Views: 47
Solidernews.com – Ide tulisan ini ada karena penulis mendengar pengalaman dari akun tiktok dengan id stellunelala. Pada media tersebut ia menceritakan pengalamannya pada saat mendaftar beasiswa Australian awardee scholarship atau yang disingkat dengan AAS. Ketika ia mendaftar beasiswa tersebut sebagai perempuan yang memiliki difabel autistik ia menemukan kesulitan. Kendala yang ia alami adalah pada saat ia harus mendapatkan diagnosis ulang untuk autistiknya karena diagnosis autismenya yang dulu ia dapatkan Ketika dulu masih tinggal di amerika Ketika masih kecil, sedangkan surat diagnosisnya saat ini haruslah berasal dari Indonesia. Terapisnya lala menyatakan bahwa mendapatkan diagnosis autisme untuk individu dewasa adalah hal yang hampir tidak mungkin karena alat diagnosis yang umumnya ada di Indonesia adalah alat diagnosis autisme untuk anak-anak. Terapisnya juga menyatakan andaikan ada alatnya pun, alat tersebut masih berbahasa inggris sedangkan aturannya adalah alat tersebut harus diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia terlebih dahulu baru bisa digunakan.
Hal tersebut membuat terapisnya lala menuliskan kepada pihak beasiswanya agar Lala bisa di diagnosis ulang oleh negara tempat penyelenggara beasiswa tersebut, dalam hal ini yaitu Australia. Dalam video tersebut, jujur Lala tidak yakin bahwa hal tersebut dapat dilakukan, namun ia berharap hal tersebut dilakukan.
Video tersebut menimbulkan berbagai komentar yang cukup beranekaragam, mayoritas isi komentarnya yaitu terkait curahan hati pada saat proses diagnosis berlangsung. Contohnya yaitu tulisan yang ditulis oleh akun dengan id meow.newo. Pada saat ia menanyakan kepada psikolog kampus tentang adakah kemungkinan si akun meow ini didiagnosis ADHD, psikolognya tersebut justru mengatakan bahwa jangan self-diagnosis. Namun pada saat meow ini benar-benar menceritakan gejala yang ia alami psikologi kampusnya justru dismisif.
Komentar lainnya ditulis oleh akun dengan id kayla_r089, ia menuliskan bahwa ia sebagai warga Indonesia baru mendapatkan diagnosis autisme dan ADHD pada saat ia berusia 19 tahun. Hal yang menyedihkannya adalah ia baru mendapatkan diagnosis tersebut bukanlah di Indonesia, melainkan di jepang pada saat proses kuliah berlangsung.
Komentar selanjutnya ditulis oleh akun tiktok dengan id heaevenly, ia menyatakan bahwa psikiaternya mengatakan kepadanya bahwa tidak ada assessment ADHD untuk orang dewasa, namun setelah ia menceritakan tentang gejalanya, ia hanya diberikan obat ADHD tanpa mendapatkan pernyataan resmi secara tertulis dari psikiaternya bahwa ia terdiagnosis ADHD. Padahal menurut penulis, pasien berhak untuk mendapatkan diagnosis dari tenaga Kesehatan yang memeriksa pasien tersebut.
Komentar berikutnya ditulis oleh akun dengan id lilsurz1, ia menyatakan bahwa ia mendapatkan diagnosis autismenya di Malaysia, kemudian ia menyarankan Lala sebagai pemilik akun agar pergi ke Malaysia atau Singapura untuk mendapatkan diagnosis autisme.
Komentar setelahnya datang dari beberapa akun menyatakan bahwa banyak dari mereka mengeluhkan tentang pengtehuan psikiater atau psikologi di Indonesia yang jauh tertinggal dibandingkan negara lain tempat mereka memeriksa. Parahnya lagi ada yang menyatakan bahwa banyak psikolog maupun psikiater di Indonesia yang menyatakan bahwa autistic, ADHD atau gangguan perkembangan lainnya hanya terjadi pada saat masih kecil dan akan “menghilang” pada saat sudah dewasa.
Kesimpulan yang bisa penulis ambil berdasarkan isi video tersebut dan komentar yang ada pada video tersebut adalah cara diagnosis di Indonesia untuk difabel mental masih tertinggal jauh dibandingkan negara-negara seperti Malaysia maupun Singapura. Ketertinggalan yang dimaksud adalah ketertinggalan dalam hal cara psikolog merespon klien yang kurang pantas, dari alat yang digunakan untuk mendiagnosis yang masih ketinggalan zaman diagnosis yang ketinggalan zaman dan dari segi pengetahuan tentang difabel mental tersebut dimana masih ada sebagian psikolog atau psikiater yang percaya bahwa difabel perkembangan hanya difabel yang terjadi sewaktu kecil dan akan menghilang seiring bertambahnya usia. Jika sistem diagnosis di Indonesia belum baik, bagaimana mungkin para orang dengan difabel tersebut dapat mendapatkan hak habilitasi dan rehabilitasi secara tepat sebagaimana yang diamanatkan pada UU 8 tahun 2016? Semoga saja Indonesia bisa memperbaiki sistem yang masih kurang baik ini kedepannya agar bisa menjadi lebih baik lagi.[]
Penulis: Rahmat Fahri Naim
Editor : Ajiwan
Biodata penulis
Rahmat Fahri Naim merupakan individu dengan difabel ganda. Pertama ia memiliki kondisi spektrum autisme. Kedua, ia memiliki kondisi narkolepsi, kondisi yang masuk dalam kategori gangguan langka atau rare disorder. Saat ini tergabung di Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel Indonesia. Ia memiliki minat untuk mendalami isu isu Invisible Difability atau yang dalam Bahasa Indonesianya disebut difabel tak kasat mata. Penulis bisa dihubungi melalui akun r_fahri_n yaitu id instagramnya.