Views: 3
Solidernews.com, Yogyakarta – Berpartisipasi di ruang-ruang publik dan kehidupan sehari-hari, menjadi hal yang tidak mudah bagi orang dengan hambatan pendengaran (tuli).
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), tuli merupakan gangguan pendengaran berat, yang berarti peyandangnya memiliki kemampuan mendengar yang sangat terbatas atau tidak mendengar sama sekali. Untuk memudahkan dalam berkomunikasi, kelompok tuli biasanya menggunakan bahasa isyarat.
Mereka membutuhkan akses informasi spesifik (visual), yang dapat ditangkap dengan indera penglihatan. Misalnya: gambar dengan sub-tittle (keterangan) sebagai penjelasan. Ketika informasi berupa audio-visual, tuli membutuhkan juru bahasa isyarat (JBI), untuk mengaksesnya.
Namun, hal tersebut belum banyak tersedia pada berbagai layanan publik. Terbatasnya komunitas tuli mengakses layanan publik, satu-satunya karena tidak adanya fasilitas ramah bagi mereka. Masalah penting bagi tuli, namun sering kali tak mendapatkan perhatian.
Tersebut di atas, terjadi pada agenda penting yang dihelat Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Yogyakarta. Hari itu, Kamis (9/1/2025). Dihelat rapat pleno terbuka penetapan pasangan calon walikota dan wakil walikota terpilih. Sebagai informasi, KPU Kota Yogya telah menetapkan Hasto Wardoyo-Wawan Harmawan sebagai Wali Kota dan Wakil Wali Kota Yogya terpilih. Rapat digelar di Malioboro Hotel dan disiarkan secara langsung melalui media sosial Youtube. Sayangnya, agenda penting tersebut, tidak menyediakan JBI. Baik pada penyelenggaraan secara offline, maupun yang disiarkan melalui Youtube.
Tuli menyoroti
Hal tersebut menjadi catatan sekaligus pertanyaan komunitas tuli Kota Yogyakarta. Laksmayshita, satu di antaranya. Pengurus Gerakan Kesejahteraan Tuna Rungu Indonesia (Gerkatin) Kota Yogyakarta itu, menyoroti ketiadaan JBI pada agenda di atas. Ia mengaku sama sekali tak paham, menyaksikan seluruh rangkaian agenda KPU tersebut.
Dia juga mengatakan, bahwasanya hal tersebut tak biasa dilakukan KPU Kota Yogyakarta. “Baru kali itu KPU Kota Yogyakarta tidak menyediakan penerjemah bahasa bagi tuli (JBI). Nampaknya KPU lupa, ada kami pemilih tuli yang juga berhak atas informasi. Sebelumnya, selalu ada. Apakah saat sosialisasi, pendidikan pemilih dan sebagainya,” ujar Laksmayshita.
Jika kebanyakan masyarakat mengakses informasi melalui suara, kata Shita, kami, komunitas tuli, mengakses informasi melalui gambar dengan penjelasan, bahasa isyarat atau tulisan. “Keterbatasan memperoleh informasi, berdampak pada kami, para tuli, kehilangan hak secara beruntun. Apakah itu terhadap pengetahuan, keterlibatan dalam masyarakat, hingga kesejahteraan tuli,” tandasnya.
Lebih anjut disampaikan Shita, bahwa akomodasi yang layak sudah diatur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Undang-undang ini mengatur tentang hak-hak penyandang disabiloitas, termasuk ketersediaan JBI untuk tuli. Pasal 36 undang-undang tersebut, mengatur dan mengeikat negara melakukan pemenuhan hak.
“Bagaimana pun, konsistensi itu perlu dibangun dan dijaga. Dalam hal ini, spesifik rapat terbuka pleno penetapan calon pasangan walikota dan wakil walikota, KPU masih audis. Yaitu melakukan diskriminasi terhadap mereka yang mengalami gangguan pendengaran (tuli),” pungkas ibu seorang putri itu.
Tanggapan Ketua KPU
Dikonfirmasi perihal ketiadaan JBI pada rapat pleno terbuka tersebut, Ketua KPU Kpota Yogyakarta, Noor Harsya Aryo Samudro, menyampaikan tanggapannya. Dia mengatakan permintaan maafnya, sekaligus menerima masukan.
Menurut Hasrya, hal tersebut terkait divisi teknis, yang kurang memahami kebutuhan dan hak informasi bagi disabilitas. “Terima kasih untuk masukannya. Mohon maat atas kesalahan kami. Hal itu terkait divisi teknis, yang kurang memahami kebutuhan hak informasi bagi disabilitas. Tuli dalam hal ini,” tanggapannya, Kamis (9/1/2015).
Analisa bebas
Ada beberapa alasan mengapa penyediaan akses untuk komunitas tuli sangat terbatas. Pertama, adanya pengabaian baik dari masyarakat maupun penyelenggara negara, terhadap keragaman cara berkomunikasi. Hal ini sering kali muncul akibat stigma dan anggapan sesat, bahwa tuli tidak membutuhkan informasi.
Pada akhirnya, banyak orang menjadi tidak tahu mengenai hak orang tuli. Terlebih adanya berbagai undang-undang, aturan, dan cara menyediakan informasi bagi tuli, sehingga mudah diakses.
Kedua, masyarakat menganggap penyediaan juru bahasa isyarat dan pemasangan subtitle video memakan banyak tenaga dan biaya. Hal inilah yang membuat fasilitas kontribusi komunitas yang sebelumnya ada di Youtube sangat membantu komunitas tuli.
Kondisi tersebut diperparah dengan, minimnya keterlibatan tuli di sektor publik. Demikian juga pada pengambilan kebijakan.
Untuk menjamin pemenuhan hak-hak penyandang tuli, pemerintah harus memantau dan mengevaluasi kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah pusat hingga pemerintah daerah, sebagaimana telah diatur dalam Pasal 27 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.[]
Reporter: Harta Nining Wijaya
Editor : Ajiwan Arief