Views: 8
Solidernews.com – Krisis iklim merupakan ancaman serius yang tidak hanya mengganggu keseimbangan ekosistem global, tetapi juga mengancam kelangsungan hidup manusia di Bumi. Pemanasan global yang disebabkan oleh peningkatan emisi gas rumah kaca telah memicu berbagai bencana alam ekstrem seperti banjir, kekeringan, kebakaran hutan, dan gelombang panas yang merusak lingkungan dan mengancam ketahanan pangan serta kesehatan masyarakat. Salah satu kontributor utama dari emisi ini adalah penggunaan kendaraan pribadi yang berbahan bakar fosil, yang secara signifikan menyumbang polusi udara dan pelepasan karbon dioksida ke atmosfer. Kendaraan bermotor yang semakin banyak digunakan tidak hanya meningkatkan jejak karbon individu, tetapi juga memperparah degradasi lingkungan melalui pencemaran udara yang berkontribusi pada masalah kesehatan seperti penyakit pernapasan dan kardiovaskular. Selain itu, pembangunan infrastruktur jalan untuk kendaraan pribadi sering kali mengakibatkan perusakan habitat alami, deforestasi, dan fragmentasi ekosistem, yang semakin mempercepat hilangnya keanekaragaman hayati.
Per Agustus 2024, Indonesia memiliki sekitar 164 juta unit kendaraan bermotor, dengan 137 juta di antaranya adalah sepeda motor, atau sekitar 83% dari total kendaraan. Sebagai respons, Pemerintah Indonesia sendiri mulai mendorong penggunaan transportasi publik sejak 15 Januari 2004 melalui peluncuran Transjakarta, sistem bus rapid transit pertama di Asia Tenggara. Upaya ini bertujuan mengurangi ketergantungan pada kendaraan pribadi dan menurunkan dampak negatif terhadap lingkungan.
Tetapi pada kenyataannya, jumlah penggunaan kendaraan pribadi yang terus meningkat setiap tahunnya membuktikan kegagalan upaya yang telah dilakukan Pemerintah sejak tahun 2004. Beberapa penyebab utamanya adalah kurangnya edukasi, harga kendaraan pribadi yang terbilang murah, pola pikir masyarakat dan tidak meratanya program transportasi publik yang dicanangkan oleh Pemerintah. Akhirnya terjadi lonjakan angka penggunaan kendaraan pribadi dari tahun ke tahun. Ketergantungan masyarakat terhadap kendaraan pribadi ini mencerminkan pola konsumsi dan gaya hidup yang tidak berkelanjutan, di mana kenyamanan jangka pendek diprioritaskan tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang bagi kesehatan Bumi dan lingkungan. Oleh karena itu, amat penting bagi Pemerintah untuk mengkampanyekan pengurangan penggunaan kendaraan pribadi dengan menggalakkan transportasi umum, beralih ke kendaraan listrik, serta mendukung kebijakan ramah lingkungan yang mengedepankan efisiensi energi dan konservasi alam.
Difabel sebagai bagian dari masyarakat memiliki kewajiban yang sama untuk berkontribusi dalam upaya mengurangi penggunaan kendaraan pribadi demi menjaga lingkungan. Namun, pertanyaan penting muncul: apakah hal ini benar-benar memungkinkan bagi mereka mengingat kondisi aksesibilitas dan akomodasi pada transportasi publik yang masih jauh dari memadai? Pada kenyataannya, banyak masyarakat difabel menghadapi berbagai hambatan serius saat menggunakan transportasi umum, mulai dari minimnya fasilitas ramah difabel seperti akses kursi roda, jalur khusus, hingga kurangnya informasi dan pelayanan yang inklusif. Kondisi ini seringkali membuat difabel lebih memilih kendaraan pribadi sebagai satu-satunya pilihan yang nyaman dan aman untuk mobilitas mereka.
Ira, seorang difabel pengguna kursi roda) saat diwawancarai oleh Solidernews (11/06/2025) memvalidasi hal tersebut. Menurutnya, transportasi publik yang ada saat ini masih jauh dari kata inklusif. Di Makassar, tempatnya tinggal, ia harus berpikir dua tiga kali untuk sekadar memutuskan keluar dari rumah. Pete-pete (angkutan kota) yang merupakan transportasi umum yang paling mudah ditemukan di jalanan raya sama sekali tidak akses bagi kondisi Ira. Dia juga mengomentari Bus Kementerian Perhubungan bernama Maminasata yang beroperasi di Kota Makassar, yang tidak sepenuhnya ramah baginya.
“Maminasata itu jika dibilang akses, ya akses-akses saja. Kursi roda bisa masuk ya lewat belakang. Tapi itu juga harus dibantu untuk mendorong kursi rodanya. Misalnya saya mau bepergian sendiri apakah bisa? Apakah ada yang mau bantu? Apakah supirnya dibekali dengan pengetahuan bagaimana membantu seorang pengguna kursi roda? Sepertinya tidak ya karena beberapa kali jika saya bepergian, tidak ada supir yang membantu saya. Hanya membiarkan pendamping saya sendirian, susah payah, mencoba untuk mendorong kursi roda saya yang berat,” ucapnya tegas.
Sebenarnya, transportasi publik yang aksesibel bagi difabel merupakan aspek krusial dalam menciptakan masyarakat yang inklusif dan setara. Dengan menyediakan fasilitas yang ramah bagi difabel seperti ramp, lift, kursi roda, dan petunjuk suara atau visual, transportasi publik tidak hanya memudahkan mobilitas masyarakat difabel tetapi juga membuka kesempatan yang sama dalam mengakses pendidikan, pekerjaan, dan layanan sosial lainnya. Jika transportasi publik tidak aksesibel, banyak difabel yang terpaksa menggunakan kendaraan pribadi atau jasa transportasi yang tidak ramah lingkungan, sehingga kemungkinan mereka untuk berkontribusi pada peningkatan polusi dan kerusakan Bumi menjadi semakin tinggi. Sebaliknya, dengan sistem transportasi publik yang inklusif dan mudah diakses, difabel dapat beralih menggunakan kendaraan umum yang lebih ramah lingkungan, mengurangi emisi karbon, serta meminimalisir dampak negatif terhadap lingkungan.
Dalam sebuah webinar yang diselenggarakan oleh komunitas Gelitik pada 11 Juni 2025, Arya Yoga Ruditha, Alumni The University of Queensland sekaligus Analis Kebijakan Ahli Pertama di Kementerian Perhubungan RI, memaparkan berbagai langkah progresif yang telah diambil oleh Kementerian tersebut. Salah satu inisiatif penting adalah pembentukan tim inklusi di dalam Kementerian Perhubungan, yang menjadi wujud nyata upaya Pemerintah pusat dalam menciptakan transportasi publik yang ramah bagi masyarakat difabel. Tim ini tidak hanya bertugas bekerja sama untuk meningkatkan aksesibilitas, tetapi juga memastikan seluruh moda transportasi benar-benar ramah dan nyaman bagi difabel. Menurut Yoga, transportasi yang aksesibel mencerminkan kemajuan cara berpikir dan peningkatan pengetahuan suatu negara. Ia juga menekankan bahwa aspek inklusi bukan sekadar soal pembangunan fisik, tetapi juga melibatkan sikap dan pelayanan petugas terhadap penumpang difabel. Dengan pendekatan yang menyeluruh ini, diharapkan transportasi publik di Indonesia bisa menjadi lebih inklusif, sehingga seluruh masyarakat dapat merasakan manfaatnya secara setara.
“Memang harus diakui transportasi publik kita sekarang belum inklusif, sangat belum. Ini juga adalah dampak dari pembangunan. Kendala yang dihadapi kan adalah anggaran, pun kita mengajukan perbaikan itu menunggunya bisa lama. Ini semua disebabkan oleh waktu pembangunan. Di mana rata-rata bangunan kita, fasilitas kita sekarang adalah warisan dari tahun 80 atau 90an. Di saat itu belum banyak orang berpikir tentang pentingnya aksesibilitas. Jadi tantangan kita di situ,” ujarnya.
Di tengah kenyataan bahwa transportasi publik di Indonesia belum sepenuhnya ramah terhadap masyarakat difabel, persoalan kemandirian individu difabel itu sendiri juga menjadi tantangan besar sekaligus panggilan kritis terhadap sistem yang gagal menjamin inklusivitas. Sebenarnya, difabel dapat mandiri dalam mobilitasnya, asalkan tersedia fasilitas pendukung yang memadai, seperti trotoar yang ramah difabel dan transportasi publik yang benar-benar aksesibel. Langkah mandiri seperti memanfaatkan kendaraan ramah lingkungan—misalnya sepeda listrik dengan modifikasi aksesibilitas—bisa menjadi solusi pragmatis yang sekaligus akan mengurangi potensi kerusakan lingkungan. Namun, bagi difabel dengan ragam tertentu, seperti difabel netra yang tidak memungkinkan menggunakan kendaraan tersebut secara mandiri, perlu diciptakan jaringan solidaritas komunitas dan sistem pendampingan sukarela yang mengutamakan prinsip keberlanjutan, misalnya layanan berbagi perjalanan ramah lingkungan yang melibatkan relawan dan teknologi pendukung. Langkah ini bukan hanya akan menjadi adaptasi individu, melainkan tekanan moral kepada Pemerintah dan penyelenggara transportasi untuk segera memperbaiki sistem yang belum sepenuhnya ramah bagi masyarakat difabel.
Dalam webinar yang digelar oleh komunitas Gelitik tersebut, juga hadir sebagai pembicara Suryandaru, Alumni Flinders University, Customer Advocate di Women and Children Health Network (Adelaide, Australia) yang juga sekaligus Kepala Biro Hukum dan Advokasi DPD Pertuni Jateng. Secara pribadi, ia mengapresiasi langkah-langkah pembenahan yang telah diambil oleh Pemerintah. Misalnya saja dengan menyediakan opsi pembayaran menggunakan kartu, membangun stasiun dengan bidang miring dan beberapa fasilitas akses lainnya. Tetapi ia menyoroti beberapa hal penting. Khususnya terkait teknologi yang dapat memudahkan pemenuhan hak aksesibilitas bagi masyarakat difabel yang di sisi lain, juga tetap harus dievaluasi dengan ketat. Layanan transportasi publik yang aksesibel memerlukan teknologi mutakhir. Misalnya saja seperti deskripsi real time dan juga akomodasi portable.
“Kenyataannya meski dibantu oleh teknologi, juga masih ada juga transportasi publik yang tidak akses atau ramah difabel,” ucap difabel netra yang adalah aktivis tersebut.
Menjaga Bumi dan mengurangi penggunaan kendaraan pribadi merupakan langkah krusial dalam menghadapi krisis iklim dan polusi udara yang semakin memburuk di Indonesia. Transportasi publik yang ramah lingkungan seharusnya menjadi solusi utama untuk mengurangi emisi karbon dan kemacetan, namun kenyataannya aksesibilitas transportasi umum masih jauh dari kata inklusif, terutama bagi masyarakat difabel. Banyak fasilitas transportasi publik di Indonesia belum didesain untuk memenuhi kebutuhan difabel, mulai dari minimnya fasilitas akses fisik seperti ramp dan lift, hingga kurangnya informasi yang dapat diakses oleh difabel sensorik. Kondisi ini secara langsung menghambat partisipasi difabel untuk menggunakan transportasi umum, sehingga mereka sering kali terpaksa menggunakan kendaraan pribadi atau bergantung pada orang lain. Padahal, jika transportasi publik bisa diakses dengan mudah oleh semua kalangan, termasuk difabel, maka kontribusi dalam mengurangi polusi dan dampak negatif kendaraan pribadi akan jauh lebih optimal. Data dari Kementerian Perhubungan mengungkapkan bahwa sektor transportasi menyumbang sekitar 30% emisi karbon nasional, menegaskan urgensi pengembangan transportasi yang tidak hanya ramah lingkungan, tapi juga inklusif. Tanpa adanya kebijakan tegas dan implementasi nyata untuk meningkatkan aksesibilitas, upaya pengurangan emisi akan terhambat dan difabel pun tetap terpinggirkan dalam sistem mobilitas nasional. Oleh karena itu, memastikan transportasi publik yang mudah diakses dan nyaman bagi masyarakat difabel bukan hanya soal keadilan sosial, tetapi juga bagian dari strategi menyeluruh untuk menjaga Bumi dan menciptakan masa depan yang lebih berkelanjutan bagi seluruh masyarakat.[]
Reporter: Yoga ID
Editor : Ajiwan