Views: 29
Solidernews.com – Namanya Supardi, umurnya 37 tahun. Ia seorang penyintas bipolar. Semula ia bekerja di Jakarta di sebuah anak perusahaan Astra. Pekerjaannya bersistem seperti biasanya, kejar target dan sering lembur. Lalu suatu ketika Supardi berkonflik dengan pimpinannya kemudian mengundurkan diri. Keputusan yang ia ambil tergolong sangat cepat. Kalau saja ia bersabar sedikit, katanya pada siaran Radio Solopos FM, selang tiga hari kemudian sebenarnya sudah ada keputusan jika kontrak kerjanya diperpanjang.
Supardi kemudian mengalami tekanan hidup dan jiwa yang bergejolak. Di dalam hati ia membatin mengapa harus mengundurkan diri padahal ia masih membutuhkan pekerjaan itu. Ia mengalami kegelisahan dan kecemasan. Lalu ia pulang ke kampung halamannya di Baki, Sukoharjo. Ia hanya bekerja di Jakarta dalam kurun waktu 2004-2005.
Sampai di rumah ia ditanya oleh orangtuanya apakah mau buka usaha atau mengambil kursus/pelatihan. Akhirnya ia mengambil kursus di BLK untuk membunuh kesepian sehingga ia memiliki kesibukan. Tetapi tidak berhenti di situ. Ia merasa tidak memiliki minat pada perbengkelan tetapi di dunia pemasaran.
Supardi lalu bekerja sebagai tenaga pemasaran sebuah majalah dan produk herbal. Namun tahun 2010 ia mengalami. gejolak jiwa dan istilahnya meledak-ledak oleh sebab ia urung menikah, ditambah persoalan saat itu ia sedang membangun rumah, apalagi bapaknya jatuh sakit-sakitan, Supardi lalu mengalami gaduh gelisah. Ia menjadi amat pemarah dan bahkan sampai mengancam nyawa orang dengan mengacung-acungkan senjata. Karena sudah dirasa menganggu, Supardi dijemput aparat kepolisian lalu dibawa ke rumah sakit jiwa untuk perawatan. Tahun itu pula ia kehilangan sang bapak untuk selamanya.
Pada siaran Bincang Kesehatan Jiwa yang dihelat oleh Solopos FM, Supardi, survivor bipolar menceritakan bahwa ketika pada fase manic ia senang bersedekah. Apapun yang ia punya, ia berikan kepada orang lain. Namun saat di fase depresi ia berpikir mengapa semua harta dia berikan kepada orang lain.
Usai dirawat di rumah sakit jiwa ia lantas rajin meminum obat. Namun ada satu waktu ia menanggalkan pengobatan pada dirinya. Bisa diterka apa yang terjadi? ia kemudian mengalami relaps alias kekambuhan. Maka pada tahun 2013 ia kembali dirawat di RSJD Surakarta. Dari situ ia belajar jika alpha minum obat atau sengaja tidak minum obat maka akibat yang lebih besar dan merugikan akan menimpanya. Supardi kemudian bekerja lagi dan mengumpulkan uang guna melunasi utang-utang yang berjumlah jutaan.
Belajar dari masa lalu pernah menjadi korban stigma sebagai “orang gila” di masyarakat hingga kemudian bisa bangkit dari keterpurukan oleh sebab adanya dukungan keluarga terutama ibunya, Supardi lalu berpikir jika hidupnya harus bermanfaat bagi orang lain. Ia lantas bergabung dengan Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia (KPSI) Simpul Solo Raya dengan bersosialisasi, saling berbagi cerita dan pengalaman serta menambah kapasitas diri. Saat pandemi COVID-19 melanda, Supardi pernah berbagi cerita tentang bagaimana ia menjadi survivor kesehatan mental dan bisa beradaptasi dengan keadaan melalui Mindframe TV YouTube. Lewat kanal tersebut, Supardi bercerita jika ia saat itu bekerja sebagai teknisi pemasangan pipa air. Pekerjaan yang digelutinya setelah ia meninggalkan dunia pemasaran.
Ia tak hanya aktif di KPSI Solo Raya saja, kemudian di wilayah tempat tinggalnya sudah ada kelompok difabel desa, dampingan dari Paguyuban Sehati Sukoharjo. Bergabunglah Supardi dengan cara aktif di dalam komunitas tersebut. Ia menggerakkan teman-teman difabel lainnya untuk ikut berkomunitas. Lantas mencatat kebutuhan layanan dasar apa saja yang belum terpenuhi pada mereka termasuk jika ada yang belum memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP).[]
Reporter: Astuti
Editor : Ajiwan Arief