Views: 34
Solidernews.com – Tudang Sipulung atau Empo Sipitangarri adalah tradisi yang sejak lama telah berlangsung di tanah Sulawesi Selatan, merupakan adat berkumpul dan bermusyawarah untuk mencapai kesepakatan bersama di dalam kelompok. Tudang Sipulung adalah tanda persaudaraan, toleransi dan kebersamaan yang dijunjung tinggi oleh masyarakat Bugis Makassar. Dewan Pengurus Daerah Persatuan Tunanetra Indonesia Sulawesi Selatan (DPD Pertuni SulSel) sebagai organisasi yang berkomitmen untuk memperjuangkan hak-hak difabel netra, khususnya di Provinsi Sulawesi Selatan, pun mengadopsi tradisi Tudang Sipulung dalam pergerakan mereka. Berusaha untuk merangkul setiap kelompok difabel netra baik itu pekerja, pedagang ataupun pelajar. Dengan tujuan dasar Tudang Sipulung, sebenarnya, untuk menerima segala kritik dan harapan difabel netra yang ada di Provinsi Sulawesi Selatan.
DPD Pertuni Sulawesi Selatan menghadapi masa-masa berat dalam kurun waktu sepuluh tahun belakangan ini. Hal ini karena buah dari tindakan korup yang berdampak besar bahkan hingga sekarang. Tahun demi tahun berlalu meninggalkan peristiwa kelam itu dan di setiap periode setelahnya, pengurus yang ada terus berjuang untuk mengembalikan DPD Pertuni SulSel yang berdaya dan dikdaya seperti dulu. Tantangan yang dihadapi sangat beragam. Mulai dari keterbatasan anggaran, rendahnya kepercayaan sampai dengan kuantitas sumber daya yang tidak memadai di dalam tubuh kepengurusan. Tetapi yang jelas, individu-individu yang memberi dedikasi tinggi pada organisasi ini masih ada dan terus berjuang.
Tudang Sipulung adalah salah satu sekmen yang dihadirkan oleh DPD Pertuni SulSel sebagai cara untuk mengumpulkan seluruh difabel netra dari latar belakang yang beragam. Harapan, masukan dan bahkan saran, adalah hal-hal yang dikumpulkan dalam Tudang Sipulung yang rutin dilaksanakan di akhir tahun.
Pada tahun 2024 ini, Tudang Sipulung DPD Pertuni SulSel dirangkaikan dengan acara mendengar dan menonton bola bersama yang bertempat di sekretariat Pertuni SulSel. Banyaknya fenomena baru yang terjadi pada kelompok-kelompok difabel netra di Sulawesi Selatan, khususnya kota Makassar, membuat ketua umum Pertuni SulSel (Yoga Indar Dewa) merasa Tudang Sipulung sangat penting untuk menutup tahun ini.
Permasalahan besar yang dihadapi kelompok difabel netra di tanah daeng adalah kurangnya lapangan pekerjaan. Belum banyak lembaga pemerintah dan atau milik swasta, yang membuka ruang bagi pekerja difabel netra. Setelah covid-19 pun, klinik-klinik pijat tunanetra mengalami kesulitan dalam mendapatkan pasien. Profesi pedagang kripik, yang dulunya cukup menjanjikan, sekarang malah cenderung tidak memberi keuntungan lagi. Semuanya diperburuk dengan kenyataan bahwa pemerintah, baik itu pusat ataupun provinsi, belum memiliki program yang bisa menjawab kesulitan difabel netra dalam mendapat pekerjaan. Pemerintah seolah menutup mata akan adanya gap antara program yang mereka tujukan kepada difabel netra dan realitas kesejahteraan masyarakat difabel netra di lapangan. Fenomena yang akhirnya terjadi adalah banyaknya difabel netra yang turun ke jalan untuk menjadi pemusik jalanan.
“Menjadi pengamen itu bukan pilihan, itu jalan terakhir setelah tidak adanya pekerjaan lain yang bisa diakses oleh teman-teman. Saya yakin, mayoritas teman-teman akan memilih bekerja di lembaga pemerintah, andai pemerintah mau memberi kesempatan bekerja untuk teman-teman yang turun mengamen. Masalahnya sekarang adalah pemerintah tidak melakukan itu dan akhirnya, teman-teman harus membahayakan dirinya di jalan,” kata ketua DPD Pertuni SulSel, dalam sesi Tudang Sipulung. Jumat, 15 November 2024.
“Masalah lain yang dihadapi teman-teman itu adalah banyaknya orang, tunanetra juga, dari luar Sulawesi yang datang ke sini untuk mengemis di lampu merah,” sambung Takdir (ketua Komunitas Pemusik Jalanan Tunanetra).
Turunnya difabel netra ke jalan untuk menjadi pemusik jalanan adalah ironi sosial bagi pemerintah Sulawesi Selatan, teguran keras dan bukti besar betapa pemerintah sama sekali tak berhasil memberdayakan masyarakat difabel. Masyarakat Sulawesi Selatan menjunjung tinggi nilai siri na pacce atau yang dalam bahasa Indonesia, juga bisa berarti harga diri dan solidaritas sosial. Jika kemudian masyarakat difabel sudah mulai meninggalkan nilai-nilai siri na pacce hanya untuk membuat tungku rumah tangga mereka tetap mengepul, berarti ada kegagalan telak dalam tubuh pemerintah. Ini bukan hanya menjadi kritik, tetapi juga penghakiman bagi pemerintah Sulawesi Selatan. Betapa kegagalan mereka terbukti dengan jelas melalui kelompok difabel netra yang terpaksa mengambil pekerjaan di jalan yang sangat membahayakan diri mereka. Pemusik jalanan dalam prespektif Kementerian Sosial, masuk dalam kategori Pemerlu Pelayanan Kesejahteraan Sosial (PPKS) sesuai dengan apa yang disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial. Yang mana mengamen adalah jalan yang dipilih setelah tidak adanya lapangan pekerjaan lain yang dapat menjamin kesejahteraan dasar mmereka, yang sebenarnya adalah tugas dan kewajiban pemerintah.
Hasil dari Tudang Sipulung yang diadakan oleh DPD Pertuni SulSel di akhir tahun ini adalah terkumpulnya keluhan, gagasan dan harapan anggota Pertuni, buah dari kegagalan pemerintah dalam memberi akses yang setara, pemberdayaan yang cukup dan program yang berhasil mensejahterakan masyarakat difabel, khususnya difabel netra di Provinsi Sulawesi Selatan.
Argumen apapun tidak bisa membenarkan fakta bahwa kelompok difabel netra yang kemudian masuk ke dalam kategori PPKS, adalah hasil dari kegagalan pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan. Sayangnya, permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh difabel ini tidak masuk dalam panggung pencalonan gubernur dan wakil gubernur Sulawesi Selatan. Masing-masing calon hanya melampirkan gagasan-gagasan umum terkait permasalahan sosial yang dihadapi oleh masyarakat difabel. Seperti janji penyediaan jalan yang aksesibel bagi kelompok difabel, penyediaan lapangan kerja sampai dengan bantuan-bantuan yang sifatnya materi. Bak lagu lama yang diputar-putar lagi. Tidak ada yang secara spesifik memperhatikan fenomena pemusik jalanan dan seabrek diskriminasi yang terjadi pada kelompok difabel lainnya.
DPD Pertuni SulSel, melalui Tudang Sipulung akhir tahun 2024 ini, telah mengantongi sejumlah keluhan dan masukan yang semoga dapat menjadi bahan advokasi ke tingkat pemerintahan. Data-data yang dikumpulkan akan menjadi senjata tajam dalam mengingatkan pemerintah mengenai kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh difabel netra, yang sayangnya belum menyita perhatian pemerintah provinsi. Stakeholder setempat harus tahu bahwa pelatihan pijat, pemberian modal berdagang dan pendistribusian sembako untuk difabel itu terbukti tidak memberi jalan keluar bagi kelompok difabel. Difabel memerlukan hal yang lebih memberdayakan di luar dari pemberian sembako yang sama sekali tidak berkelanjutan.[]
Reporter: Nabila May
Editor : Ajiwan