Views: 27
Solidernews.com – Sutan Sjahrir pernah mengatakan, “Hidup yang tidak dipertaruhkan tidak akan pernah dimenangkan”
Quote di atas merupakan pengantar dari sebuah kisah seorang difabel netra perempuan yang telah berhasil memenangkan hidupnya sendiri, melalui segala rintang, dan ia menantang hidupnya sehingga akhirnya hidup itu mengalah dan membuatnya lebih menang dari kondisi sebelumnya.
Namanya Tri Rizki Wahyu Djari. Ia lahir di kota Jayapura tanggal 11 Februari 1991, ibunya Lince Pampang orang sulawesi Selatan, bapaknya Johnny Max Djari orang Kupang blesteran Jawa. Ia terlahir bukan di daerah Jawa yang fasilitasnya pasti lebih dari daerah lain di Indonesia ini. Ia terlahir di Timur yang mungkin bagi sebagian orang masih merupakan daerah tertinggal dan serba kekurangan.
Namun, apakah benar dugaan sebagian orang tersebut? Apakah daerah timur tak dapat dan tidak memiliki generasi yang hebat dan inspiratif? Untuk menjawab itu, mari kita simak kisah perjalanan hidup Tri Rizki Wahyu Djari yang biasanya lebih akrab dipanggil Kiki.
“Hi, perkenalkan namaku Tri Rizki Wahyu Djari dan biasa dipanggil Kiki. Aku lulusan SMK Negeri 8 Surakarta jurusan Musik kemudian kuliah ambil jurusan sastra Inggris dengan konsentrasi linguistik di Universitas Dian Nuswantoro. Saat ini ia mengambil jurusan pendidikan luar biasa di Universitas PGRI Yogyakarta setelah lulus sastra Inggris”, ucapnya.
“Sebenarnya aku ambil bahasa Inggris karena dulu sempat daftar di sebuah institut seni di Yogya jurusan musik gak diterima karena saat itu institut tersebut belum dapat menerima disabilitas. Selain itu, aku tes di universitas negeri lewat SBMPTN juga gak lolos. Eh, kemudian ada tawaran di Universitas Dian Nuswantoro ada beasiswa sastra Inggris. Oleh karena itu, aku ambil saja mengingat itu gratis”, lanjutnya.
Bahasa Inggris itu penting bagi difabel netra karena dapat memperluas pengetahuan dan pertukaran informasi. Selain itu, menambah relasi ke seluruh dunia. “Coba deh, kalau aku gak ambil bahasa Inggris mungkin aku gak akan dapat banyak pelatihan dari luar negeri. Selain itu, peluang kerja lebih banyak jika menguasai bahasa Inggris”, ungkapnya lagi.
Kiki juga bercerita mengenai penghargaan yang ia dapatkan dari lembaga luar negeri yang berhubungan dengan kemampuannya berbahasa Inggris.
Kiki mendapat sertifikat sebagai mentor dari Vrije Universiteit Amsterdam karena waktu itu ia iseng-iseng mencari kursus bahasa Inggris online gratis. “Akhirnya, aku bisa dapat di website Future Learn. Di website ini ada banyak pilihan ilmu pengetahuan. Kebetulan, karena waktu itu ada pilihan English pronunciation, ya aku ambil karena sesuai dengan kuliahku sebelumnya. Aku bisa menyelesaikan course selama sebulan. Waktu itu, ada tawaran untuk menjadi mentor. Jadi aku ambil saja, tapi syaratnya harus bikin portopolio dan CV dalam bahasa Inggris”, jelasnya.
“Aku tunggu-tunggu selama berbulan-bulan. Ternyata, e-mailku baru direspon 10 bulan kemudian. Mereka sangat kagum karena mereka baru pertama kali dapat murid disabilitas netra yang ingin jadi mentor. Oleh karena itu, mereka memberikan kesempatan kepadaku untuk jadi mentor selama sebulan”, ungkapnya melanjutkan.
Selain mendapatkan sertifikat dari Vrije Universiteit Amsterdam, ia juga pernah mendapatkan sertifikat advance English dari World English Institute Amerika karena telah menyelesaikan kursusnya selama setahun.
Di samping mendapatkan sertifikat dari beberapa negara, keuntungan lain yang dia peroleh dari belajar bahasa Inggris adalah menguasai ilmu pengetahuan lain. Contohnya, dulu ia tidak bisa ambil jurusan musik. Namun sekarang ia dapat belajar musik secara mandiri bahkan bisa menguasai banyak alat musik karena belajar dari musisi-musisi internasional dari Youtube.”, pungkasnya.
Di kesempatan lain, Kiki juga pernah membagikan cerita hidupnya di adigunawaninstitute.com. Di sana ia bercerita tentang lika-liku kehidupan yang membuatnya depresi sampai ingin bunuh diri yang sempat terlintas di benaknya.
“Saya memiliki sakit Graves akut yang menyebabkan kebutaan permanen. Graves adalah penyakit yang menyerang sistem imun sehingga saya mudah lelah dan sakit. Ketika pandemi datang, pengobatan yang biasanya saya jalani sempat terhenti dan akibatnya saya mengalami demam tinggi yang berkepanjangan”, ungkapnya.
Namun, Kiki bukanlah pribadi yang ketika tenggelam tidak mencoba bangkit kembali. Ia menguatkan hati dan berusaha agar tetap bisa bertahan di setiap kondisi.
“Tidak ingin berlama-lama merasa depresi, saya mulai mengisi keseharian saya dengan berbagai aktivitas untuk mengembangkan potensi diri. Saya mulai mengikuti banyak training kerja online gratis dari luar negeri dan dalam negeri yang dikhususkan untuk difabel. Saya bersyukur karena setelah pandemi saya sudah mendapatkan 40 lebih sertifikat dari dalam dan luar negeri, jelasnya bangkit dari keterpurukan.
Kiki adalah pribadi yang tangguh dan memaksimalkan potensi yang ia miliki agar dapat mengurangi ketergantungannya pada orang lain. Selain kuliah, ia juga bekerja sebagai content writer dan jurnalist. Ia juga selalu menyandarkan segala sesuatunya pada Tuhan dan selalu memiliki pengharapan agar kehidupan serta penghidupan para difabel lebih baik lagi.
“Setiap permasalahan hidup pasti ada hikmat yang bisa dipelajari. Saya percaya Tuhan memproses umatNya melalui kesukaran untuk menciptakan pribadi yang
tekun dan tahan uji. Secara pribadi selama pandemi, Tuhan membentuk saya menjadi pribadi yang pantang menyerah, pemberani, sabar dan juga pekerja keras.
Sebagai orang yang memiliki kemampuan yang berbeda, Kiki berharap agar perluasan dan kesetaraan lapangan pekerjaan untuk difabel dapat lebih diperhatikan. Dengan demikian para difabel bisa lebih mandiri dan tidak bergantung sepenuhnya pada keluarga dan orang disekitarnya, tutupnya.[]
Reporter: ZAF
Editor : Ajiwan