Search
en id

Gunakan fitur ACCESSIBILITY melalui tombol simbol biru bagian kanan agak atas sebagai preferensi untuk kenyamanan Anda.

Ilustrasi pemilu inklusif

Sulitnya Mewujudkan Pemilu Inklusif

Views: 7

Solidernews.com – Pemilu 2024 telah berakhir. Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka telah ditetapkan sebagai Presiden dan Wakil Presiden Indonesia untuk masa jabatan 2024-2029. Para anggota legislatif pun telah dilantik dan bekerja di komisi masing-masing. Meski telah berakhir, Pemilu 2024 meninggalkan beberapa masalah yang tidak bisa dikesampingkan begitu saja. Salah satu persoalan penting yang terjadi selama Pemilu 2024 terkait dengan kelompok pemilih difabel.

Ketua Eksekutif Nasional FORMASI Disabilitas, Nur Syarif Ramadan, dalam Diskusi Publik Diseminasi Hasil Pemantauan Pemilu Serentak 2024, Kamis 22 Maret 2024, mengatakan FORMASI melakukan pemantauan Pemilu yang diselenggarakan dari tanggal 11-14 Februari 2024. FORMASI bekerjasama dengan 2018 relawan pemantau dari 20 Provinsi di Indonesia, 42 Kab/Kota. Wilayah pemantauan adalah daerah program dan jejaring dari 3 lembaga, baik secara individu maupun organisasi. Dari hasil pemantauan, peta besar terkait isu disabilitas dalam pemilu akan terbagi menjadi empat, yaitu kecukupan data, aksesibilitas, pengadaan alat bantu, dan minimnya pengetahuan petugas KPPS terkait hak-hak pemilih difabel di daerah tersebut.

Dari sisi data, Syarif menyebut bahwa sekitar 35% pemilih difabel tidak terdata dengan baik oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Merujuk pada data KPU, jumlah pemilih difabel berjumlah 1.101.178. Angka ini tidak sepenuhnya akurat dengan total pemilih difabel sesunguhnya. Hal tersebut bisa dikatakan memprihatinkan karena secara tidak langsung menggambarkan bagaimana negara belum mampu mendata penduduknya sendiri.

Di ranah aksesibilitas dan pengadaan alat bantu, FORMASI menemukan ada 54% Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang di dalamnya terdapat pemilih pengguna kursi roda yang memiliki kesulitan dalam menyalurkan suaranya. FORMASI juga mencatat, ada 24% pemilih tuli yang menyalurkan hak suaranya, namun ada sekurang-kurang 41% TPS di mana petugas tidak memberikan petunjuk nonverbal kepada pemilih tuli tersebut. Lebih jauh, Syarif menambahkan bahwa 43% TPS tidak menyediakan juru bahasa isyarat dalam proses Pemilu 2024 lalu.

Kondisi di atas diperparah dengan fakta bahwa pemahaman petugas KPPS terkait penggunaan alat bantu untuk mencoblos ternyata masih belum memadai. Dari temuan yang didapat, sekitar 59% dari total TPS yang dipantau mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan alat bantu tersebut. Dari 38 TPS yang terdapat difabel netra sebagai pemilih, para pemilih difabel kesulitas untuk menyalurkan hak suaranya karena keterbatasan alat bantu untuk mencoblos di TPS.

Apa yang dipaparkan oleh Syarif secara garis besar diamini oleh Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Rahmat Bagja. Menurut Bagja, Bawaslu mendata bahwa ada 12.284 TPS yang tidak memiliki alat bantu untuk para difabel netra. Ia juga menyebut sekitar 5.836 TPS tidak dilengkapi dengan surat pernyataan pendamping. Beberapa TPS juga sulit diakses oleh para pemilih difabel di lapangan. Selain itu para pemilih tuli juga mengalami kesulitan dalam proses pemungutan dan penghitungan suara.

 

Pemilu Inklusif

Berbagai permasalahan yang diungkap oleh Syarif dan Bagja menjadi bukti bahwa Pemilu 2024 lalu belum berjalan secara demokratis. Menurut Pramono Ubaid Tanthowi, Wakil Ketua Komnas HAM, salah satu parameter pemilu demokratis adalah pemilu yang inklusif. Pemilu inklusif meniscayakan agar pemilu diselenggarakan secara terbuka dan melayani semua (pemilih dan kandidat dengan keragaman identitas), serta menghilangkan hambatan bagi kelompok-kelompok rentan. Salah satu kelompok rentan yang dimaksud adalah kelompok difabel.

Data yang disampaikan oleh Syarif dan Bagja menunjukkan bagaimana hak-hak politik kelompok difabel dalam Pemilu 2024 belum bisa terlayani dengan maksimal sebagaimana kelompok pemilih lain. Hal itu mengindikasikan bahwa Pemilu 2024 belum bisa menjadi pemilu yang inklusif. Padahal merujuk pada pasal 5 Undang-undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, dikatakan bahwa “Penyandang disabilitas yang memenuhi syarat mempunyai kesempatan yang sama sebagai pemilih, sebagai calon anggota DPR, sebagai calon anggota DPD, sebagai calon Presiden/Wakil Presiden, sebagai calon anggota DPRD, dan sebagai Penyelenggara Pemilu”. Pasal tersebut memberi payung hukum kepada kelompok difabel untuk mendapat kesempatan dan hak yang setara dengan semua kelompok sosial lain.

Namun realitanya hak-hak politik yang secara jelas sudah dijamin oleh Undang-Undang belum bisa dipraktikkan sepenuhnya di Indonesia. Oleh sebab itu, ke depannya seluruh pemangku kebijakan perlu menyikapi secara serius berbagai temuan yang terjadi dalam Pemilu 2024 ini agar di kemudian hari sederet permasalahan tersebut tidak terulang kembali.

KPU selaku pemegang otoritas utama dalam pemilu, perlu memperbaiki mekanisme pendataan pemilih, termasuk pendataan di tempat tinggal pemilih untuk memastikan semua pemilih difabel mendapatkan haknya untuk mencoblos. Dalam proses pendataan ini, peran organisasi difabel sangat penting dalam mendukung keakuratan data pemilih, terutama di tingkat lokal. Meskipun data yang dimaksud mungkin terbatas bentuknya, tapi dengan melibatkan organisasi difabel, kerja-kerja KPU dapat terbantu dalam mengidentifikasi pemilih yang belum terdaftar.

KPU juga perlu memastikan akses bagi pemilih yang tinggal di panti rehabilitasi atau institusi lainnya untuk bisa juga menyalurkan hak suara mereka. Sosialisasi pemilu perlu diperluas ke berbagai kelompok difabel, dengan memperhatikan tingkat pendidikan dan kebutuhan masing-masing kelompok. Ini termasuk menyediakan pendidikan politik bagi mereka yang belum terjangkau pendidikan secara menyeluruh. Penting juga bagi KPU untuk memasukkan berbagai jenis difabel dalam daftar pemilih tetap dan sementara, baik di kantor KPU maupun di lokasi PPS, untuk memastikan pemahaman yang lebih baik oleh petugas pemungutan suara di lapangan.

Selain itu, pengawas dan penyelenggara pemilu perlu menerbitkan panduan pelaksanaan kampanye yang memastikan partisipasi aktif dari difabel dan kelompok rentan lainnya. Panduan ini harus mencakup aksesibilitas kampanye, informasi kampanye, serta kegiatan kampanye yang diadakan oleh KPU. Partai politik sebagai peserta Pemilu juga harus berperan aktif dalam memperkuat pengkaderan di kalangan difabel guna memperluas daya jangkau partai terhadap semua kelompok masyarakat sipil. Jika semua elemen bekerja maksimal, pemilu yang benar-benar inklusif bukan tidak mungkin akan terwujud di Indonesia.[]

 

Penulis : Phasha

Editor     : Ajiwan

Bagikan artikel ini :

TULIS KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT

BERITA :

Berisi tentang informasi terkini, peristiwa, atau aktivitas pergerakan difabel di seluruh penjuru tanah air

Skip to content