Views: 12
Solidernews.com – Veriyanto Sitohang, salah seorang komisioner di Komnas Perempuan mengaku dihubungi oleh banyak media terkait dengan kasus kekerasan seksual yang terjadi di Nusa Tenggara Barat, atau Lombok, tepatnya. Lantas pihaknya memberikan respon dan merasa penting untuk mempertemukan tiga lembaga HAM untuk menggelar konferensi pers. Ketiga lembaga tersebut adalah Komnas Perempuan, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Komisi Nasional Disabilitas (KND). Konferensi Pers diselenggarakan pada 11 Desember 2024.
Mewakili Komnas Perempuan, Bahrul Fuad mengatakan bahwa masih jadi bagian dari rangkaian peringatan 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (HAKTP), dan di saat yang sama diperhadapkan dengan adanya kasus kekerasan seksual yang diduga dilakukan oleh IWS, pria berusia 22 tahun yang kemungkinannya korbannya itu sampai 15 orang perempuan dan ada anak-anak. Bahrul Fuad menyatakan bahwa kasus-kasus kekerasan seksual seperti ini menunjukkan pola dan modus kekerasan seksual yang semakin beragam. Hal ini juga menuntut masyarakat agar lebih terus meningkatkan pengetahuannya terkait dengan pola-pola kekerasan seksual yang seringkali sulit dikenali.
Bagi Komnas Perempuan, banyak media yang menanyakan apa mungkin seorang laki-laki difabel dengan kondisi yang dialami oleh IWS melakukan tindakan kekerasan seksual, di mana ia tidak memiliki dua tangan, hal itu semakin menunjukkan bagi pihaknya bahwa sesungguhnya secara verbal, modus juga digunakan termasuk juga manipulasi sehingga kemudian kekerasan seksual bisa terjadi. Ini membuatnya semakin memahami bahwa orang dengan disabilitas selain menjadi korban juga bisa menjadi pelaku. Namun demikian Komnas Perempuan berharap bahwa ada penanganan tindak pidana yang berperspektif disabilitas dan ini sangat dibutuhkan, kemudian kewajiban masing-masing pihak korban dan pelaku serta saksi bisa dipenuhi berdasarkan undang-undang. Ia berharap bahwa apa yang disampaikan ini, semakin menjelaskan bagaimana sesungguhnya kekerasan seksual bisa terjadi oleh difabel.
Bahrul Fuad berharap bahwa dengan adanya konferensi pers menjadi pembelajaran kepada publik dan ada upaya-upaya penanganan karena Indonesia sudah memiliki Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) dan semoga tetap bisa memberikan masukan kepada para pihak dalam melakukan penanganan kasus ini khususnya juga mendukung pemenuhan hak-hak korban atas pemulihan perlindungan dan juga penanganan yang terbaik sesuai dengan undang-undang.
Bahrul Fuad menjelaskan.bahwa pihaknya telah berkoordinasi dengan pendamping hukum dan juga mendalami kasus ini dan di Komnas Perempuan sedang mendalami kasus untuk kemudian dikombinasikan dengan bareskrim polri ini sudah langsung ke lapangan untuk melakukan asisten simulator.
“Nah, saat ini yang berkembang di masyarakat adalah bahwa orang tidak percaya bahwa kasus ini bisa terjadi dan cenderung untuk memposisikan korban yang memulai, yang berperan juga di dalam kasus ini. Oleh karena itu memang kasus ini harus ditangani dengan serius,” ujar Bahrul Fuad.
Komnas Perempuan terus memantau dan mendalami kasus ini untuk memastikan bahwa proses hukum berjalan dengan adil, transparan dan berharap aparat penegak hukum secara konsisten menerapkan undang-undang nomor 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dan Komnas Perempuan sangat mendorong agar para korban ini khususnya korban anak juga dapat mendapatkan haknya untuk pemulihan, baik fisik dan psikologis.
Ada Korban Anak dalam Kasus IWS
Dian Sasmita, Komisioner KPAI mengingatkan bahwa selama ini korban kekerasan seksual termasuk korban anak, selalu mendapatkan pemberitaan yang luar biasa sehingga tidak hanya fisik namun psikis yang dapat mempengaruhi tumbuh kembangnya. Bahkan proses anak dalam mencapai masa depannya yang lebih baik. Untuk itu upaya pemulihan dan dukungan ketika proses hukum ini sangat penting. Dian Sasmita melihat memang masih ada tantangan, tidak hanya pada kasus ini namun juga pada kasus-kasus yang lain, khususnya kekerasan seksual terkait tantangan pendampingan pada anak. Sering kali memang pendampingan pada korban anak membutuhkan pendekatan-pendekatan khusus. Maka tinggal dibutuhkan keterampilan khusus kepekaan para penyedia layanan sebab semua kepentingan terbaik bagi anak diupayakan strategi- strategi khusus.
Dian juga berharap upaya-upaya mengungkap kasus ini supaya menggunakan pendekatan scientific resume yang bisa menjadi pendekatan yang umum oleh para penegak hukum, kemudian pendampingan secara psikologis mendorong sekali diupayakan, dioptimalkan kepada korban anak dan dewasa. Tidak hanya ketika proses hukum namun juga sampai akhir, sampai korban ini mampu menjadi individu yang lebih baik lagi. Tidak hanya pada individu atau korban tersebut tapi juga pada keluarga dan dibutuhkan edukasi kepada masyarakat terkait dengan kekerasan pencegahan sehingga masyarakat tidak malah memberi label kepada para korban. Peran pemerintah daerah sangat penting di sini menurut Dian.
Jonna Damanik, komisioner KND berkesempatan melakukan pemantauan langsung ke NTB dan pertama kali berkoordinasi dengan Komisi Difabel Daerah daerah yang mendampingi tersangka sekaligus menyiapkan pendamping hukum, membantu polisi dalam melakukan personal asesmen. Ternyata komisi daerah disabilitas banyak menerima aduan dari para korban. Juga kepolisian bahwa pesannya adalah difabel dalam pemantauan apakah sudah dipenuhi hak-haknya sesuai mandat Undang-Undang 8 tahun 2016 dan peraturan pemerintah nomor 39 tahun 2020 terkait Akomodasi yang Layak bagi penyandang disabilitas di proses peradilan. “Kami dapat simpulkan Polda NTB sudah melakukan amanat dan kebijakan tersebut melakukan personal assessment sehingga tahu apa hambatan potensi sekaligus kebutuhan, “ujar Jonna.
Tersangka pada saat ini dilakukan tahanan rumah, adalah salah satu bentuk keputusan Polda NTB dalam pemenuhan mandat kebijakan mandat undang-undang terkait Akomodasi yang Layak.
Di sesi diskusi Bahrul Fuad menambahkan difabel adalah manusia pada umumnya yang bisa menjadi tersangka atau pun pelaku dan bisa menjadi korban maupun saksi dan dia (AWS) melakukan bukan karena kedisabillitasannya. Tentu akan beda persoalan misalnya jika itu sebuah peristiwa terjadi pada anak dengan disabilitas intelektual atau anak autis yang tiba-tiba memeluk seseorang kemudian dia berlari. Tentu ini butuh asesmen yang lain lagi dari para ahli.
“Mari kita kawal bersama dengan teman-teman media saya sangat berharap temen-temen media bisa berperan aktif di dalam mengawal kasus ini dan menegakkan pandangan masyarakat dan juga para tenaga hukum supaya menangani kasus ini secara obyektif dan transparan, “pungkas laki-laki yang kerap dipanggil Cak Fu tersebut.[]
Reporter: Astuti
Editor : Ajiwan