Views: 12
Solider.id, Yogyakarta. LAYAR sentuh (touchscreen) merupakan jenis layar yang peka atau sensitif terhadap sentuhan manusia atau perangkat khusus yang disebut stylus. Saat ini, teknologi layar sentuh digunakan di hampir semua benda elektronik. Di antaranya, layar mesin ATM (anjungan tunai mandiri), plikasi penunjuk jalan atau GPS (Global Positioning System), monitor medis, komputer, telepon genggam, serta masih banyak lagi lainnya.
Awam mengatakan, teknologi layar sentuh ini telah banyak memudahkan hidup masyarakat. Namun, tidak demikian bagi orang dengan hambatan penglihatan total atau buta (tottaly blind). Mereka tidak merasakan manfaat yang sama, sebagaimana awam. Sebab, meraba, adalah hal yang membantu dalam menjalankan aktivitas sehari-hari.
Sarana prasarana yang dapat dirasakan dan dipegang, adalah yang memudahkan keseharian mereka. Sebagai contoh, pemandu jalan (guiding block) yang bisa dirasakan oleh tongkat mereka. Atau keberadaan tombol bertekstur (timbul) yang dapat ditekan.
Teknologi touch screen, terlebih tanpa suara, sudah barangtentu menyulitkan para tottaly blind. Karena mereka tidak tahu apa yang mereka sentuh. Kondisi demikian menjadi krusial, ketika mereka harus mengisi PIN ATM, sebagai contoh. Jika, fasilitas perbankan ini menggunakan teknologi touch screen.
Atau jika, suatu saat tombol-tombol pada semua lift atau elevator digantikan dengan teknologi layar sentuh tersebut? sudah barangtentu menjadi sarana publik yang tidak dapat diakses oleh mereka yang mengandalkan perabaan dalam kesehariannya. Lift atau elevator merupakan angkutan transportasi vertikal dalam bangunan bertingkat yang digunakan untuk mengangkut orang atau barang. Pada umumnya digunakan di gedung-gedung bertingkat tinggi.
Sekilas, lift tampaknya merupakan mesin paling tidak berbahaya yang digunakan setiap hari. Namun terkadang lift juga bisa menjadi menakutkan. Bagaimana jika difabel netra berada dalam lift, yang menggunakan teknologi touchscreen. Bisa jadi panik karena tak ada kawan, tak tahu apa yang harus ditekan.
Hal tersebut diiyakan Syifa, difabel netra siswa SMP Yaketunis. “Jika semua sarana terutama sarana publik menggunakan touchscreen, kami yang buta ini akan makin menderita. Makin jauh dari hidup mandiri,’ ujarnya.
Demikian pula Riza, seorang tottaly blind karena kecelakaan. Pria yang sehari-hari membuka jasa pijat di daerah Bantul, ini juga mengaku mengalami hambatan ketika menggunakan teknologi layar sentuh. Khususnya ketika tidak dibarengi dengan adanya aksesibilitas suara.
Bagi Riza, teknologi yang dibutuhkan tunanetra ialah yang bisa diraba dan bersuara. Atau layar sentuh, tetapi dilengkapi dengan fasilitas suara. Memang, kata dia, teknologi kini menjadi bagian penting dalam kehidupan tunanetra. Akan memudahkan, jika teknologi layar sentuh tetap dibarengi dengan fasilitas suara. Jika tidak, pasti akan menyulitkan. Demikian Riza memberikan pointer atas kemajuan teknologi akhir-akhir ini.
Diatur dalam CRPD
Melansir History Computer, teknologi layar sentuh sejatinya sudah ada selama hampir setengah abad. Eric Arthur Johnson, seorang insinyur di Royal Radar Establishment di Malvern, Inggris disebut merupakan orang pertama yang mengembangkan teknologi layar sentuh pada 1965.
Pada awal 1972, insinyur Denmarks yang bekerja di CERN bernama Bent Stumpe juga mengembangkan teknologi layar sentuh. Bent berhasil membangun layar sentuh dengan sejumlah tombol yang dapat diprogram serta memiliki konsol seperti bolsa sebagai pengarah (sebagaimana mouse) dan tombol yang dapat diprogram. Layar sentuh pertama buatan Stumpe, dipasang pada 1973 dan tetap beroperasi hingga 2008 di CERN
Jika teknologi terus berkembang tanpa mempertimbangkan komunitas tottaly blind, artinya perjuangan difabel netra masih jauh dari kata usai. Penyebaran touchscreen yang makin meluas, membuat masalah yang dihadapi kelompok ini menjadi lebih buruk dari sebelumnya.
Sementara kehidupan mandiri, menjadi hak yang melekat pada tiap-tiap individu. Hal tersebut pun tertuang dalam Convention on the Right of Person with Disability (CRPD) pada artikel atau pasal 19, hidup mandiri dan diikutsertakan dalam masyarakat.
Negara Pihak Konvensi ini mengakui hak yang sama bagi penyandang disabilitas (difabel), untuk hidup dalam masyarakat, dengan pilihan yang sama dengan yang lain. Dan, akan mengambil langkah-langkah yang efektif dan tepat untuk memfasilitasi penikmatan penuh oleh penyandang disabilitas atas hak ini dan keikutsertaan dan partisipasi penuh mereka di masyarakat.
Termasuk dengan memastikan bahwa, penyandang disabilitas memiliki kesempatan untuk memilih tempat tinggal mereka dan di mana dan dengan siapa mereka tinggal atas dasar kesetaraan dengan orang lain dan tidak diwajibkan untuk hidup dalam pengaturan hidup tertentu;
Penyandang disabilitas memiliki akses ke berbagai layanan dukungan di rumah, perumahan, dan komunitas lainnya, termasuk bantuan pribadi yang diperlukan untuk mendukung kehidupan dan inklusi dalam komunitas, dan untuk mencegah isolasi atau pemisahan dari komunitas;
Layanan dan fasilitas masyarakat untuk masyarakat umum tersedia atas dasar kesetaraan bagi penyandang disabilitas dan tanggap terhadap kebutuhan mereka.
Artikel 19 CRPD di atas, sangat jelas menyebutkan bagaimana hak atas hidup mandiri dan bersosial masyarakat bagi difabel digaris bawahi. Pemenuhannya, menjadi tanggung jawab bersama, antara pemerintah dan swasta sebagai penyedia sarana publik maupun privat. *** [harta nining wijaya]