Views: 2
Solidernews.com, Gunungkidul – “Sebenarnya lebih pada sebuah ketidak sengajaan saya bergabung menjadi paralegal. Saat itu, tahun 2015, SIGAB megadakan ToT (Training of Trainer) untuk paralegal. Salah seorang teman dari Gunungkidul yang sedianya mengikuti kegiatan ini mengundurkan diri dan saya ditunjuk untuk mewakili. Sejak itu saya menjalani pendampingan bagi teman-teman difabel yang mengalami kekerasan seksual.” ujar Tutik tentang awal mula bagaimana ia menjalani pengabdian yang ia tekuni sampai sekarang.
“Awalnya memang agak takut dan bingung juga ketika saya sebagai seorang paralegal baru harus berhadapan dengan keluarga korban dan korban. Bingung apa yang harus kita lakukan karena tidak semudah yang kita dapat saat di TOT, sementara ilmunya hanya bisa kita ambil di lapangan. Dan tidak semua kita disambut dengan welcome. Karena keluarga korban juga tidak paham paralegal itu siapa, pendamping difabel itu apa? Apalagi dengan orang yang baru kita kenal tentu reaksi mereka juga berbeda. Kita juga butuh pendekatan ke keluarga dengan memberikan pemahaman dan penguatan.” Ramah, dengan tawa yang renyah, itulah ciri yang mudah kita temukan dari sosok Tutik Kurnia, perempuan kelahiran 14 April.
“Lebih mudah bagi saya menjelaskan diri sebagai pendamping difabilitas. Karena tidak semua aparat penegak hukum juga paham apa itu paralegal.” Dihubungi via telepon, Tutik Kurnia, sudah menjalani pendampingan selama hampir sepuluh tahun bersama SIGAB.
Tak semudah yang didapat selama pelatihan, tentu ada banyak kesulitan dan tantangan yang ditemukan. Tak bisa mengelak Tutik menjelaskan bahwa kesulitan pasti ada, tinggal bagaimana kita menyikapinya. Pertama mendampingi kasus alurnya memang mudah karena dari pihak kepolisian yang aware dan kasusnya belum terlalu lama, lebih lagi ada keluarga korban yang polisi.
“Kebanyakan keluarga korban masih awam dengan masalah hukum, demikian juga dengan korban sendiri. Apalagi dengan keterlibatan polisi, takut ribet, takut berbayar dan masih harus bolak-balik ke kantor polisi atau semacamnya.” Lanjut Tutik kemudian.
“Kita hanya perlu meyakinkan keluarga korban bagaimana kita mengedukasi bahwa apa yang menimpa teman-teman difabel itu harus kita proses secara hukum supaya tidak ada lagi korban-korban lain dengan menjerakan pelaku.” Demikian Tutik menyampaikan beberapa tugasnya selama mendampingi kasus kekerasan seksual, dari proses investigasi, penyidikan hingga kasus selesai di pengadilan.
“Memberi penguatan dan pemahaman itu penting untuk terus menerus kita lakukan. Tidak sekali omong selesai, tidak hanya sampai ditengah-tengah, tetapi sampai kasus benar-benar selesai. Bersyukurnya selama ini saya belum pernah mengalami sampai keluarga yang didampingi mengeluh. Sejauh ini bisa diatasi kecuali ada alasan tertentu yang membuat kasus tersebut di SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan), misal terduga pelaku tidak terbukti sebagai pelaku.”
“Para korban ini, mereka butuh untuk didampingi, ditemani, juga dikuatkan, karena mereka butuh seseorang untuk dipercaya dan tidak melabeli mereka. Kadang orang sudah memberi label pada korban anak dengan difabel mental intelektual hanya karena usia kalender dan usia mental mereka yang tidak sama. Bisa jadi usia mental mereka setengah dari usia kalendernya, sehingga perlu bagi kita untuk membawa mereka ke psikolog demi mengetahui bahwa korban adalah difabel mental intelektual.” Papar Tutik menjelaskan bahwa pemeriksaan hanya bisa diberikan oleh saksi ahli dari RSUD yang bisa memberikan pernyataan tentang korban dengan usia kalender tertentu, usia mentalnya ada di bawah usia kalender.
Memetik pelajaran dari yang ia peroleh selama di lapangan, Tutik juga membantu menyampaikan bahwa bekal kita adalah melihat kasusnya lebih dulu untuk melakukan asesment. Fasilitasi bisa diberikan misal untuk ke rumah sakit atau semacamnya. Dulu untuk sarana mobilitas hanya dengan SIGAB, tetapi sekarang sudah ada dinas yang membantu. Misal UPT PPA untuk antar jemput ketika akan BAP, atau pihak kepolisian bisa saja menjemput dan sebaliknya.
“Kita tidak bisa bekerja sendiri karena harus melibatkan pihak lain, terlebih sekarang banyak pihak yang aware, sehingga dalam menangani setiap kasus kita akan didampingi oleh pihak-pihak terkait seperti UPT PPA dan kepolisian.” imbuhnya kemudian.
Biasanya pihak kepolisian merasa sangat terbantu dengan keberadaan pendamping disabilitas. Karena untuk mencocokan keterangan harus klop sehingga dibutuhkan kerjasama antara pendamping difabel dengan polisi.
Banyak pengalaman mengesankan yang meninggalkan kisah tersendiri bagi Tutik, diantaranya adalah kisah-kisah unik dari masing-masing difabel dengan kondisi keterbatasan mereka. Ada yang minta dibelikan mainan, ada yang minta dicarikan kerja bahkan ada yang minta tolong dicarikan jodoh.
“Kita tidak bisa serta merta menolak mereka, apalagi memutus tali silaturahmi yang sudah terjadi. Maka untuk menolak keinginan mereka kita sampaikan saja kondisi kita yang sebenarnya. Jangan menjanjikan apapun dengan keluarga korban karena kita hanya butuh mendampingi dari awal hingga proses.”
“Kebanyakan teman difabel biasanya dengan kita akan lebih cepat akrab karena merasa diperhatikan. Beda dengan keluarga karena dia juga butuh perhatian dari luar. Sehingga dia akan bicara (bercerita) saat keluarganya tidak ada. Kadang mereka juga takut untuk menceritakan ke keluarga karena keluarga emosi dan bertanya dengan suara yang keras. Hal tersebut yang kadang membuat korban sulit bercerita pada keluarga.” Hal ini menurut Tutik bisa terjadi karena mungkin kita lebih sering melakukan komunikasi maka kita bisa membaca gestur tubuhnya.
Kadang keterangan yang disampaikan bisa berubah-ubah. Tapi kadang ada satu kata yang sering diulang dan itu yang akan kita dijadikan patokan. Sambil berpesan, Tutik menegaskan agar kita jangan pernah merubah bahasa atau kebiasaan yang sudah mereka pahami. Semua menyesuaikan kondisi, baik bahasa yang digunakan sehari-hari, asesment, investigasi hingga saat mereka sudah merasa nyaman baru diajak untuk menceritakan masalahnya.
Bagi Tutik, yang menjadi kendala adalah kalau mendapat korban dampingan Tuli, yang tidak tahu bahasa isyarat, tahunya hanya bahasa baku, seperti makan, tidur, maka bagaimana cara kita mendapat keterangan dengan kondisi keterbatasan korban.
“Selama ini untuk mengatasi kendala komunikasi dengan teman Tuli kita bekerjasama dengan JBI atau guru bahasa isyarat dari SLB untuk memastikan keterangan yang disampaikan.” Terang Tutik mengakhiri perbincangan.[]
Reporter: Yanti
Editor : Ajiwan