrastruktur yang tidak inklusif akan melahirkan saran demi saran untuk pembangunan atau restruturisasi yang akan mengantar Universitas menjadi kampus yang ramah bagi difabel.[]
Reporter: Nabila
Editor : Ajiwan









