Search
en id

Gunakan fitur ACCESSIBILITY melalui tombol simbol biru bagian kanan agak atas sebagai preferensi untuk kenyamanan Anda.

Orang berkursi roda mencari rumah. Sumber Freepik.com

Tak Mudahnya Hunian Sederhana Dimiliki Difabel

Views: 64

Solidernews.com, Yogyakarta. RUMAH atau hunian. Apakah itu sewa, magersari, atau numpang dengan keluarga (orang tua, saudara), tersembunyi cerita-cerita yang tidak selalu terdengar. Kisah itu datang dari mereka yang berjalan dengan kaki yang berbeda, berbicara dengan suara yang tak selalu dimengerti, atau memandang dunia dari kursi roda. Bagi difabel, rumah bukan hanya tempat tinggal, tetapi ruang yang menentukan apakah mereka bisa hidup dengan layak. Untuk hidup mandiri.

“Bagi saya, rumah bukan hanya tempat berteduh. Tapi tempat saya merasa utuh. Tapi untuk mendapatkannya, bukan perkara sederhana. Hingga usia saya kini 68 tahun, meski rumah sangat sederhana tak juga dapat kumiliki,” Widi, pengguna penguat kaki (brace).

Ibu dua anak ini, telah bertahun-tahun menempati rumah di tanah milik keraton (magersari). Sebuah rumah sempit, tepat di sebelah barat Keraton Yogyakarta. Ia dan suaminya, sama-sama menjadi pekerja sektor informal. Pendapatan mereka tak menentu. Dengan semakin bertambah usia, kini ia mengandalkan kursi roda untuk bermobilitas di sekitar rumah. Memasak di dapur yang dia letakkan di luar rumahnya, misalnya. Atau ke kamar mandi, yang berada agak jauh dari rumahnya.

Indonesia, dengan lebih dari 22 juta difabel menurut data BPS, masih menyimpan banyak pekerjaan rumah dalam mewujudkan hunian yang inklusif. Bagi sebagian besar difabel, memiliki rumah, bahkan yang paling sederhana sekalipun, bukanlah hal mudah. Bukan semata karena faktor ekonomi, tetapi juga karena sistem, desain, dan kebijakan yang belum berpihak.

 

Aksesibilitas isu utama

Permasalahan aksesibilitas menjadi isu utama. Rumah-rumah subsidi, rumah susun (rusun) untuk menyebutnya sebagai contoh. Perumahan rakyat ini dibangun tanpa memperhatikan kebutuhan khusus. Tidak ada jalur landai, pintu terlalu sempit, atau kamar mandi tidak bisa diakses kursi roda.

Sementara, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, jelas mengatur negara yang seharusnya menjamin aksesibilitas difabel ke perumahan yang layak. Namun pelaksanaannya di lapangan masih jauh dari ideal.

Selain desain fisik, masalah ekonomi juga jadi tembok penghalang besar. Banyak difabel mengalami diskriminasi kerja. Ujungnya hanya mampu bekerja di sektor informal, dengan penghasilan yang tak menentu.

Keterbatasan finansial membuat difabel sulit menjangkau cicilan rumah, apalagi memodifikasi rumah sesuai kebutuhan. Belum lagi akses ke bantuan perumahan dari pemerintah yang sering kali tidak mempertimbangkan faktor disabilitas dalam syarat penerima.

Menabung untuk memiliki rumah, dilakukan oleh keluarga difabel. Reza dan istrinya, mereka memupuk mimpi sederhana memiliki sebuah rumah. Meski hanya rumah kecil, bagi Reza memiliki rumah adalah harapan yang terus dia jaga. Namun, mimpinya yang sederhana terganjal oleh sistem dan birokrasi perbankan.

“Bank menolak pengajuan KPR saya karena saya bekerja serabutan. Padahal saya punya kemampuan membayar,” ungkap Reza, difabel netra yang mengandalkan hidup sebagai pemijat.

Lanjutnya, harapan tetap ada. Tetapi untuk benar-benar menjadikan rumah sebagai tempat yang ramah bagi semua, difabel misalnya. Perubahan sistem harus dimulai. Membangun kesadaran harus diwujudkan. Bahwa kebutuhan difabel bukan pengecualian, melainkan bagian dari keberagaman manusia.

“Kami tidak butuh rumah yang sempurna. Kami hanya ingin rumah yang memahami tubuh kami,” imbuh Reza.

 

Tak mudah

Di banyak kota dan desa di Indonesia, difabel masih sulit menemukan rumah yang benar-benar mendukung kebutuhan mereka. Bukan hanya karena harga tanah atau bangunan yang terus naik. Tetapi juga karena sebagian besar rumah, tidak dibangun dengan mempertimbangkan aksesibilitas.

Seorang dengan Cerebral Palsy Andika Indra Saputra, namanya. Pria ini telah menikah dengan seorang perempuan yang juga Cerebral Palsy. Atas dukungan warga dan pemerintah desa, pasangan ini membangun sebuah rumah di sebuah desa di Boyolali. “Bersyukur banget,” dua kata yang diucapkan Andika. Namun, rumah itu tidaklah nyaman bagi dirinya yang mengalami kekakuan pada kaki dan tangannya.

Memiliki rumah di kota, atau bahkan hanya menyewanya agar mudah menjangkau berbagai fasilitas publik menjadi mimpinya. Namun, lagi-lagi rumah-rumah bersubsidi, rumah susun (rusun) misalnya. Bangunan itu tak dibangun dengan mempertimbangkan kebutuhan spesifik calon penghuninya yang beragam.

“Ada rumah bersubsidi di beberapa lokasi, yaitu rusun. Tapi tidak bisa begitu saja ditempati. Tangga tinggi, pintu sempit, kamar mandi licin,” tutur Andika, bapak seorang putri itu.

 

Krisis global menghantui

Ancaman krisis ekonomi global kian terasa nyata. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia mencatat inflasi sebagai salah satu indikator ekonomi yang menggambarkan kondisi perekonomian suatu negara hingga 5,55% pada 2022. Angka ini naik tajam dari inflasi 2021 sebesar 1,87% dan merupakan angka tertinggi selama 8 tahun terakhir.

Pemerintah mengambil beberapa kebijakan untuk menyikapi hal ini, termasuk dengan menaikkan suku bunga acuan bank sentral. Sejak Agustus 2022, Bank Indonesia (BI) menaikkan suku bunga acuan hingga 6 kali,  dimulai pada Agustus dan terjadi setiap bulan sampai kini. Tingkat suku bunga acuan yang berada pada 3,50% pada Juli 2022 menanjak bertahap hingga 5,75% pada Januari 2023.

Kendati tujuan akhir dari kebijakan menaikkan suku bunga acuan adalah untuk menekan inflasi, ini akan berdampak terhadap kenaikan suku bunga kredit bank umum. Termasuk suku bunga Kredit Pemilikan Rumah (KPR) yang membuat cicilan semakin mahal. Hal ini akan semakin menyulitkan masyarakat dalam memiliki hunian di tengah kondisi ekonomi yang tidak menentu.

Sementara, hampir separuh populasi Indonesia, warga difabel di antaranya, belum punya akses terhadap hunian layak. Padahal, hampir 70% pembeli rumah di Indonesia masih mengandalkan KPR. Guncangan ekonomi akan semakin membuyarkan angan-angan difabel dapat memiliki rumah sendiri.

Rumah adalah hak setiap warga, tak terkecuali difabel. Namun selama sistem masih abai, mimpi sederhana itu tetap terasa jauh. “Yang kami butuhkan bukan belas kasihan, tapi kesempatan yang adil,” tegas Reza.[]

 

Reporter: Harta Nining Wijaya

Editor      : Ajiwan

 

 

 

Bagikan artikel ini :

TULIS KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT

berlangganan solidernews.com

Tidak ingin ketinggalan berita atau informasi seputar isu difabel. Ikuti update terkini melalui aplikasi saluran Whatsapp yang anda miliki. 

BERITA :

Berisi tentang informasi terkini, peristiwa, atau aktivitas pergerakan difabel di seluruh penjuru tanah air

Skip to content