Views: 54
Solidernews.com. SUARA Nada. Adalah sebuah film mikro, berdurasi 80 menit. Mengambil latar tempat di Saung Angklung Udjo, Kota Bandung. Film ini menampilkan tokoh utama, seorang gadis tuli, dengan pendirian teguhnya. Diperankan Nola Amrytha, orang mendengar yang seorang penari dari Kota Bandung.
Berlatar belakang masa pandemi, film Suara Nada menceritakan keputusasaan. Putus asa, akibat pelarangan berbagai bentuk kegiatan, yang menghadirkan banyak orang. Dalam film ini, pentas Bima Sakti dari komunitas seni Sanggar Warna, dilarang. Antusiasme tampil di depan khalayak, dibuntukan. Tak diberi celah. Bahkan pemilik modal pun, menghentikan dukungan pendanaan karena situasi itu.
Makin sulit, ketika seorang maestro pemimpin Sanggar Warna bernama Akar, memutuskan untuk kembali ke kampung halamannya di Cirebon. Ditinggalkan sanggar dan seniman-seniman yang ditampung olehnya. Karenanya, paguyuban seni Sanggar Warna tak dapat berkegiatan, beku, karena terkena dampak pandemi.
Bersuara dan bergerak
Ketika banyak yang harus berhenti karena pandemi. Ketika banyak yang memilih berdiam. Ada yang memilih bersuara dan terus bergerak. Seseorang terus berusaha untuk mencari jalan keluar. Dia adalah Nada. Cucu perempuan Akar, yang memiliki bakat menari dan bermusik. Seorang gadis yang kehilangan pendengaran (tuli), ketika usianya dewasa.
Nada ingin mengembalikan acara sanggar yang dibatalkan karena pandemi. Ia mencari jalan lain, agar pementasan tetap dapat berlangsung. Satu keinginan terakhir untuk manggung di pentas, sebelum kehilangan pendengarannya.
Bagi Nada, teman-temannya yang sudah mengeluarkan tenaga, waktu, dan mencurahkan seluruh perhatian, layak diapresiasi. Latihan yang sudah siap dan tinggal menunggu waktu pentas, tak bisa dibatalkan karena alasan pandemi. Nada bersikukuh agar pementasan Bima Sakti, tetap dapat dilaksanakan.
Pementasan itu menjadi sangat penting bagi dirinya. Meski tidak semua bisa mengerti. Hingga, keyakinan dan keteguhan hatinya, menghadirkan kemungkinan. Pada akhirnya membuat semua bisa mendengar suara Nada.
Bima Sakti dapat tetap melakukan pementasan secara online. Benar saja, pada akhirnya pementasan tersebut berlangsung. Penampilan Nada bersama Bima Sakti, direspon banyak orang yang peduli. Di antaranya, musisi Gilang Ramadhan, Purwa Caraka, Reza Artha Mevia, dan ratusan lainnya.
Tumbuhkan awareness
Film Suara Nada, telah ditayangkan pada Sabtu (31/8/2024). Bertema Nonton bareng (nobar) dan diskusi, penayangan film ini terselenggara atas kerja sama Salaka.Credu dan Jogja Disability Arts. Kegiatan dilaksanakan di Balai Budaya Karangkitri, Desa Sawit, Kecamatan Panggungharjo, Kabupaten Bantul. Kegiatan dihadiri puluhan warga masyarakat dan komunitas difabel.
Nobar dan diskusi kali itu, merupakan pemutaran keenam, dari enam titik kegiatan nobar dan diskusi yang diprakarsai oleh Salaka.Credu, dalam Project Layarinaja. Yakni, program dana Indonesiana Kemendikbud Ristek, kategori Sinema Mikro. Merupakan pemanfaatan hasil kelola dana abadi Kebudayaan melalui LPDP Kemenkeu.
Kepada solidernews,com, Mirta, pemegang project pemutaran film (layarin aja), menyampaikan beberapa hal. Pertama, Ia mengamini, bahwa film Suara Nada, layak diputar di banyak tempat. Apakah di kampus-kampus atau sekolah-sekolah. Karena, film tersebut syarat dengan edukasi, tentang kehidupan inklusif. Kehidupan yang saling menerima satu sama lain. Memberi kesempatan kepada siapa pun, tanpa melihat strata sosial dan keberbedaan.
Untuk tahun ini, kata dia, sesuai jumlah fasilitasi, hanya mencukupi terselenggara di 6 titik pemutaran, seputar Jogja dan Magelang. Kami berkolaborasi dengan teman-teman komunitas yang memiliki karakter dan fokus yang berbeda. Di antaranya, remaja dan perempuan, seni tradisi atau kontemporer, kebencanaan, serta kelompok difabel.
Melihat respon dan antusisme peserta nobar dan diskusi, Mirta berencana, akan lebih banyak berjejaring dan berkolaborasi dengan berbagai kelompok. “Tidak menutup kemungkinan, akan berkolaborasi dengan fokus dan topik berbeda. Atau melanjutkan kerja kolaborasi dengan komunitas yang sama, dengan topik berbeda,” ujarnya.
Tak pelak, film Suara Nada mendapat masukan dari beberapa difabel netra, yang terlibat dalam acara tersebut. M. Nubuat Al-Magribi, satu di antaranya. Bagi dia, keberadaan juru bisik, justru tak membuatnya nyaman. Yang dibutuhkan difabel netra dalam menonton film, adalah narator. Narator yang memberikan keterangan atau deskripisi.
“Keberadaan juru bisik, maksudnya baik. Karena mereka bertugas menjelaskan visual yang tak bersuara bagi kami. Tapi maaf, itu kog malah mengganggu ya. Sebaiknya, dalam film itu ada naratornya. Lalu penonton tuna netra diberikan alat untuk mendengarkan sendiri. Itu lebih nyaman buat kami, paling tidak saya pribadi,” ujar Nubuat.
Merespon masukan di atas, yakni kebutuhan (aksesibilitas) kelompok dengan kebutuhan berbeda, Mirta mengaku mendapatkan pengayaan. “Kami percaya, setiap film akan bertemu penontonnya dan (dalam diskusi). Setiap suara, layak didengar. Senang sekali dengan diskusi bersama teman-teman dari Jogja Disability Arts kemarin,” kata perempuan dengan postur kerempeng itu.
Lanjutnya, Film Suara Nada, mengangkat tema difabel dan Seni. Film itu sejatinya dibuat untuk penonton umum. Dengan tujuan menumbuhkan awareness (kesadaran) tentang difabel. Bahwa siapa pun, difabel di antaranya memiliki potensi, yang perlu diberikan ruang untuk berekspresi.
Bagi dirinya, diskusi langsung dengan penonton dengan kemampuan dan kebutuhan berbeda, memberikan masukan berharga. Bagaimana aksesbilitas dari teman-teman dapat lebih dimaksimalkan. Hingga semua dapat merasakan sensasi menikmati film yang sama.
Film Suara Nada, disutradarai Arwin Tri Wardhana. Diproduksi pada 2022, oleh rumah produksi Indonesiana TV dan PT. Ariaputra Nusantara Digdaya. Para pemain: Nola Amrytha sebagai Nada, Alvalino Kasenda, Nina Prabowo, Kiki Narendra, dan Dea Panendra. Organisasi Gerkatin (Gerakan Kesejahteraan Tuna Rungu Indonesia), merupakan salah satu organisasi yang terlibat dalam pembuatan ilm tersebut.[]
Reporter: Harta Nining Wijaya
Editor : Ajiwan Arief