Views: 4
Solidernews.com – Dinamika dunia kerja difabel hingga hari ini masih menghadapi diskriminasi. Mulai dari proses rekruitmen, pengupahan, hingga resiko pemutusan hubungan kerja hanya karena alasan difabel. Kondisi ini makin memprihatinkan dengan adanya ketentuan dalam UU Cipta Kerja yang justru melegalkan pemecatan pekerja difabel tanpa pertimbangan hak dasar mereka.
Di tengah momentum revisi RUU Ketenagakerjaan, kita perlu bersatu dan bersuara bersama untuk memastikan perlindungan hak-hak pekerja difabel diakui dan ditegakkan. Hal tersebut penting dilakukan karena diskriminasi terhadap pekerja difabel masih nyata dalam dunia kerja kita. Maka dari itu, saatnya untuk bersuara bersama dalam mendorong revisi RUU Ketenagakerjaan yang adil, inklusif, dan berpihak pada pekerja difabel.
Pada hari Rabu, tepatnya tanggal 4 Juni 2025 silam, berlangsung diskusi publik yang bertajuk “Urgensi Perlindungan Hak Pekerja Disabilitas dalam RUU Ketenagakerjaan”. Webinar tersebut diadakan secara daring melalui platform zoom meeting pukul 13.00 sampai 16.30 WIB. Menghadirkan beberapa tokoh penting seperti Muhammad Isnur (Koalisi Rakyat untuk Kerja Layak), Kahar S. Cahyono (Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia), Obon Tabroni (Komisi IX DPR RI), dan Darmawansyah (Direktur Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja dan Perluasan Kesempatan Kerja).
Pentingnya Perlindungan Hak Pekerja Difabel
Pada dasarnya, dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas mengamanatkan kuota 2% pekerja difabel di instansi pemerintah dan BUMN, serta 1% di perusahaan swasta. Namun, implementasi kebijakan ini belum optimal. Banyak perusahaan belum memenuhi kuota tersebut dan masih ada pertanyaan mengenai insentif bagi perusahaan yang mempekerjakan pekerja difabel.
UU Cipta Kerja (UU Nomor 6 Tahun 2023) bertujuan untuk memberikan kesempatan kerja yang setara bagi difabel dan menciptakan lingkungan kerja yang mendukung inklusi. Beberapa hak yang diatur dalam undang-undang tersebut meliputi hak untuk bekerja tanpa diskriminasi, hak atas kesetaraan, dan hak untuk mendapatkan akses yang setara dalam bidang pekerjaan. UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan juga menekankan pentingnya perlindungan bagi pekerja difabel, termasuk pemberian perlindungan sesuai dengan jenis dan ragam difabelnya.
Dilansir dari hukumonline.com Wakil Ketua Komisi IX DPR, M. Yahya Zaini, menyatakan bahwa komisi tersebut telah menyetujui tujuh RUU untuk dimasukkan ke dalam Prolegnas 2025-2029. Ada dua RUU yang diusulkan sebagai Prolegnas Prioritas 2025, yaitu RUU perubahan UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan RUU perubahan UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).
“Revisi UU Ketenagakerjaan sangat mendesak, salah satunya untuk melaksanakan putusan MK. Sebelumnya, putusan MK No. 168/PUU-XX1/2023 merekomendasikan pembentukan UU Ketenagakerjaan yang baru,” jelas Yahya.
Hakim Konstitusi Prof. Enny Nurbaningsih, menjelaskan bahwa, “secara faktual, materi/substansi dalam UU No. 13 Tahun 2003 telah 37 kali diuji konstitusionalitasnya di MK, dengan 12 permohonan dikabulkan sebagian atau seluruhnya. Artinya, sebelum sebagian materi/substansi UU 13/2003 diubah dengan UU 6/2023, sejumlah materi/substansi dalam UU 13/2003 telah dinyatakan oleh Mahkamah bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, baik untuk seluruh norma yang diuji maupun yang dinyatakan inkonstitusional atau konstitusional secara bersyarat”.
“Hal tersebut mengancam perlindungan hak atas pengakuan, jaminan, dan kepastian hukum yang adil bagi warga negara termasuk para difabel. Difabel adalah manusia yang berhak hidup sejahtera, setara, dan adil. Mereka adalah bagian dari kelompok buruh yang berhak mendapatkan perlindungan pada saat bekerja serta mendapatkan upah yang layak,” Ujar Fajri Nursyamsi, peneliti pusat studi hukum dan kebijakan Indonesia (PSHKI) sekaligus narasumber webinar pada 4 Juni 2025.
Tantangan dan Implementasi
Kondisi difabel dalam dunia kerja, dilansir dari indikator difabel tahun 2020 ketimpangannya sangat tinggi. Kesulitan difabel dalam mencari pekerjaan lebih sulit daripada nondifabel. Info dari bappenas pada tahun 2024 sekitar 1,87 persen difabel bekerja dalam sektor pemerintahan, 0,97 persen bekerja di sektor swasta, serta sebanyak 41.303 difabel menjadi pelaku usaha.
Fajri Nur Syamsi menyatakan bahwa seseorang difabel itu juga terhambat dalam lingkungan, tidak hanya semata kondisi fisik atau mentalnya. Jadi sudah seharusnya intervensi difokuskan untuk mengubah diri seseorang agar dapat melakukan penyesuaian terhadap lingkungan. Selain itu juga difokuskan untuk mengubah atau memodifikasi lingkungan agar dapat menyesuaikan kondisi orang dengan difabel. Kebijakan diarahkan sebagai bentuk dari pemenuhan HAM warga negara termasuk orang-orang dengan difabel.
“Dengan penyesuaian lingkungan yang dilakukan oleh penyedia kerja, komunikasi dengan calon tenaga kerja difabel terkait kebutuhan yang diperlukan, seharusnya dapat meningkatkan produktifitas difabel di dunia kerja. Bukan malah mendiskriditkan posisi tenaga kerja difabel sebab kondisi kedifabelannya,” jelas Fajri.
Cerita Lika-Liku Pekerja Difabel
Salwa Paramitha, seorang difabel mental mengungkapkan pengalamannya ketika mencari pekerjaan. Ia mengatakan selalu gagal karena permasalahan pada tes psikologi ataupun ketika tahap Medical Cek Up (MCU). Sudah 10 perusahaan yang menolak. Permasalahan lain juga disebabkan ketika melamar pekerjaan selalu ada surat kesehatan jasmani dan rohani, sementara dirinya jelas tidak bisa memenuhi persyaratan tersebut. Bila merujuk dari UU. No. 8 Tahun 2016, peraturan itu termasuk mendiskriminasi kesempatan kerja difabel.
“Peraturan sehat jasmani dan rohani kerap menjadi hambatan saya saat ingin melamar kerja. Dengan hambatan mental yang saya miliki, tentu aspek tersebut tidak dapat dipenuhi. Seharusnya penyedia kerja dapat diajak bermediasi dengan surat pengantar. Seperti surat disabilitas dari lembaga yang berhak mengeluarkan, sebagai pengganti surat sehat jasmani dan rohani.” ujar Salwa pada forum diskusi publik.
Senada dengan Salwa, Synthia Cempaka Dewi menceritakan pengalamannya sebagai tenaga kerja difabel, “Untuk diskriminasi banyak terjadi, karena teman-teman kerja tidak ada yang mau membantu perihal hambatan saya. Selain itu ketika saya diberi kerjaan oleh pimpinan yang mengharuskan untuk kerjasama dengan teman-teman nondifabel, justru rekan kerja itu malah mengabaikan saya dan saya tidak dilibatkan pada job yang ditugaskan pimpinan.”
“Harapan kedepannnya, utamanya bagi tenaga kerja difabel netra, kedepannya bisa menjadi karyawan tetap, dan tidak hanya kontrak yang tidak maksimal. Sehingga tidak ada perbedaan antara difabel maupun nondifabel,” imbuh Synthia.
Pada cerita lainnya, Ricendy, seorang Tuli, yang ikut dalam forum diskusi, mengatakan “Di tahun lalu saya mengikuti jobfair, karena ada 500 pekerjaan. Disitu informasinya dapat menerima teman-teman difabel tuli. Tapi ternyata yang dipekerjakan tidak sesuai. Kenyataannya 500 perusahaan itu menerima tapi lebih ke vokasional seperti diperkerjakan di pabrik. Padahal kemampuan teman-teman difabel tuli itu cukup beragam. Permasalahan utamanya adalah di akomodasi, perusahaan kebanyakan tidak memiliki anggaran untuk menyewa JBI.”
Dari penjelasan Ricendy, dapat dipahami bahwa kerap kali teman Tuli tidak dilibatkan pada pekerjaan yang diberikan, sebab adanya hambatan komunikasi. Lingkungan dan rekan kerja lain tidak bisa membantu, karena alasan tidak dapat memahami komunikasi dengan pekerja Tuli. Mereka takut ada miss komunikasi. Padahal pekerja Tuli ini sudah diterima, dan seharusnya penyedia kerja yang mengumumkan Tuli bisa mendaftar memiliki kesiapan akan aksesibilitas yang dibutuhkan. Bukan malah lepas tangan saat ada masalah.
“Saya juga mendapatkan informasi, bahwasannya beberapa teman tuli yang dipekerjakan di pabrik banyak di PHK. Kenapa begitu? Lagi-lagi alasannya karena masalah komunikasi,” imbuhnya.
Asep Nurholis, seorang difabel fisik juga mengungkapkan bahwa kebanyakan perusahaan saat merekrut tenaga teman-teman difabel, itu hanyalah formalitas semata. Ia menegaskan, “Kedepannya, saya ingin perusahaan itu tidak hanya formalitas, tapi memang benar-benar mempekerjakan para difabel secara adil dan setara”.
Selaras dengan Asep, Kahar S Cahyono mengungkapkan, “Sudah banyak UU untuk mempekerjakan teman-teman difabel, tapi pada prakteknya masih minim sekali yang mempekerjakan para difabel. Paling tidak kita bisa mendorong untuk penguatan perlindungan bagi difabel dalam pembentukan UU. Harus ada sanksi bagi perusahaan yang tidak mempekerjakan difabel. Sesuai UU. No. 8 tahun 2016 yang mengatur sanksi pada penyedia kerja yang tidak mau merekrut difabel. Bila ada diskriminasi itu mestinya sanksi yang diberikan itu berlapis. Kenapa menjadi lebih berat? karena dia sekaligus menempatkan para difabel dalam sisi kelas dua bahkan tidak menganggap teman difabel ini sebagai manusia”.
“Sudah seharusnya dalam pembentukan UU itu menegaskan adanya sanksi bagi perusahaan yang melanggar aturan. Pendekatan sanksi menurut saya adalah sesuatu yang perlu diutamakan. Selain itu penyediaan akomodasi yang layak saya kira juga perlu didorong untuk teman-teman difabel. Penyediaan fasilitas tambahan tersebut seharusnya adalah suatu yang tidak dianggap sebagai beban. Penting juga suara para kawan-kawan difabel ini di dengarkan dan diakomodir. UU Ketenagakerjaan yang baru saya kira patut dipertanyakan jika tidak mendengarkan suara-suara difabel,” imbuh Kahar.
Selaras dengan Kahar, Obon Tabroni menekankan pentingnya sanksi agar aturan perlindungan hak difabel bisa berjalan efektif. Ia menyarankan sanksi administratif lebih tepat dibanding pidana, karena pidana sering hanya menyasar individu, bukan perusahaan. Selain itu, ia mengusulkan adanya penghargaan bagi perusahaan yang sudah mengakomodasi pekerja difabel sebagai bentuk insentif positif.
“Dengan adanya sanksi yang tegas dan nyata, setidaknya memberikan efek jera dan upaya kepatuhan kepada penyedia jasa kerja agar secara sadar dan terbuka menerima tenaga kerja difabel,” tegas Obon.[]
Reporter: Ajeng Safira
Editor : Ajiwan