Views: 64
Solidernews.com – Kehadiran teknologi telah menjadi pemandangan yang umum dalam berbagai aspek kehidupan, menandakan bahwa perkembangan zaman akan senantiasa diikuti oleh permintaan dan kebutuhan dalam ranah teknologi. Dampaknya terasa dalam peningkatan kompetensi yang dibutuhkan untuk menghadapi masa depan yang semakin modern dan kompleks. Salah satu bidang yang menggambarkan hal ini adalah teknologi robotic.
Dalam era ini, teknologi robotic dan bionik semakin menunjukkan kemampuannya dalam menghadapi tantangan dan memenuhi kebutuhan masyarakat. Namun, pertanyaan yang muncul adalah, Seberapa signifikan kontribusi teknologi bionik terhadap kesejahteraan masyarakat difabel?
Teknologi bionik memberikan dampak yang luar biasa bagi difabel. Melalui inovasi prostesis bionik yang semakin canggih, mereka dapat mengalami peningkatan signifikan dalam kualitas hidup dan kemandirian. Prostesis bionik tidak hanya membantu dalam mobilitas fisik, tetapi juga membuka peluang baru untuk pengalaman sensorik yang lebih baik. Dengan kata lain, teknologi bionik memberikan harapan baru bagi  difabel untuk menjalani kehidupan dengan lebih mandiri dan bermakna.
Pengenalan pertama terhadap kata “bionik” diperkenalkan oleh Jack E. Steele pada tahun 1958 ketika bekerja di Aeronautics Division House di Wright-Patterson Air Force Base, Dayton, Ohio. Steele mungkin terinspirasi oleh bahasa Yunani, “bi-on” yang berarti hidup, dan -ic yang berarti “seperti”, sehingga membentuk arti “seperti hidup”. Secara etimologi, bionik berasal dari penggabungan “Bio” dari Biologi dan “nik” dari elektronik (Juan, 2014).
Di Indonesia, bidang kedokteran telah mengembangkan konsep bionik. Bionik merupakan sebuah cabang ilmu baru yang lahir di Indonesia sejak tahun 1974 melalui riset dan eksperimen, sehingga pengetahuan ini didasarkan pada bukti-bukti yang diperoleh dari percobaan ilmiah. Fokus pengetahuan ini adalah untuk memahami fenomena-fenomena metafisik, seperti mistis, magis, supranatural, dan mukjizat, dengan menggunakan pendekatan saintifik, bukan berdasarkan pada mitologi atau kepercayaan/religi tertentu. Kreativitas dalam bidang bionik menjadi bukti bahwa manusia memiliki kemampuan unik, yaitu kemampuan berpikir dan bernalar yang berkembang.
Mari kita jelajahi konsep bionik. Bionik adalah medan lintas disiplin ilmu yang menggabungkan prinsip-prinsip biologi dengan teknologi demi menciptakan solusi yang menyerupai struktur dan fungsi organisme hidup. Dalam konteks difabel, perkembangan teknologi bionik membuka peluang besar untuk inovasi yang dapat membantu mereka mengatasi berbagai hambatan fisik. Bayangkan saja, prostesis bionik dengan sensor dan kontrol yang canggih dapat mengoptimalkan mobilitas  difabel netra, sementara mata buatan bionik dapat menghidupkan kembali sebagian kemampuan penglihatan atau memberikan informasi sensorik yang berharga. Dengan perkembangan pesat teknologi bionik, harapan untuk meningkatkan kualitas hidup difabel semakin terwujud melalui solusi yang semakin canggih dan terjangkau.
Contoh Kecil Bionik Mampu Memberikan Dampak Besar untuk  Difabel
Sebagaimana yang telah dimulai, Alwan tergerak oleh kesulitan yang dihadapi oleh teman-teman difabel dalam mencari alat bantu yang terjangkau. Dengan bimbingan dari guru dan dukungan dari orang tuanya, ia berhasil menciptakan tangan bionik yang dilengkapi dengan sensor tekanan, menggunakan force sensing resistor (FSR), dan dilengkapi dengan otak Arduino nano yang dapat ditempatkan di berbagai bagian tubuh. Dengan biaya produksi yang relatif rendah, sekitar Rp500 ribu, Alwan berhasil membawa karyanya ke berbagai ajang kompetisi nasional dan internasional.
Sementara itu, di lingkungan Institut Teknologi Bandung (ITB), mahasiswa dan dosen terlibat dalam pengembangan prostesis tangan palsu bionik yang mampu bergerak secara mekanik. Mereka menjalani perjalanan riset selama tiga tahun bersama Yayat, seorang drummer. Prostesis tangan yang terbuat dari bahan polyvinyl chloride (PVC) ini direncanakan akan dijual dengan harga yang terjangkau. Yayat sendiri menjadi salah satu yang mencoba dan menguji prostesis tangan tersebut.
Di belahan dunia lain, di Ohio, Amerika Serikat, Steve McMillin mengalami kondisi kebutaan yang langka, yaitu retinitis pigmentosa (RP). Kondisi ini diyakini hanya menimpa sekitar 100 orang di Amerika Serikat. RP merusak fotoreseptor di retina, sel-sel yang bertugas mendeteksi cahaya dan mengirimkan sinyal ke otak untuk diolah menjadi gambar.
McMillin memilih untuk menggunakan mata bionik dari sistem prostesis retina yang dikenal sebagai Argus II. Melalui proses operasi yang rumit, implan retina Argus II dipasang ke matanya. Setelah itu, McMillin menggunakan kacamata teknologi tinggi yang dilengkapi dengan kamera video kecil di dalamnya, membantu memperbaiki fungsi penglihatannya.
Menghadirkan Harapan Baru untuk Difabel Melalui Bionik Otak-Mesin Antarmuka
Pada era yang terus berkembang, upaya untuk meningkatkan kualitas hidup individu difabel telah mencapai puncaknya dengan hadirnya Otak-Mesin Antarmuka (OMA). Teknologi ini tidak hanya menjadi tonggak penting dalam pengembangan prostetik yang dapat dikendalikan secara mental, tetapi juga menjadi simbol inklusi bagi komunitas difabel. Dengan OMA, individu difabel dapat mengendalikan prostesis mereka dengan pikiran, membuka peluang baru untuk mobilitas dan kemandirian yang sebelumnya tak terbayangkan.
Meskipun harapan tinggi menyertai perkembangan OMA, realitasnya tidaklah semudah yang diharapkan. Tantangan teknis, seperti interpretasi sinyal otak yang kompleks, menjadi batu sandungan utama. Namun, tantangan sosial juga turut menghambat, termasuk aksesibilitas, keamanan data, dan keadilan. Pengembangan OMA harus menghadapi tantangan ini dengan mengutamakan desain antarmuka yang intuitif dan adaptif, serta memastikan bahwa teknologi ini dapat diakses oleh semua individu difabel, tanpa terkecuali.
Penggunaan OMA dalam prostetik membawa implikasi yang sangat relevan dalam membangun jembatan inklusi bagi individu difabel. Dengan memperluas batas kemandirian, mengatasi stigma, mendorong partisipasi aktif, menyediakan solusi yang adaptif, dan mendorong kesadaran serta inklusi, OMA menjadi kunci untuk membuka pintu menuju kesetaraan bagi difabel.
Konsep sensor sensitif dalam prostetik menjanjikan pengalaman yang lebih mendekati keaslian bagi pengguna. Dengan kemampuannya mendeteksi sentuhan, tekanan, suhu, dan bahkan rasa nyeri, sensor sensitif memainkan peran kunci dalam meningkatkan fungsionalitas prostetik. Melalui sensor sensitif, pengguna dapat merasakan lingkungan sekitarnya dengan lebih baik, mengontrol gerakan prostesis secara lebih presisi, dan mengurangi ketegangan psikologis yang sering terjadi.
Namun, tantangan teknis dan keuangan serta pertanyaan etika dan implikasi sosial tidak boleh diabaikan. Pengembangan sensor sensitif harus memperhitungkan hambatan ini sambil tetap memanfaatkan potensi besar untuk meningkatkan kualitas hidup individu difabel. Dengan terus melakukan penelitian dan inovasi, teknologi ini memiliki potensi besar untuk menjadi standar dalam desain prostetik di masa mendatang, membawa manfaat yang signifikan bagi kesetaraan dan inklusi bagi  difabel.
Dengan demikian, melalui pengembangan teknologi bionik seperti OMA dan sensor sensitif, kita melangkah maju dalam menciptakan dunia yang lebih inklusif dan merangkul kesetaraan bagi semua individu, tanpa terkecuali.[]
Penulis: Hasan
Editor       : Ajiwan
Sumber Tulisan:
- “Alwan Ciptakan Tangan Bionik untuk Penyandang Disabilitas” – https://www.vokasi.kemdikbud.go.id/read/b/alwan-ciptakan-tangan-bionik-untuk-penyandang-disabilitas
- “Penalaran Ilmiah dalam Ciptaan-Ciptaan Bionik (Bionic Inventions)” – Tomi Hidayat dan Armansyah Putra (2017)
- “Tangan Palsu Bionik Buatan Dosen ITB Dijajal Drummer Difabel” – https://difabel.tempo.co/read/1615697/tangan-palsu-bionik-buatan-dosen-itb-dijajal-drummer-difabel
- “Ilmuwan Sukses Pasang Mata Bionik pada Manusia” – https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20150911072832-199-78023/ilmuwan-sukses-pasang-mata-bionik-pada-manusia